Cerita ini mengisahkan sepasang suami isteri yang sudah dua tahun lamanya menikah namun tidak kunjung diberikan momongan.
Mereka adalah Ayana dan Zulfahmi.
Namun karena desakan sang ibu yang sudah sangat mendambakan seorang cucu dari keturunan anak lelakinya, akhirnya sang ibu menyarankan untuk menjodohkan Fahmi oleh anak dari sahabat lamanya yang memiliki anak bernama Sarah agar bisa berpoligami untuk menjadi isteri keduanya
Rencana poligami menimbulkan pro dan kontra antara banyak pihak.
Terutama bagi Ayana dan Fahmi sendiri.
Ayana yang notabenenya anak yatim piatu dan tidak memiliki saudara sama sekali, harus berbesar hati dengan rencana yang mampu mengguncangkan jiwanya yang ia rasakan seorang diri.
Bagaimanakah kelanjutan kisah Ayana dan Fahmi?
Apakah Ayana akan menerima dipoligami dan menerima dengan ikhlas karena di madu dan tinggal bersama madunya?
Ikuti kisahnya..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mahkota Pena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ditinggal Tugas
"Sayang, terima kasih sudah bersedia menjadi Isteriku, aku sayang kamu." Kecup Fahmi pada dahi Ayana.
"Sama-sama, Mas." Ayana menyahuti.
"Dek, mau kah bulan madu?" tanya Fahmi yang masih mengusap-usap pucuk kepala Ayana.
"Kemana, Mas?" tanya Ayana.
"Kamu mau nya kemana, Sayang?" tanya balik Fahmi pada Ayana.
"Aku ikut saja, Mas. Kemanapun kamu mengajak." jawab Ayana.
"Hmm, kemana ya enaknya? bagaimana kalau kita umroh?" tanya Fahmi.
Ayana terbelalak. Seketika matanya membulat besar. Impian yang selama ini ingin Ayana wujudkan kini ditawarkan langsung oleh suaminya sendiri.
"Yang benar, Mas? Mas serius? tidak berbohong?" Ayana sangat bahagia mendengar kabar bahwa dirinya akan diajak Umroh.
"Iya, Sayang. Kalau kamu mau, Mas bisa langsung daftar dan siapkan segala sesuatunya." Ucap Fahmi.
Ayana mengangguk dengan cepat. Lalu ia langsung memeluk erat tubuh suaminya itu.
Fahmi langsung menerima pelukan dari Ayana.
***
"Bu, aku berencana untuk membuat sebuah Pondok Pesantren tidak jauh dari Rumah. Bagaimana menurut Ibu? Apakah Ibu setuju dengan apa yang aku rencanakan?" Zidan mengutarakan kepada Bu Fatimah bahwa ia akan berencana untuk membangun sebuah Pondok Pesantren.
Bu Fatimah yang sedang menonton televisi seketika pandangannya berubah menoleh ke arah Putera sulungnya.
"Kamu serius, Zidan? Dengan apa yang kamu baru saja bicarakan?" Ibu Fatimah tampak tidak mempercayainya seorang Zidan akan membangun sebuah Pondok Pesantren.
Zidan pun mengangguk penuh dengan keyakinannya.
"Serius, Bu. Aku berniat ingin memiliki Pondok Pesantren." Zidan mengulangi kembali.
"Tentu setuju dong, Sayang. Ibu sangat senang apabila dirimu dapat memiliki Pondok Pesantren." Bu Fatimah tampak bahagia sekali ketika mendengar Zidan akan memiliki Pesantren.
"Alhamdulillah kalau Ibu setuju. Namun mungkin aku akan membangun kecil terlebih dahulu ya, Bu. Karena aku akan melihat dulu bagaimana antusiasme peminat untuk menjadi Santri di Pesantrenku. Jika kelak peminatnya banyak, Zidan akan memperluas pembangunannya." Jelas Zidan.
Ibu Fatimah tampak terkesima mendengar sebuah penuturan apa yang dikatakan oleh Putera sulungnya.
"Lanjutkan, Sayang. Ibu akan selalu mendukung kamu." ucap Bu Fatimah sambil menepuk pundak Zidan.
Fahmi dan Ayana yang baru saja datang sempat mendengar perihal pembicaraan yang tengah dibicarakan oleh Sang Ibu dan Zidan.
"Ada apa ini? tampaknya Ibu dan Kak Zidan senang sekali." Fahmi bertanya kepada Bu Fatimah dan Zidan.
Fahmi dan Ayana mendaratkan bokongnya pada sofa empuk.
"Ini, Fahmi. Kakak kamu berencana akan membangun Pondok Pesantren." Cerita Bu Fatimah kepada Fahmi.
"Oh ya? yang benar Kak? Wah, alhamdulillah aku mendukungnya kak." Fahmi terlihat senang karena Kakaknya akan menjadi pemilik Pesantren.
Ayana pun turut tersenyum mendengar kabar bahwa Zidan akan memiliki Pesantren.
"Iya, semoga bisa terlaksana dengan baik ya. Minta do'a nya saja." Sahut Zidan.
Tanpa sengaja Zidan menatap Ayana, begitu juga sebaliknya, Ayana menatap Zidan dengan tatapan yang canggung.
***
"Sayang, aku akan pergi tugas selama dua hari. Kamu jaga diri baik-baik ya, kalau kamu menginginkan sesuatu, kamu sampaikan saja kepada Ibu atau Kak Zidan. Supaya mereka dapat membantu kamu selama aku tidak berada di Rumah. Lagi pula kamu juga sudah pernah kenal kan dengan Kak Zidan? Jadi tidak perlu canggung dan tidak enak. Aku yakin Kak Zidan akan membantu kamu." Fahmi mengucapkannya sembari mempersiapkan barang-barang yang akan ia bawa untuk bertugas.
Ayana yang sedang membantu mengemasi beberapa pakaian Fahmi pun, mengangguk tanda mengiyakan.
"Baik, Mas."
"Oh iya, Mas. Mas jangan genit-genit kalau jauh dengan aku. Mas harus ingat kalau Mas sudah memiliki aku." pinta Ayana kepada Fahmi.
Seketika Fahmi menghentikan aktifitas nya lalu duduk disebelah Ayana.
"InsyaAllah tidak akan, Sayang. Aku selalu berdo'a agar aku selalu dalam lindungan yang baik dan bisa menjaga pandanganku terhadap siapa pun." Fahmi mengucapkan dengan nada yang begitu lembut.
Ayana pun tersenyum mendengarkan penuturan sang Suami.
Tanpa aba-aba, Ayana langsung melingkarkan kedua tangannya pada tubuh kekar Fahmi.
Keduanya tampak berpelukan dengan sangat hangat.
"Terima kasih ya, Mas." Ayana menjawabnya.
"Sama-sama, Sayang." Fahmi pun menyahutnya.
"Oh iya, Mas. Kamu mau mandi sekarang atau nanti saja?" Ayana bertanya.
Fahmi seketika mengendurkan pelukannya dan menatap wajah Ayana.
"Kenapa memangnya?" Fahmi bertanya kepada Ayana.
"Kalau mau sekarang, aku siapkan terlebih dulu air hangatnya. Karena kamu biasanya tidak akan berani untuk mandi pagi dengan menggunakan air dingin hehehe." Ucap Ayana.
Fahmi pun mengembangkan senyuman manisnya.
"Kamu memang paling bisa, Sayang. Ya udah aku mandi sekarang. Terima kasih atas penawarannya." Fahmi pun menjawabnya.
Ayana menganggukkan secara perlahan.
"Baik kalau begitu, aku siapkan ya."
***
"Fahmi berangkat jam berapa tadi, Bu?" Zidan bertanya kepada Bu Fatimah.
Bu Fatimah yang sedang membawa beberapa piring lauk pauk pun langsung duduk dengan manisnya.
"Berangkat pagi-pagi sekali, Zidan. Sebelum adzan subuh kalau tidak salah." Bu Fatimah menjawabnya.
Zidan pun mulai menyendokkan nasi kedalam piring di hadapan nya tersebut.
"Ayana kok belum turun lagi, ya? Zidan bisa kamu tolong Ibu untuk segera panggilkan Ayana untuk bersarapan bareng dengan kita?" Perintah Bu Fatimah kepada Zidan.
Zidan yang baru saja ingin mengambil lauk, akhirnya terhenti lantaran perintah dari sang ibu.
"Maaf,Bu. Bisakah Ibu saja? Aku tidak enak Bu." Zidan menolak perintah sang Bu Fatimah.
"Zidan, kamu tahu sendirikan kaki Ibu ini sakit, dan untuk memijak tangga rasanya sudah seperti akan lepas." Ungkap Bu Fatimah.
Zidan yang sebenarnya enggan sekali berinteraksi dengan Ayana lantaran rasa canggung yang mendera ketika insiden tempo hari. Membuat dirinya tidak dapat melakukan hal-hal di Rumah ini dengan leluasa semenjak kedatangan Ayana ke Rumah ini.
"Baiklah, Bu. Zidan lupa. hehehe." Zidan menyahutinya.
Ia segera beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menuju kamar Ayana yang letaknya berada di Lantai 2.
Kamar yang bersebelahan dengan kamar miliknya.
Ketika dirinya sudah sampai diambang pintu. Ia segera mengetukkan tangannya pada pintu kamar Ayana.
tok..
tok..
tok..
Suara ketukan pintu membuat Ayana terkejut.
Ia yang sedang menuliskan kisah hidupnya pada sebuah catatan kecil, seketika terperanjat kaget.
Ia pun bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju pintu untuk segera membuka pintu kamarnya.
Pintu pun terbuka.
Ayana terkejut ketika mendapati Zidan telah berdiri di hadapannya.
"Ada apa, kak Zid." Ayana bertanya dengan rasa canggungnya.
Zidan yang merasakan kecanggungan pun akhirnya membuka suaranya untuk menjawab pertanyaan dari Ayana.
"Dipanggil Ibu untuk sarapan bareng." Zidan menjawab.
"Tapi aku belum mau sarapan, Kak. Perut aku sedang tidak enak." Ayana menjawab dengan sedikit mengelus perutnya.
"Temui Ibu dulu, nanti kamu bisa jelaskan kepada Ibu. Yang jelas aku sudah menyampaikan amanat Ibu untuk memanggil kamu untuk segera sarapan bersama. Aku turun dulu ya, Za. Syukron!" Zidan menjawab dengan secara jelas dan langsung menyelonong kabur.
Karena ia tidak ingin Ayana menjawab kembali ucapannya.
"Baik, Kak Zid. Aku akan turun."