Ajeng harus pergi dari desa untuk menyembuhkan hatinya yang terluka, sebab calon suaminya harus menikahi sang sepupu karena Elis sudah hamil duluan.
Bibiknya memberi pekerjaan untuk menjadi pengasuh seorang bocah 6 tahun dari keluarga kaya raya di Jakarta.
Ajeng iya iya saja, tidak tahu jika dia adalah pengasuh ke 100 dari bocah licik itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lunoxs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5 - Kamu Harus Sabar
"Sen," panggil Ajeng.
"Apa?" sahut bocah itu, akhirnya mau juga dipanggil Sen, setelah perdebatan cukup panjang dan setelah baju mereka berdua sama-sama kotor.
Ajeng bahkan sangat yakin, baju Sean nanti tidak akan bisa dipakai lagi, karena saat ini Sean memakai baju berwarna putih.
"Sean sayang sama Malvin?" tanya Ajeng.
"Iya, cuma dia teman main ku."
"Harusnya kalau sayang Malvin-nya dilepas, biar dia hidup di alam bebas. Malvin pasti merindukan sesama kodok."
"Memangnya kalau sayang harus melepaskan seperti itu?" tanya Sean pula, raut wajahnya berubah jadi serius.
Ajeng bahkan sampai bingung sendiri. Ucapan Sean seperti bukan lagi membahas tentang kodok, yang yang lain dan entah Ajeng tidak tahu.
Sementara bocah tampan itu tersenyum getir. Apa yang diucapkan oleh Ajeng kali ini sama persis seperti apa yang diucapkan oleh kedua orang tuanya ketika memberi dia alasan kenapa harus berpisah.
Karena mama dan papa sangat menyayangi Sean, karena itulah kami berpisah.
Cih! alasan macam apa itu. Geram Sean, namun tentu saja hanya dia ucapkan di dalam hati. kepedihannya atas perpisahan kedua orang tua selama ini hanya dia pendam sendiri dan hanya meluapkan pada orang lain dengan cara kenakalannya.
Tanpa ada kata lagi, Sean bangkit lebih dulu dan keluar dari kubangan itu. Dia pun tetap membawa Malvin untuk ikut bersamanya.
"Sen, tunggu mbak Ajeng!"
Sean tidak mau dengar.
"Sen!"
Bocah itu tetap berjalan dengan cepat, tak peduli dengan tubuhnya yang kotor, Sean tetap masuk ke dalam rumah.
Malam hari setelah makan malam.
Sean langsung masuk ke dalam kamarnya. Ajeng menemani, dia akan bersama Sean sampai bocah itu tertidur.
Ajeng melihat jadwal sekolah Sean di atas meja belajar. Dia menyiapkan semua kebutuhan sang anak asuh.
Saat Ajeng melirik Sean yang kini duduk di atas ranjang, bocah itu nampak melihat ke arah pintu.
3 kali Ajeng melirik dan tetap mendapati Sean melihat pintu itu.
Seolah sedang menunggu seseorang.
"Kelinci yang cerdik," ucap Ajeng, coba membuyarkan lamunan Sean dengan membaca judul buku dongeng di tangannya.
Ajeng tidak akan bertanya kenapa Sean melihat ke arah pintu, Ajeng akan melakukan segala cara agar Sean melupakan semua kesedihannya.
"Pada suatu hari_"
"Mbak Ajeng! aku kan tidak minta dibacakan dongeng, kenapa membaca buku itu!"
"Mbak Ajeng nggak baca dongeng buat Sen kok, Mbak Ajeng baca buat diri sendiri."
Sean mendelik, "Tapi aku terganggu!"
"Iya iya maaf, jadi Sen maunya apa?"
"Mbak Ajeng keluar dari kamar ku!"
Ajeng tersenyum kecil, dia mengangguk.
"Baiklah, mbak Ajeng akan keluar."
Saat itu juga Ajeng berjalan menuju pintu, dia buka pintu itu lebar-lebar lalu keluar.
Tapi Ajeng tidak benar-benar pergi, dia berdiri di samping pintu itu dan Sean masih mempu melihatnya.
Sean jadi semakin marah. Dengan raut wajah penuh kekesalan dia pun turun dari atas ranjang dan segera menutup pintu itu dengan kuat.
BRAK!!
"Astagfirulahalazim," ucap Ajeng seraya menyentuh daddanya yang berdegup karena terkejut.
Dia sampai tak bisa berkata-kata, tapi sedih sekali ketika mendapati perlakuan Sean yang seperti ini.
Ajeng bahkan seperti ingin menangis.
"Sabar Jeng, Sabar, istighfar," ucap Ajeng lagi, bicara pada dirinya sendiri agar tetap tenang.
"Iya, kamu harus sabar," ucap Ryan, sampai berhasil membuat Ajeng kembali terkejut.
"Pak Ryan_"
"Om."