Jika tak percaya adanya cinta pada pandangan pertama, Rayyan justru berbeda, karena semenjak melihat Mbak Tyas, dia sudah langsung menjatuhkan hati pada perempuan cantik itu.
Dan dia Rayyan Asgar Miller, yang jika sudah menginginkan sesuatu dia harus mendapatkannya dengan cepat.
"Ngapain masih ngikutin? Kan tadi udah aku bayarin minumannya tah!?"
"Bayarannya kurang Mbak!" Rayyan menyengir lalu menunjukkan sebelah pipinya. "Kiss sepuluh kali dulu, baru aku anggap impas."
"Astaghfirullah!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pasha Ayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DB SEPULUH
Ridwan telah berpulang, setelah selama ini Tyas berusaha sekeras mungkin untuk menyembuhkan penyakit orang tua itu dan kenyataannya Tuhan lebih sayang.
Mengambil segala penyakit yang diderita dengan menempatkan di sisi-Nya. Tyas yakin Ridwan ayah yang baik, insya Allah Husnul khatimah.
Meski demikian Tyas tetap merasa kehilangan satu satunya figur orang tua karena ibunya entah menghilang ke mana.
Ridwan sudah dikebumikan, dan sekarang Tyas hanya memiliki Dimas juga suami yang masih dia anggap orang asing.
Malam sudah begitu larut, Rayyan membiarkan Guntur dan Aulkafa yang baru saja mengikuti tahlilan yasinan pulang ke hotel agar bisa secepatnya keluar dari kepungan para mamah muda.
Warga kampung baru melihat ada tiga cowok ganteng yang masuk ke desanya. Bukan berarti tidak ada yang tampan di sana, karena Ervan salah satu produk unggulannya.
Namun, yang namanya produk baru, apa lagi modelnya seperti Guntur, Rayyan dan Aulkafa, jelas mampu menggetarkan rahim mamah muda. Rayyan beruntung sudah dipersuami Tyas, setidaknya dia aman saat ini.
Tidak dengan Aulkafa dan Guntur yang harus menyelamatkan diri secepatnya. Dari pada semakin bonyok oleh colekan dan pukulan gemas kumpulan para kaum rahim anget, lebih baik mereka ke hotel saja.
Dimas dan beberapa warga kampung masih ngopi di depan itu pun Rayyan sempat ikut ikutan sebelum Dimas menyuruhnya untuk menemani Mbak Tyas di kamar.
Namun, Rayyan belum seberani itu untuk masuk kamar Tyas. Sedari tadi pemuda itu hanya berjalan mondar- mandir di depan pintu tanpa berani nyelonong masuk.
Sampai Tyas akhirnya keluar, mata mereka langsung bertemu saling pandang. Tyas sempat menelan ludah, dia seketika ingat kalau malam ini malam pertamanya menjadi seorang istri.
Istri dari suami wasiat ayahnya. Bagaimana pun cara mereka menikah dan bertemu, secepat apa pun takdir mereka bersatu, Rayyan sudah sah menjadi imamnya.
Tyas bukan wanita yang durhaka, tapi juga tidak bisa langsung menerima orang asing begitu saja. Tyas hanya sedang menunggu, sampai bocah tengil ini menyerah dan mungkin akan meminta cerai.
Karena Tyas yakin, Rayyan bukan pemuda yang serius ingin bertanggung jawab. Tyas yakin kalau Ervan saja bisa selingkuh dan berkhianat, apa lagi bocah ingusan ini.
Trust issue, akhirnya Tyas mengalami ketakutan itu. Takut disakiti, apa lagi jika melihat gaya tengil suaminya ini.
"Kamu mau makan?" Tyas beranjak dari pintunya, lalu menanyai suaminya yang kemudian menggaruk tengkuk.
"Mbak mau bikinin?" Rayyan memang belum makan karena ikut- ikutan sibuk mengurus pemakaman almarhum mertuanya. Lagi pun dia tak berselera makan seharian ini.
Melihat Tyas menangis seharian, siapa yang berselera untuk makan. Tapi saat sudah malam begini, perut Rayyan keroncongan.
"Tunggu sebentar."
Tyas masuk ke dapur sederhananya. Rayyan lekas ikut mengekor di belakang istrinya lalu duduk di bangku yang ditarik oleh Tyas.
"Mau nasi goreng nggak?" tawar Tyas. Rayyan tersenyum karena dia mengingat ibunya yang meski ketus dan jutek tetap perhatian.
"Boleh." Rayyan mengangguk, lalu menyangga pipinya sambil memandangi istrinya bergerak untuk masak.
Dapur ini tidak seperti dapur di rumah utama keluarga Rayyan, tapi masih ada lemari es dan kompor dua tungku yang layak untuk membuat makanan.
Tempatnya juga bersih meski sederhana, dari lantainya sampai dindingnya tak ada debu yang beterbangan, ini menunjukkan jika Tyas pandai merawatnya.
Kalau rumah saja dirawat, apa lagi Rayyan yang suaminya. Ya Tuhan, Rayyan cengar- cengir sendiri membayangkan bisa memeluk Tyas dari belakang saat Tyas memotong sawi.
Apa lagi membayangkan saat Tyas tersenyum sambil memasak. Tuhan, sepertinya Guntur benar kalau dia kesurupan setan bucin, otaknya jadi korslet begini.
Bermenit-menit itu Rayyan hanya sibuk berkhayal, bisa memeluk, bahkan mencium gadis itu. Sampai akhirnya Tyas menyodorkan sepiring nasi goreng spesial di mejanya.
Rayyan menyengir karena otak korsleting nya mulai lurus kembali. "Makasih, istriku."
Tyas mendengus, kenapa sepertinya Rayyan selalu bersikap biasa saja bagai sudah lama mengenalnya sementara dia masih saja asing pada pemuda tampan ini.
Sebagai tanggung jawab pertamanya, Rayyan kemudian meraih dompetnya, mengeluarkan banyak uang cash yang sengaja dia siapkan untuk Tyas.
Tyas sempat melirik isi dompet pemuda itu, ada banyak kartu di sana. Juga banyak sekali uang merah yang akhirnya diletakkan di meja makan, tepatnya di depan tubuh Tyas.
"Mbak butuh uang kan?" Rayyan lalu meraih sendok miliknya, lalu bersiap untuk makan.
Tyas tahu Rayyan sedang mencoba untuk menjadi suami yang bertanggung jawab dengan mencukupi kebutuhannya saat ini.
Namun, Tyas juga tidak lupa jika Rayyan tidak bekerja karena Rayyan si anak tengil ini masih kuliah semester dua. "Dari mana uang ini?"
Rayyan mendadak menatap Tyas dengan kening yang mengerut heran. "Dari suami Mbak Tyas, siapa lagi?" tanya baliknya.
"Main selot?" tanya Tyas. "Apa dari orang tua kamu hm?" tanyanya lagi menyelidik.
Rayyan terdiam melongo. Kenapa Tyas ini sudah mirip cenayang, dia memang suka sekali bermain selot online, juga uang ini memang dia ambil dari orang tuanya.
"Ini uang jajan kamu kan?" cecar Tyas kembali, dan kali ini Tyas menggeser uang milik Rayyan untuk dikembalikan.
Rayyan mengangguk karena memang uang itu uang jajannya. "Iya, tapi..."
"Aku mau kamu lulus kuliah dengan baik, jadi jangan coba coba pake uang jajan kamu buat menuhin kebutuhan aku sama Dimas!" kata Tyas.
"Tapi..."
Belum selesai Rayyan menjelaskan, Tyas kembali menimpalinya. "Kalo kamu mau ngasih nafkah, kamu harus kerja sendiri, nafkahi istri kamu dengan keringat kamu sendiri, bukan hasil minta dari orang tua kamu, Rayyan. Kamu harus ingat, orang tua kamu kerja banting tulang untuk kuliah kamu, jadi jangan hambur hambur kan itu!"
"Aku suami kamu, Ning Tyas!" Rayyan mengingatkan posisi gadis itu. Meski sudah dewasa tapi dia bukanlah adiknya. "Panggil Mas kek!" titahnya.
Tyas menghela dalam, tapi Rayyan benar dia istri anak ingusan ini. "Iya, Mas," ngalahnya.
Rayyan menyengir seketika. "Gitu kan lebih enak didenger, Yas." Rasanya puas bisa sebut Tyas tanpa sebutan Mbak.
Rayyan lalu meraih tangan mulus istrinya untuk kemudian dipaksa menerima gepokan uang merah darinya. "Ini uang kamu ambil, itu bukan uang jajan atau uang semester, gini gini suami kamu kerja. Jadi jangan sepelekan suami kamu!" katanya menerangkan.
Rayyan memang berbohong, tapi dia ingat jika terkadang kita perlu berbohong demi kebaikan hubungan. Sebab ayahnya selalu begitu saat ibunya memasak, bilang enak padahal tidak.
Tyas ingin menyanggah ucapan Rayyan, tapi pemuda itu segera meraih sendok dan izin untuk makan malam. "Sekarang boleh suami mu makan?"
"Iya, boleh." Tyas bisa apa? Lagi pula nasinya keburu dingin jika mereka terus berdebat.
Tyas duduk dengan kesal di kursinya, ia harus menemani suaminya makan malam walau sama sekali tak ingin. Ini yang Rayyan suka jika istrinya shalihah, dia takkan diremehkan dalam hal apa pun.
Rayyan kemudian menyendok nasinya untuk di sodorkan pada mulut istrinya. "Kamu lebih dulu mau?"
Tyas mengernyit, dia tidak suka disuapi apa lagi oleh Rayyan. "Jangan buat aku jahat ya, makan sendiri tanpa ngajakin istri! Kamu juga harus mau makan kalo suami ngajakin."
Tyas menghela berat lalu membuangnya dengan kesal. Dia lantas meraih sendok baru untuk ikut makan bersama suaminya.
Nasibnya sial sekali, harus menghadapi Rayyan setelah pengkhianatan Ervan dan kepulangan Bapaknya. Yang dia sayangkan adalah, dia harus menurut karena dia istri.
"Ngapain ambil sendok lagi?"
Tyas baru mau menyendok nasinya, Rayyan sudah mencegahnya, meraih sendoknya lalu dikembalikan lagi ke tempatnya. "Kamu pasti capek nyucinya, jadi kita makan satu sendok berdua."