**"Siapa sangka perempuan yang begitu anggun, patuh, dan manis di depan Arga, sang suami, ternyata menyimpan sisi gelap yang tak pernah ia duga. Di balik senyumnya yang lembut, istrinya adalah sosok yang liar, licik, dan manipulatif. Arga, yang begitu percaya dan mencintainya, perlahan mulai membuka tabir rahasia sang istri.
Akankah Arga bertahan ketika semua topeng itu jatuh? Ataukah ia akan menghancurkan rumah tangganya sendiri demi mencari kebenaran?"**
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayuwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
rencana di mulai
Mentari berdiri di depan pintu ruang kerja Arga, membawa secangkir kopi yang hangat. Namun, ketika dia melangkah masuk, pemandangan di meja kerja Arga membuat matanya membelalak. Foto-foto Alya dan Reza dalam pose intim berserakan di sana.
"Ya ampun..." gumam Mentari tanpa sadar, suaranya penuh keterkejutan.
Arga, yang sedang memijat pelipisnya, menoleh ke arahnya. "Kau kaget juga, ya?" tanyanya dengan nada datar.
Mentari langsung tersentak, merasa bersalah karena menyaksikan hal yang seharusnya tidak dia lihat. "Maaf, Pak. Saya tidak sengaja melihat..." ucapnya sambil menundukkan kepala, suaranya bergetar.
Arga menghela napas panjang, menatap foto-foto itu dengan sorot mata dingin. "Ini saatnya. Aku tidak bisa menunda lagi," katanya, lebih kepada dirinya sendiri daripada Mentari.
Dia lalu menatap Mentari dengan serius. "Aku butuh bantuanmu lagi. Kali ini, kita harus menyelesaikan ini."
Mentari menelan ludah, gugup. "Apa yang harus saya lakukan, Pak?" tanyanya pelan.
Arga menjelaskan rencananya dengan tenang. Dia ingin mereka pergi ke hotel tempat Alya dan Reza sering bertemu, untuk memastikan segalanya. Mentari, meskipun takut, tidak punya pilihan selain setuju.
Setelah mengganti pakaian, Mentari muncul dengan penampilan yang berbeda. Gaun sederhana namun memikat, rambutnya diikat rapi, dan riasan tipis yang membuat kecantikannya semakin terpancar. Arga, yang sedang menunggunya di mobil, sempat tertegun.
"Siapa sangka, sepupu Alya ternyata sangat manis," gumamnya dalam hati, meskipun dia segera mengalihkan pandangannya agar tidak terlalu lama memandangi Mentari.
Ketika mereka tiba di hotel, Alya dan Reza terlihat keluar dari lift. Alya berjalan lebih dulu, sementara Reza tertinggal beberapa langkah di belakang. Melihat itu, Arga memberi isyarat kepada Mentari untuk bertindak.
Mentari, meskipun hatinya berdebar kencang, berdiri dan berpura-pura berjalan di jalur Reza. Seolah-olah tidak sengaja, dia menabrak pria itu.
"Aduh, maaf," kata Mentari, berpura-pura terkejut.
Reza, yang awalnya hendak marah, langsung berubah sikap begitu melihat wajah cantik Mentari. Senyum lebar muncul di wajahnya. "Tidak apa-apa, kok. Saya yang salah tidak melihat jalan," katanya, suaranya terdengar ramah.
Mentari memasang senyuman manis, sambil menatap Reza dengan sedikit malu-malu. "Oh, tidak, itu salah saya."
Reza jelas tergoda. Matanya tidak lepas dari wajah Mentari. "Boleh tahu nama Anda, Nona?"
"Mentari," jawabnya singkat, mencoba tetap tenang meskipun hatinya gugup.
"Mentari, nama yang cantik." Reza mengeluarkan ponselnya. "Boleh saya minta nomor Anda? Mungkin kita bisa ngobrol lebih lanjut nanti."
Mentari melirik ke arah Arga yang bersembunyi di kejauhan. Arga mengangguk pelan, memberi isyarat bahwa semuanya akan baik-baik saja. Dengan ragu, Mentari memberikan nomor ponselnya kepada Reza.
"Terima kasih, Mentari. Saya pasti akan menghubungi Anda," kata Reza dengan senyum penuh arti.
Mentari hanya mengangguk kecil sebelum bergegas pergi, hatinya berdebar keras. Saat kembali ke mobil, Arga menatapnya dengan tatapan puas.
"Kau melakukannya dengan baik," katanya.
Namun, di balik pujiannya, Arga merasa sedikit tidak nyaman. Melihat Reza tergoda oleh Mentari membuat amarahnya terhadap Alya semakin membara, tetapi di sisi lain, dia juga tidak bisa mengabaikan bahwa Mentari benar-benar seorang wanita yang luar biasa.
"Selanjutnya apa, Pak?" tanya Mentari, masih berusaha menenangkan dirinya.
"Kita tunggu langkah selanjutnya dari Reza," jawab Arga dengan nada dingin. "Dan saat itu terjadi, aku akan memastikan dia dan Alya tidak akan bisa mengelak lagi."
Malam hari nya,Alya tengah sibuk merawat wajahnya di depan meja rias. Sesekali dia memandang ke arah Arga yang duduk di sofa sambil membaca dokumen. Di balik kaca, Alya tersenyum, mencoba menutupi rasa gelisah yang mulai menyelimuti hatinya.
Setelah selesai, Alya mengenakan pakaian tidur yang sangat seksi, berwarna merah dengan renda tipis, sengaja dipilih untuk menarik perhatian suaminya. Dia berjalan mendekat, langkahnya pelan namun penuh percaya diri.
"Mas..." panggilnya lembut sambil duduk di samping Arga. Tangannya dengan manja menyentuh bahu pria itu.
Arga mendesah pelan, menutup dokumen yang sedang dibacanya. Dia tahu apa yang diinginkan Alya, tetapi hatinya tak lagi merasakan kehangatan yang sama seperti dulu. "Maaf, Alya. Aku lelah hari ini," ucapnya datar.
Alya tertegun. Penolakan itu bagai tamparan baginya. "Mas, kenapa kamu menolak? Mas... biasanya kamu selalu suka," tanyanya dengan nada lembut, meski ada sedikit gemetar di ujung kalimatnya.
Arga menatap Alya dengan sorot mata yang sulit diartikan. "Maaf ya, aku capek," ulangnya lagi, lalu berdiri, seolah ingin menghindari situasi itu.
Alya menahan tangan suaminya, kali ini wajahnya mulai menunjukkan ketidakpuasan. "Mas, akhir-akhir ini kamu berubah. Kamu... dingin sekali. Apa aku melakukan sesuatu yang salah?"
Arga menahan napas sejenak, matanya menatap Alya dengan ekspresi datar. Dalam hatinya, dia ingin mengungkapkan segalanya, tetapi dia tahu ini belum waktunya. "Nggak, Alya. Kamu nggak salah. Aku cuma lagi banyak pikiran," jawabnya sambil melepaskan tangan Alya dengan lembut.
Alya merasa ada yang aneh. Biasanya Arga selalu memeluknya, membujuknya, atau memberikan perhatian lebih jika dia merasa kesal. Namun, malam ini, Arga terasa seperti pria yang berbeda. Dia tidak marah, tetapi ada jarak yang tidak bisa dia pahami.
Saat Arga melangkah menuju kamar mandi, Alya memandangnya dengan tatapan penuh pertanyaan. Di dalam hati, dia merasa ada sesuatu yang salah, tetapi dia tidak tahu apa itu.
"Mas... apa ini karena aku? Atau... ada sesuatu yang aku nggak tahu?" gumam Alya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Dia duduk termenung di tempat tidur, mencoba mencari jawaban atas perubahan sikap suaminya.
Di kamar mandi, Arga berdiri di depan cermin, menatap bayangannya sendiri. "Sebentar lagi, Alya. Sebentar lagi, aku akan menunjukkan siapa kamu sebenarnya," bisiknya lirih dengan mata yang tajam.
Pagi itu, Arga mengenakan setelan rapi khasnya dan bersiap untuk pergi ke kantor. Dia berpamitan kepada Alya yang masih duduk di meja makan. Meski hatinya menolak, dia tetap berusaha bersikap manis seperti biasa, agar tidak menimbulkan kecurigaan.
"Mas berangkat dulu, ya," ucapnya lembut, sambil mencium puncak kepala Alya.
"Iya, hati-hati, Mas," jawab Alya dengan senyum kecil, meski matanya masih menyimpan rasa penasaran atas perubahan sikap suaminya akhir-akhir ini.
Saat keluar dari rumah menuju mobil, langkah Arga terhenti sejenak. Pandangannya tertuju pada halaman samping rumah, di mana Mentari, sepupu Alya sekaligus pembantu di rumah mereka, sedang bercanda dengan Rian, sahabat sekaligus tangan kanannya di kantor.
Mentari tertawa lepas, suaranya ceria dan ringan. Senyum di wajahnya terlihat begitu alami, membuat siapa pun yang melihatnya ikut merasa nyaman. Rian tampak terhibur, sesekali membalas candaannya dengan tawa kecil.
Arga berdehem, suaranya cukup keras untuk menarik perhatian mereka. Rian segera menoleh dan menyadari kehadiran Arga. "Oh, udah siap, Ga?" tanyanya, sambil memberikan isyarat pamit kepada Mentari.
"Ya, udah siap. Ayo," jawab Arga singkat, sambil melirik sekilas ke arah Mentari yang masih tersenyum.
Senyum itu lepas, alami, dan tanpa beban membuat Arga tersenyum tipis tanpa sadar. Namun, segera dia menguasai dirinya lagi, menepis perasaan aneh yang sempat menyelinap di hatinya.
Di dalam mobil, Rian mencoba mencairkan suasana dengan obrolan ringan. "Mentari itu manis juga, ya. Nggak nyangka sepupunya Alya bisa seramah itu," katanya sambil terkekeh.
Arga hanya diam, menatap lurus ke depan. Namun, kata-kata Rian itu entah mengapa membuat dadanya terasa sesak. Ada sedikit rasa tidak rela yang muncul, meski dia berusaha menepisnya dengan kuat.
"Fokus aja sama kerjaan, Rian," jawab Arga akhirnya, suaranya dingin tapi tegas.
Rian menoleh, sedikit bingung dengan respons singkat itu. Namun, dia memilih untuk tidak memperpanjang pembicaraan.
Di sepanjang perjalanan, pikiran Arga terus berputar. Dia mencoba meyakinkan dirinya bahwa Mentari hanyalah sepupu Alya, seorang pembantu yang bekerja di rumahnya. Tapi kenapa setiap kali dia melihat senyum ceria itu, ada rasa nyaman yang tak bisa dia abaikan?
semangat Thor