Yaya_ gadis ceria dengan sejuta rahasia.
Ia selalu mengejar Gavin di sekolah,
tapi Gavin sangat dingin padanya.
Semua orang di sekolah mengenalnya sebagai gadis tidak tahu malu yang terus mengemis-ngemis cinta pada Gavin. Namun mereka tidak tahu kalau sebenarnya itu hanya topengnya untuk menutupi segala kepahitan dalam hidupnya.
Ketika dokter Laska memvonisnya kanker otak, semuanya memburuk.
Apakah Yaya akan terus bertahan hidup dengan semua masalah yang ia hadapi?
Bagaimana kalau Gavin ternyata
menyukainya juga tapi terlambat mengatakannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mae_jer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
"Gavin anterin aku ya pleassee..." bujuk Yaya dengan wajah memelas. Mereka sudah selesai bikin tugas kelompok.
Yasmin dan Clara sudah pulang sejak tadi, tinggal Yaya dan Bintang. Kalau Bintang memang sering main di rumah Gavin, biasanya tuh cowok pulangnya tengah malam kalau mereka lagi fokus main game. Tapi Yaya? Ia tidak mau pulang bareng Yasmin dan Clara. Katanya mereka bisa berkelahi di jalan, jadi ia akan pulang setelah dua cewek menor itu pergi.
Sejak tadi Yaya terus memaksa supaya Gavin mau mengantarnya pulang tapi berulang kali di tolak oleh cowok itu. Gavin memilih sibuk dengan ponselnya.
"Gavin, mau ya anterin aku?" kata Yaya lagi masih memaksa.
"Nggak." tolak Gavin tegas. Matanya fokus ke hpnya. Sesekali ia merasa terganggu karena tangan Yaya terus bergerak dibahunya.
"Tapi..."
"Udah gue aja yang anter." tawar Bintang akhirnya. Ia bosan menonton Gavin dan Yaya yang tidak kelar-kelar perdebatannya dari tadi. Kalau begitu terus, bisa-bisa mereka di sini sampai pagi.
"Tapi aku maunya di anterin sama Gavin." balas Yaya kontan membuat Bintang melongo menatapnya, sedang Gavin tetap bersikap tidak peduli. Kali ini dia ia menyibukkan diri dengan buku yang baru di ambilnya dari atas meja sofa.
"Lo tuh ya, emang harus banget ya di anterin Gavin?" Bintang mulai geram.
Yaya mengangguk pasti. Gavin di sebelahnya tetap cuek.
"Tapi Gavinnya nggak mau tuh gimana? Lo udah lebih dari sejam tahu maksa dia tapi nggak ada hasilnya." tambah Bintang lagi mengingatkan.
Yaya melirik Gavin sebentar, gadis itu mendesah pelan. Bintang benar. Sih Gavin ini sifatnya benar-benar kayak batu. Masih untung cowok itu nggak mengamuk memarahinya. Ya sudahlah, mau gimana lagi, terpaksa ia harus mau di antar pulang sama Bintang.
"Ya udah." kata Yaya akhirnya. Nadanya tidak bersemangat. Bintang mengernyit melirik cewek itu.
"Maksudnya lo setuju gue anter?" tanyanya memastikan.
Yaya mengangguk mengiyakan meski dengan berat hati. Pandangannya berpindah ke Gavin yang tetap sibuk dengan dirinya sendiri.
"Aku pulang ya Gav." pamitnya ke cowok itu.
"Hm." balas Gavin singkat tanpa menoleh sedikitpun.
Yaya berdiri dari sofa dan mulai berjalan mengikuti langkah Bintang yang sudah lebih dulu berjalan ke pintu depan. Ia tidak menyadari Gavin menoleh menatap kepergiannya ketika ia berbalik pergi.
Gavin menghentikan kegiatannya dari membaca buku setelah Bintang dan Yaya tidak terlihat lagi di dalam rumahnya.
Cowok itu menghembuskan nafas panjang. Seumur hidupnya baru kali ini ia kesulitan menghadapi seorang gadis. Ia masih penasaran apa yang membuat Yaya tidak pernah lelah mengejarnya padahal ia sudah bersikap dingin terus menerus ke gadis itu. Ia akui terkadang ia merasa simpati melihat usaha gadis itu, tapi ia tidak mau memberi harapan palsu dengan bersikap baik padanya. Ia sungguh tidak tertarik untuk pacaran saat ini. Cowok itu ingin fokus mengejar masa depan dulu.
Ingatannya kembali ke beberapa jam yang lalu ketika Yaya menatapi lukisan yang terpampang di tembok ruangan dengan wajah serius. Ia penasaran apa yang dipikirkan gadis itu ketika melihat lukisan yang dibuatnya. Kadang Gavin merasa Yaya sangat misterius. Seolah ada sesuatu yang dia sembunyikan.
***
"Ini rumah lo?" tanya Bintang ke Yaya yang dibalas dengan sebuah anggukan pelan. Mereka sudah sampai didepan rumah gadis itu. Sebenarnya itu bukan rumahnya, tapi rumah bi Mira, mantan pengasuhnya yang sudah di pecat sama dua nenek lampir di rumahnya. Yaya kesal tiap kali ingat kejadian bi Mira di pecat. Meski begitu, bi Mira tetap menerima dia kalau ia datang berkunjung, ia juga sudah menganggap rumah bi Mira sebagai rumahnya sendiri karena lebih berasa keluarga.
Bintang kembali menatap rumah kumuh itu dan Yaya bergantian membuat Yaya balik menatapnya dengan raut wajah bingung.
"Kok liatnya gitu?" ia balik bertanya dengan wajah bingung.
"Nih rumah beneran rumah lo?" tanya Bintang lagi masih ingin memastikan.
"Iya, kenapa sih?" balas Yaya lagi mulai dongkol.
"Jadi lo beneran semiskin ini?" Bintang memasang tampang kasihan sedang Yaya hanya menatap cengo cowok itu.
"Miskin?" seru gadis itu dengan wajah cengonya. Bintang tertawa mendengar pertanyaan gadis itu.
"Menurut lo, rumah kumuh kayak gini pantes dibilang rumahnya orang kaya?" ledek cowok itu di sela-sela tawanya. Yaya hanya menatapnya dongkol.