Terpaksa menikah karena persoalan resleting yang tersangkut pada rambut seorang gadis bernama Laras ketika Polisi Intel itu sedang melaksanakan tugas mengejar pengedar narkoba. Polisi Intel itu menyembunyikan identitasnya dari sang Istri, ia mengaku sebagai seorang Ojol. Karena gagal menyelesaikan tugasnya. Aliando Putra Perdana hendak dipindah tugaskan ke Papua.
Tanpa Ali sadari, ia sengaja dikirim ke sana oleh sang Ayah demi menghindari fitnah kejam dari oknum polisi yang menyalahgunakan kekuasan. Ada mafia dalam institusi kepolisian. Ternyata, kasus narkoba berhubungan erat dengan perdagangan manusia yang dilakukan oleh oknum polisi di tempat Aliando bertugas.
Ingat! Bukan cerita komedi, bukan pula dark romance. Selamat menikmati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pilips, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mulai Bucin
Wajah intel tampan perlahan mendekat ke sasarannya. Jarak antara dia dan Laras hanya sejari. Aliando memegang dagu mungilnya Laras. Gadis itu pun kian memasukkan kepalanya ke dalam ceruk leher polisi intel.
Dada Ali kian naik turun, napasnya semakin terasa sesak. Karena Laras sudah mengatakan kalau dia percaya pada dirinya, pria itu mengurungkan niatnya untuk mengecup bibir si Gadis cengeng.
Suara guntur kembali menyapa, saling bersahutan. Laras memeluk erat tubuh Ali, ia kedinginan. Sementara itu, polisi intel tersebut sibuk mengusap keringat yang mengumpul pada dahinya.
Dilihatnya Laras sekali lagi. Pose tidurnya begitu imut. Secara spontan, naluri alamiah seorang laki-laki adalah melindungi. Aliando pun balas memeluk tubuh Laras dengan penuh sayang.
“Istrinya Pak Aliando,” ujar Ali lembut dan langsung mengecup puncak kepala si Cengeng. “Tidak perlu cium bibir, cium rambutnya yang bau besi berkarat saja aku sudah deg-degan.” Polisi itu menghela napas. “Mengapa terasa sangat damai ketika berada dalam pelukannya?”
Apa aku telah jatuh cinta?
Gadis dalam pelukan seorang polisi itu ternyata merasakan apa yang dilakukan oleh pria yang dia sangka ojol tersebut. Laras meremas guling tanpa sepengetahuan Ali. Laras kaget bukan main. Jantungnya seolah akan keluar. Kejadiannya begitu cepat, batin Laras menggatal.
***
Matahari masuk melalui celah jendela kamar kosan. Ini sudah pukul 7 pagi.
Perut diantara keduanya pun bersahutan sebab tak ada yang makan malam, hikss. Laras tersadar duluan. Pertamakali membuka mata, ia melihat sosok tampan berwajah putih, hidung mancung, dan bibir tepis tengah memeluk tubuhnya.
Laras menelan ludah. Dilihatnya perban yang melingkari perut pria itu. Napas Laras menjadi ringan sekarang. “Syukurlah.”
Pelan-pelan gadis itu menuruni ranjang tapi pergelangan tangannya dicegat oleh Aliando.
“Mau ke mana?” tanya Ali masih dengan kedua mata tertutup.
Laras menjawab terbata, “eh …, mau …, ke …, mau berak, Om!” Laras segera melepaskan jeratan Ali, ia buru-buru masuk ke dalam toilet
Sementara itu, Ali tersenyum menyadari bahwa gadis mungil itu salah tingkah.
“Haha, satu nol.” Ali beranjak. Ia ganti perban lukanya secara mandiri. Rasa sakit terasa tak berarti lagi saat ini. Baginya, ia harus segera mengenalkan Laras pada Papa Abraham dan Mama Desy.
“Daripada ketahuan sebelum mengaku …, sebaiknya aku segera membawa Laras ke rumah.”
Begitu pikiran Ali. Padahal sejak kemarin berita sudah tersebar ke seluruh penjuru polres tempatnya bertugas.
Sesuatu yang ingin Prass sampaikan adalah hal tersebut tapi karena ia mendengar suara seorang wanita yang menjawab, Prass sontak mengubah topik.
Ponsel Aliando lobet, dia tak tahu pertanyaan seperti apa yang menantinya diluar sana.
“Laras!” Ketuk Aliando pada pintu kamar mandi.
“Hemmm?”
“Cepetan!”
“Kenapa? Mau boker juga?”
Ali mengusap kedua matanya. “Cepat keluar …, aku mau bawa kamu ketemu sama orang tua aku.”
Setelah mengatakan hal itu, Ali segera memakai kemejanya. Membersihkan kasur dan menyiapkan barang penting, takut jika Laras melupakan sesuatu.
Ketika Ali membuka laci nakas. Ia mendapati sebuah foto seorang wanita dan pria. Kening Ali sontak mengernyit serius.
“Lolly …,” gumamnya.
Foto sepasang kekasih sedang bermesraan merayakan hari ulang tahun. Lolly dan kekasihnya.
“Kekasihnya pengedar narkoba …, apa Lolly juga sama?”
Pertanyaan Ali menggantung di langit-langit kamar. Tak lama setelah itu Laras keluar. Wajahnya basah, benar habis berak.
Ali menutup hidungnya. “Udah disiram, belum?”
“Buntu.”
“Gila!”
***
Ali membujuk orang tua angkatnya untuk berbohong kalau dia ini benar ojol. Tapi, karena rumahnya Ali sangat besar dengan perabotan mewah. Ia kasi tahu Laras jika Ali berusaha hidup mandiri dan sejak dulu cita-cita Ali menjadi seorang ojol. Anjasss!!! LOL…
“Mana Baskara, Mah?” Kepala Ali mencari-cari saudaranya, khawatir jika tiba-tiba muncul langsung keceplosan. “Kamarnya, ‘kok terkunci.”
“Baskara dapet tugas pengamanan malam di rumah dinas Pak Gubernur, besok baru pulang. Kenapa? Kangen?” senyum sang Ibu lembut sambil menuangkan air teh dari cerek keramik mahal.
“Yakali.”
Pak Abraham yang bersedia masuk dalam sandiwara putra angkatnya melipat kembali korannya. “Ikut Papa ke belakang,” ungkapnya serius.
Aliando berdiri, sebelum jauh, ia berbalik menatap Laras yang nampak malu-malu duduk berdua bersama ibunya.
“Heh, ngapain berdiri di situ? Ayo ikut,” kata Pak Abraham.
Mereka akhirnya tiba di taman belakang rumah. Pak Abraham berbicara tanpa menatap lawan bicaranya. Ia membelakangi Ali. “Minggu depan kamu segera berangkat ke Papua.”
“Apa?!”
Reaksi Aliando sangat sesuai dengan yang diperkirakan Pak Abraham. Pria bintang dua itu menghela napas pendek.
“Kamu diminta pimpinan utama untuk menyelesaikan pertikaian di sana, Al. Cuma kamu yang bisa, jangan kecewakan Papa.”
“Tapi, Pah …, Ali masih harus menangkap pelaku itu!”
“Tangkap apa, hah?!” Pak Abraham berbalik, emosinya mulai tersulut. “Pengedar narkoboy aja kamu gak becus. Gimana Papa bisa percaya sama kamu lagi? Ini kesempatan satu-satunya sehingga Papa bisa naikkan jabatan kamu!”
“Ali gak perduli jabatan!” katanya bertegas.
Pria tampan itu melanjutkan, “Papa tahu, ‘kan? Pengedar ini adalah yang tersulit diantara semua buronan! Coba suruh Baskara menangkapnya? Bisa gak?!”
“Kamu ini ….” suara Pak Abraham merendah. Ia jelas tahu apa yang dimaksud oleh putra angkatnya itu.
Karena Aliando kesal dengan pembicaraan itu. Ia segera pergi ke depan. Ditatapnya Laras yang mulai nampak mengakrabkan diri dengan ibunya.
“Laras, ayo kita pergi dari sini,” ucap Aliando dingin.
“Hah?”
“Berdiri!” titah Aliando dengan suara keras.
“Al …, kamu kenapa sih, nak?” heran sang Ibu.
“Coba tanya sama Papa, Mah.” Ali segera menarik Laras keluar dari rumah besar itu. Hati Aliando berkecamuk. Satu-satunya orang yang bisa membantunya adalah Prass. Ya! Pria itu, satu-satunya sahabat karibnya Aliando. Prass adalah putra sulung dari Jendral Polisi bintang empat yang paling berpengaruh di Polres kota J tempatnya bertugas.
***
Polisi intel bertubuh ideal itu menunggu Prass di dekat mall. Laras manyun sejak tadi. Hatinya terasa luka habis kena bentak.
Aku salah apa sih? Nyebelin banget Om ojol ini!
“Kenapa diem dari tadi?” Ali melirik gadis yang mulutnya sudah nampak seperti bebek sejak tadi.
“Kamu gak haus?”
Bibir mungil Laras mencebik. Melipat kedua tangan di dada lalu mengalihkan pandangan ke samping.
“Laper?”
Masih tak ada jawaban. Ali menghela napas. Ia sadar bahwa tadi dirinya membentak gadis cengeng itu, syukur saja tidak menangis.
“Maaf ya …,” ujar Aliando. Tatapan mata pria itu terlihat nanar. Kendaraan lalu lalang seolah menjadi penghibur.
Laras menoleh dan ketika itu Ali juga ikut menoleh padanya. Gadis itu segera buang muka. Secara spontan Aliando tersenyum.
“Apa? Ketawain aku?” kesal Laras.
“Mau seblak?” goda pria itu. Dia yakin jika Laras suka makanan itu.
“Eummm.” Angguknya.
Lagi-lagi tangan Aliando bergerak mengelus puncak kepala Laras dengan gemas. “Dasar ….”
Prass yang melihat keduanya dari kejauhan mengernyit. Tangan panjangnya merentang ke samping, menahan laju kendaraan agar dia bisa sampai di sana.
“Tumben si Ali ngelakuin hal itu ke cewe …, biasanya ‘kan, kaku abis.” Prass setengah berlari sekarang, ingin cepat sampai dan menggoda sahabatnya.
“Kita tunggu Prass dulu ya, baru cari seblak.”
“Gak perlu nunggu! Gue dah dateng.” Prass menimpuk bahu Ali dengan keras. “Cieee….”
“Apa?” beo Ali pura-pura kaku lagi.
“Gak usah gitu lah. Udah lihat tadi, hahaha.”
“Prass?” Tunjuk Laras, mukanya sangat lucu.
“Iya. Kenalin, Prasestyo Teguh Panglima.”
“Bagus banget namanya hehe,” senyum Laras menyeruak, matanya hilang. Apple checknya begitu menggemaskan.
“Kamu lucu banget.” Prass memajukan tangannya, salaman.
“Makasih,” jawab Laras, menerima tangan terulur itu.
Aliando menjadi orang ke tiga sekarang. Pria itu berdeham,”panas sekali cuacanya!” Ujung kera bajunya nampak ia acak-acak.
“Mana ada panas, Al? Mendung gini …, hormon lu kali lagi berontak.”
“Kak Prass, makan seblak yuk.” Laras mengambil lengan itu lalu ditarik-tarik.
Ujung mata Ali menjadi tajam. Dalam hati pria itu berkata, loh …, ‘kan, aku yang ajak, kenapa jadi mengajak orang lain, sih?!
“Ayo …, aku tahu warung seblak yang enak.”
“Pras!” seru Aliando tiba-tiba.
Mata Laras berkedip dan Prass mengernyit.
“Aku mau bicara, penting.”
“Nanti abis makan seblak,” jawab Prass.
Ali menyugar rambutnya. “Jangan termakan keimutannya, dia itu bikin repot, tahu.”
Laras mencubit lengan Ali. “Hih, apaan sih? Bohong itu kak Prass, fitnah.”
Pras tertawa, “iya …, aku percaya sama kamu, Laras. Lagian …, Al sudah ngakuin kamu kalau kamu itu imut.”
“Prass ….” Ali menyergap lengan anak komisaris itu. “Kata Papi, aku harus pindah ke Papua.”
Wajah Aliando seserius itu. Ia menunduk, melepaskan tangan Prass. “Tolongin aku….”