"Kau masih gadis?"
"I-iya, Tuan."
"Bagus. Kita akan membuktikannya. Kalau kau berbohong, kau akan tahu apa akibatnya."
Bab 18
Maka ketika kursi roda wanita itu didorong pergi oleh salah seorang perawat, Ariella menunggu. Ia memperhatikan sekeliling, lalu menemukan seorang perawat meninggalkan seorang pria di kursi roda, pria itu menatap lurus ke danau, dan kursi rodanya bergerak sendiri ke arah danau. Ariella tahu siapa pria itu, maka dia spontan berdiri, dan tanpa pikir panjang ia mengejar.
"Tuan Jhon!"
Ariella berhasil meraih kursi roda tersebut, membuat si pria yang duduk di kursi roda, mendongak marah padanya.
Pria itu menatap Ariella dengan tajam, matanya yang hijau gelap memancarkan amarah yang seakan membekukan udara di sekitar mereka.
Sejak dulu, Ariella mengenal tuan Jhon sebagai pria yang keras dan tidak suka didekati, tetapi Ariella beberapa kali berbicara dengannya, bahkan sering berbagi lelucon dengannya.
Karena sejauh yang Ariella tahu, emosi pria itu sering berubah-ubah.
Sesekali ia akan baik sekali, bijak, dan sangat lembut, di sisi lain ia akan sangat pemarah, suka mencaci dan benci dilihat orang lain.
Mata hijau itu, ekspresi di wajah itu. Entah bagaimana rasanya sangat familiar.
Tidak, Ariella mungkin hanya terpengaruh karena traumanya.
Rambut tuan Jhon kini hampir semuanya memutih dan tubuhnya tampak lebih rapuh dibandingkan terakhir kali Ariella melihatnya, tetapi tatapan matanya tetap penuh dengan kekuatan yang mengintimidasi.
"Beraninya kau menyentuh kursi rodaku, wanita tak tahu diri!" suara John serak, tetapi tetap memancarkan otoritas.
Ariella terdiam sejenak, jantungnya berdetak kencang, tetapi ia tersenyum lembut.
Mengingat apa kata suster yang menjaga tuan
Jhon, pria itu memang sering berhalusinasi.
Apalagi soal wanita cantik tak tahu diri yang sering ia teriaki.
"Maaf, Tuan John," ucap Ariella dengan suara lembut, mencoba menghindari perhatian orang lain.
"Kursi rodamu berjalan ke danau. Aku hanya ingin membantu."
John menatapnya curiga, matanya menyipit seolah mencoba menembus ekspresi lembut Ariella dengan kebencian, tetapi saat Ariella tampak tulus. Ekspresi pria itu melembut, mata hijaunya menjadi lebih bening sekarang.
"Kau Ariella, ya?"
"Kau ingat aku?"
Pria itu kini justru tersenyum.
"Tentu saja, hanya kau yang mau bicara denganku. Tentu, aku tahu mereka semua takut padaku."
Jhon mencebik, lalu menatap ke arah danau.
"Aku sudah lama tidak melihatmu."
"Karena bulan lalu aku tidak datang, dan bulan sebelumnya. Ketika aku datang, kau sedang sakit."
"Oh, ya? Mereka menyuntikku dengan obat sialan itu."
Ariella tersenyum lebar.
"Jadi, apakah kau berhasil menemukannya?"
"Menemukan apa?"
"Mimpi yang indah."
John menghela napas, matanya kembali tertuju ke danau.
"Tentu, aku bermimpi indah. Aku berada di pantai sendirian, tidak ada siapa pun di sana."
"Apa kau ingin pergi ke pantai?"
"Sangat, tapi tidak bisa."
"Mungkin putramu bisa menemanimu pergi?"
"Putraku? Aku tidak punya putra.'
Pria itu cemberut.
"Semua orang di sini berpikir mereka tahu apa yang terbaik untukku. Mereka memperlakukanku seperti barang rusak yang tidak lagi berguna."
"Mereka peduli padamu, sama seperti aku peduli padamu."
John tidak bereaksi langsung, tetapi Ariella merasa tatapan pria itu mengamati dirinya lebih dalam. Tak lama dari itu, Ariella mendengar panggilan nyonya Esme.
"Aku harus pergi sekarang, Tuan. Selamat menikmati harimu," ucap Ariella dengan sopan, sebelum membalikkan badan dan berjalan pergi secepat mungkin.
Sisa hari itu Ariella memanfaatkan kesempatan untuk berbagi banyak hal dengan nyonya Esme.
Sebelum pergi, Ariella benar-benar dipaksa untuk menerima amplop berisi alamat rumah yang dimaksud nyonya Esme dan uang yang cukup untuk membantunya bertahan hidup selama beberapa bulan ke depan.
Ketika keluar dari panti jompo, Ariella merasakan ada seseorang yang mengawasinya.
Ia menoleh ke belakang, tetapi tidak ada yang mencurigakan.