Kehidupan Hana baik-baik saja sampai pria bernama Yudis datang menawarkan cinta untuknya. Hana menjadi sering gelisah setelah satu per satu orang terdekatnya dihabisi jika keinginan pemuda berdarah Bali-Italia itu tidak dituruti. Mampukah Hana lolos dari kekejaman obsesi Yudis? Ataukah justru pasrah menerima nasib buruknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ira Adinata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mengulur Waktu
"Kamu mau jawabannya sekarang atau nanti?" Hana menatap kedua mata Yudis dengan begitu dalam.
"Itu terserah kamu. Tapi sejujurnya, aku sangat ingin mendapatkan jawaban dari kamu secepatnya," jelas Yudis.
"Kalau begitu, biarkan aku berpikir selama tiga hari. Kamu jangan coba-coba mendekat ataupun datang ke kafe sebelum aku memberi jawaban," tutur Hana memberi persyaratan. "Apa kamu sanggup?"
Yudis mengembuskan napas berat sembari tertunduk lesu. Tak berselang lama, ia menatap lagi wajah Hana dengan yakin dan mengangguk pelan. "Baiklah. Aku akan menunggu selama tiga hari."
"Kalau begitu, aku pulang duluan. Jangan coba-coba menelepon atau mengirimiku pesan. Sekali saja kamu melanggar, maka tanpa perlu berpikir lagi, aku akan langsung menolakmu," imbuh Hana.
"Oke. Aku terima semua persyaratan itu. Tapi, bolehkah aku meminta janji darimu?"
"Janji? Janji apa?" Hana mengerutkan dahi.
"Kamu harus berjanji untuk tidak menjalin hubungan asmara dengan pria selain aku. Jika dalam tiga hari itu kamu dekat dengan seorang pria dan menjalin hubungan dengannya, maka aku tidak akan segan-segan melakukan hal yang sama seperti pada Arum dan Satria."
Terperangah Hana mendengar ucapan Yudis. "Astaga! Apa kamu masih belum jera dengan kejahatan yang kamu perbuat? Seharusnya kamu memperbaiki diri, bukan mengulanginya."
"Kamu sendiri bagaimana? Apa kamu bisa menurunkan ego sedikit saja demi aku? Ayolah, Hana! Kamu nggak perlu bersusah payah untuk berpikir dan memahami aku! Kamu tinggal bilang setuju saja, dan aku akan berhenti melenyapkan orang-orang. Apa susahnya, sih?"
Hana mengembuskan napas berat, lalu berkata, "Oke, oke. Aku terima, kalau aku ini masih egois. Aku janji, selama tiga hari tidak akan mendekati lelaki manapun. Apa kamu puas?"
Seulas senyum tergambar di wajah Yudis. "Baiklah. Kalau begitu, tolong pertimbangkan baik-baik permintaanku ini, ya."
Hana mendelik, lalu melengos tanpa pamit. Berlama-lama bersama orang aneh seperti Yudis membuatnya pusing setengah mati. Seumur hidup, tak sedikit pun ia mengira akan bertemu dengan lelaki mengerikan seperti Yudis.
Memang, sejak kecil Hana sering berangan-angan mendapatkan takdir baik bak Cinderella. Menikah dengan pangeran tampan dan memperoleh hidup makmur merupakan impian setiap perempuan yang tak bernasib mujur. Namun, jika pangeran itu memiliki perangai iblis seperti Yudis, perempuan mana yang sudi? Bukan surga yang didapat, melainkan kehidupan bagaikan neraka. Begitulah yang terlintas di pikiran Hana.
Sementara itu, Yudis pun tak kalah ngotot mendapatkan Hana. Baginya, Hana itu permata di tengah hingar-bingar dunia. Gadis sederhana dengan tekad dan prinsip kuat, membuat Yudis tertantang menaklukkannya. Sejak pertama kali melihat Hana, ia sudah menduga, bahwa gadis berambut panjang dengan tatapan mematikan bagai ular itu mampu menjadikannya lebih nekat dari sebelumnya. Yudis benar-benar suka dengan sesuatu yang menantang. Semakin Hana menolak, maka semakin gila ambisinya dalam meraih cinta sang gadis pujaan.
***
Tiga hari setelah kematian Arum, Hana sering dirundung gelisah. Hatinya tak tenang setiap kali pulang kerja karena kerap merasa diikuti. Bahkan setelah membayar ongkos ojek daring pun, ia selalu buru-buru berlari masuk ke kos dan mengunci pintu. Sesekali mengintip dari celah tirai, memastikan firasatnya tidaklah benar.
Malam ini, Hana mematikan lampu kos dan mulai memendamkan diri di balik selimut. Ia memegang ponselnya, berjaga-jaga jika sampai sesuatu yang buruk terjadi, bisa langsung menghubungi siapa pun saat itu juga.
Kegelisahan Hana masih enggan berlalu, sampai jam di ponselnya menunjukkan pukul dua dini hari. Dalam hening, samar-samar terdengar suara langkah kaki di teras kos Hana. Jantung Hana seketika berdegup lebih cepat dari sebelumnya. Napasnya memburu, perasaannya semakin kalut.
Kendati demikian, Hana mencoba memberanikan diri untuk memandang ke arah jendela. Tampak bayangan seorang pria melintas di depan kamar kos-nya. Hana berpikir, mungkin tetangga sebelah yang baru pulang membeli makanan atau main dari rumah teman. Namun, semakin diperhatikan, bayangan itu kelihatan mondar-mandir sebanyak tiga kali, dan setelah itu menghilang selama lima belas menit.
Hana menelan ludah dan menatap waspada. Ia curiga, kalau Yudis masih mengintainya selama tiga hari belakangan ini. Alih-alih mengirimkan pesan pada Yudis untuk memastikan dugaannya, Hana berusaha memejamkan mata dan berdoa agar segala hal yang mengganggu pikirannya segera berlalu.
Perlahan tapi pasti, Hana larut dalam mimpinya. Ia mendapati dirinya berada di sebuah ruangan dengan pencahayaan minim. Semakin jauh berjalan, suasana di sekitarnya kian gelap. Tak hanya itu saja, ia merasakan seseorang mendekat ke arahnya, dan memegang kedua bahunya.
"Kamu pikir bisa melarikan diri dariku? Tidak, Hana. Cepat atau lambat, aku pasti bisa menangkap kamu," bisik suara berat seorang pria yang dikenalinya.
"Yudis? Apa itu kamu?" tanya Hana dengan gemetar.
"Tentu saja, siapa lagi kalau bukan aku? Kamu masih memikirkan aku, ya? Apa artinya aku sudah benar-benar merasuk ke dalam pikiranmu? Kalau begitu, bisakah kamu menerima aku dan memberikan cintamu untukku saja?" Yudis mendekap Hana dari belakang, hingga membuat sekujur tubuh gadis itu diam membeku.
"Sampai kapan pun aku nggak akan pernah melakukan itu," tegas Hana.
Kedua lengan Yudis semakin erat mendekap Hana. "Jadi, kamu menolak aku?"
Hana mengangguk, napasnya memburu.
"Apa kamu yakin?" tanya Yudis, tangan kirinya berpindah ke leher Hana.
"Ya," lirih Hana sambil meringis.
"Baiklah. Kalau begitu, aku akan melakukan apa pun sampai kamu menerima aku, walaupun kita berdua sama-sama harus mati," tegas Yudis mencengkram leher Hana.
Hana berusaha memberontak sekuat tenaga, hingga akhirnya terbangun dari tidurnya dalam keadaan panik dan terengah-engah. Keringat mengucur deras dari dahinya. Saat menoleh ke arah jendela, ternyata suasana di luar sudah terang. Artinya, pagi telah datang.
Dengan lesu, Hana beranjak dari tempat tidurnya dan melangkah gontai ke kamar mandi. Dibasuhnya wajah yang letih itu, lalu termenung sejenak.
"Sumpah! Ini sangat mengerikan. Kenapa Yudis akhir-akhir ini selalu bikin aku parno? Ah ... seandainya waktu itu aku langsung menolaknya saja, mungkin tidak akan paranoid seperti ini. Tapi ... kalau langsung nolak, pasti dia bakal makin nekat lagi. Argh! Persetan! Apa urusannya denganku kalau dia sampai masuk penjara? Bukannya dengan begitu, aku bisa merasa lega?" ucap Hana kesal.
Menjelang siang, Hana memutuskan untuk pergi ke taman. Barangkali dengan menenangkan diri sejenak dari rutinitas kerjanya, ia dapat berpikir matang-matang untuk mendapatkan keputusan yang tepat.
Mata Hana menatap nanar ke danau, sambil membayangkan ketentraman hidup yang dirasakannya dulu. Kendati beban di pundaknya sebagai putri sulung andalan keluarga cukup berat, setidaknya ia dapat menjalani hari-hari dengan penuh cinta, tanpa pengkhianatan dan manipulasi. Namun, sejak Yudis datang, ia merasa terjebak dalam neraka, terlebih saat kekasih dan sahabatnya tewas di tangan pria itu.
Di tengah-tengah kegundahan Hana, seorang gadis cantik berhidung bangir dan mata lebar datang dan duduk di sebelahnya. Ia menepuk pundak Hana, sampai gadis yang disapanya terperanjat. "Hana, kamu ini Hana, kan?" sapanya.
"Alin? Sejak kapan kamu ada di sini?" Hana balik bertanya dengan raut sumringah.
"Aku dari tadi di sini, nyoba suasana baru buat ngerjain skripsi. Kebetulan banget aku lihat kamu lagi melamun dari kejauhan, makanya aku samperin," jelas Alin.
"Nggak nyangka, aku bisa ketemu sama kamu. Udah lama banget kita nggak ngobrol bareng setelah sama-sama merantau," ucap Hana dengan mata berbinar-binar.
"Iya. Aku pikir kamu kerja di kota lain, ternyata kita ini tinggal di satu kota," imbuh Alin. "Oya, kamu sekarang kerja apa? Terakhir kali dengar kabar, kamu kerja di toko pakaian."
"Aku kerja di kafe, sebagai pelayan. Lumayanlah, buat bantu-bantu perekonomian keluarga."
"Oh, gitu, ya. Aku juga kerja sebagai pelayan, tapi di diskotek."
"Apa?!" Hana terkejut. "Kamu, kan, hidup berkecukupan. Mama kamu punya toko kelontong di kampung, bahkan tanah yang dibeli setelah pulang dari Dubai lahannya luas banget. Tapi ... Kamu milih jadi pelayan diskotek? Apa mama kamu nggak melarang?"
Alin menggelengkan kepala. "Aku nggak mau bergantung terus sama mama. Kasihan dia kalau harus terus-terusan jual tanah demi membiayai kuliah dan biaya sehari-hari aku di sini."
"Terus, sekarang gimana? Kamu masih kerja jadi pelayan diskotek?"
"Ya ... mau gimana lagi? Aku udah tiga hari keterima kerja di sana."
"Mending kamu langsung resign aja, dan melamar ke kafe tempat aku kerja sekarang. Teman aku udah tiga hari meninggal, sekarang lagi butuh karyawan baru," bujuk Hana.
"Aku bukannya nggak mau, Han. Masalahnya, aku udah tanda tangan kontrak buat enam bulan ke depan."
"Begitu, ya."
"Oya, Han. Dari tadi aku perhatikan, kamu kayak punya masalah. Apa keluarga kamu di kampung baik-baik aja?"
"Keluarga aku di kampung baik-baik aja. Cuma ... akhir-akhir ini aku lagi punya masalah berat soal cowok."
"Cowok? Kamu putus sama pacar kamu? Atau ... jangan-jangan pacar kamu ngelakuin kekerasan?" tanya Alin, menduga-duga.
"Bukan itu," tukas Hana. "Aku lagi dikejar sama cowok gila. Gara-gara aku nolak, dia membunuh pacar sama teman aku."
Membelalak mata Alin mendengar cerita Hana. "Apa? Kamu nggak lagi ngarang, kan? Apa polisi nggak nangkap dia karena udah membunuh dua orang terdekat kamu?"
"Justru itu. Aku nggak ngerti kenapa sampai detik ini dia lolos dari hukuman."
"Kalau gitu, kita laporin dia ke polisi. Ini udah meresahkan banget."
"Masalahnya, aku nggak punya bukti, Lin."
Alin mengembuskan napas berat, lalu berkata, "Kalau begitu, simpan nomor aku, ya. Kalau ada apa-apa, kamu tinggal telepon aku aja. Nanti aku bakal minta bantuan polisi buat nangkap cowok gila itu."
"Wah, terimakasih banyak, Lin! Aku bersyukur bisa ketemu sama kamu di sini," decak Hana. Hatinya merasa lega setelah mendapatkan secercah harapan di depan mata.
Hana segera membuka ponsel untuk saling bertukar nomor. Akan tetapi, saat layarnya menyala, ia tampak gelisah mendapati nomor tak dikenal muncul di sana. Dengan gemetar, Hana mengangkat panggilan dan menempelkan ponsel ke telinganya.
"Halo," sapa Hana dengan cemas.
"Ini sudah lewat tiga hari, Hana. Apa kamu masih menimbang-nimbang buat menerima aku?" Suara berat seorang pria tiba-tiba menggetarkan hati Hana.