Dina, seorang janda muda, mencoba bangkit setelah kehilangan suaminya. Pertemuan tak terduga dengan Arga, pria yang juga menyimpan luka masa lalu, perlahan membuka hatinya yang tertutup. Lewat momen-momen manis dan ujian kepercayaan, keduanya menemukan keberanian untuk mencintai lagi. "Janda Muda Memikat Hatiku" adalah kisah tentang cinta kedua yang hadir di saat tak terduga, membuktikan bahwa hati yang terluka pun bisa kembali bahagia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Banggultom Gultom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2: Tatapan Pertama
Dina kembali ke toko bukunya setelah mengantar Raka ke sekolah. Langkahnya terasa lebih lambat dari biasanya. Entah mengapa, pertemuannya dengan Arga pagi tadi masih terngiang di benaknya. Tatapan pria itu, senyumnya yang hangat, dan caranya berbicara membuat Dina merasa aneh. Ia mencoba menepis perasaan itu, meyakinkan dirinya bahwa itu hanyalah percakapan biasa. Namun, ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang membuat dadanya bergetar tanpa alasan yang jelas.
Dina membuka pintu toko, menyalakan lampu, dan mulai menjalani rutinitas harian. Beberapa pelanggan datang dan pergi, bertanya tentang rekomendasi buku atau hanya sekadar melihat-lihat. Pekerjaan itu, yang biasanya membuat Dina tenggelam dalam kenyamanan, kini terasa seperti formalitas. Pikiran Dina masih melayang-layang.
“Fokus, Dina,” gumamnya sambil menyusun buku-buku baru di rak bagian tengah.
Ketika sore tiba, Dina menutup toko sebentar untuk menjemput Raka di sekolah. Ia berjalan melewati jalan kecil yang dikelilingi pepohonan, angin sepoi-sepoi meniup rambutnya yang tergerai. Sesampainya di depan gerbang sekolah, Dina melihat kerumunan anak-anak yang berlarian dengan tawa riang. Ia mencari-cari sosok Raka di antara mereka, namun yang pertama kali menarik perhatiannya adalah seseorang yang berdiri tak jauh dari pintu gerbang.
Arga.
Pria itu sedang menunggu anaknya dengan posisi santai, tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Rambutnya sedikit berantakan terkena angin, namun ia tetap terlihat rapi. Dina berhenti sejenak, merasa gugup tanpa alasan. Ia ingin berpura-pura tidak melihat, tapi tatapan Arga yang tiba-tiba mengarah padanya membuat Dina tak punya pilihan.
“Halo,” sapa Arga sambil tersenyum.
Dina mengangguk pelan, berusaha terlihat santai. “Halo.”
“Menjemput Raka?” tanyanya sambil berjalan mendekat.
“Iya, seperti biasa,” jawab Dina sambil tersenyum tipis.
Sebelum Dina sempat melanjutkan percakapan, Raka berlari menghampirinya sambil membawa buku di tangan. “Bu! Lihat, Dito meminjamkanku buku ini!” serunya antusias.
Di belakang Raka, seorang anak laki-laki mendekat dengan langkah kecil. Wajahnya mirip dengan Arga, hanya saja lebih muda dan ceria. Dina segera menyadari bahwa anak itu adalah Dito, putra Arga yang sering disebut-sebut Raka.
“Dito, jangan lupa bilang terima kasih sama Ibu Dina,” kata Arga sambil menepuk pelan kepala anaknya.
“Terima kasih, Bu,” kata Dito sambil tersenyum malu-malu.
“Sama-sama,” jawab Dina sambil mengusap kepala Dito.
Momen itu terasa sederhana, tapi ada sesuatu yang membuat Dina merasakan kehangatan. Melihat cara Arga berbicara dengan anaknya, nada suaranya yang lembut, dan perhatian yang ia tunjukkan—semua itu memancarkan aura yang tak bisa Dina abaikan.
“Kalau begitu, saya pamit dulu,” kata Arga sambil menggandeng tangan Dito.
“Iya, sampai jumpa,” balas Dina singkat.
Namun, ketika Arga berjalan pergi, Dina merasakan dorongan aneh untuk memperhatikan punggungnya yang menjauh. Ia tidak mengerti apa yang sedang terjadi, tapi hatinya mulai merasa sesuatu yang selama ini tidak ia izinkan: penasaran.
Keesokan paginya, Dina kembali menjalani rutinitas seperti biasa. Ia menyiapkan toko, melayani pelanggan, dan mengatur stok buku baru. Namun, pikirannya masih terus kembali pada Arga. Dina merasa jengkel pada dirinya sendiri karena membiarkan pria itu mengganggu konsentrasinya.
“Apa yang sebenarnya aku pikirkan?” gumamnya sambil menyusun buku di rak.
Ketika ia sedang sibuk dengan pekerjaannya, pintu toko tiba-tiba terbuka, diikuti oleh suara langkah kaki yang familiar. Dina menoleh, dan untuk kedua kalinya dalam dua hari, ia menemukan sosok Arga berdiri di ambang pintu.
“Halo,” sapanya dengan senyum hangat.
“Halo,” balas Dina, sedikit terkejut. “Ada yang bisa saya bantu?”
Arga melangkah masuk, matanya berkeliling mengamati rak-rak buku. “Dito minta saya membelikan buku baru. Dia bilang, Raka selalu punya rekomendasi bagus, jadi saya pikir mungkin ini tempat yang tepat.”
“Oh, tentu,” jawab Dina sambil melangkah ke arah rak anak-anak. “Dito suka genre apa?”
“Sepertinya dia suka petualangan. Buku tentang bajak laut yang dipinjam Raka kemarin membuatnya sangat bersemangat.”
Dina tersenyum kecil sambil mengamati beberapa buku. Ia mengeluarkan satu buku dari rak dan menyerahkannya pada Arga. “Coba ini. Ceritanya seru, dan ada banyak ilustrasi yang menarik.”
Arga menerima buku itu dan membolak-balik halamannya. “Terima kasih. Dito pasti suka.”
Mereka berbicara singkat tentang buku, tapi obrolan itu perlahan beralih ke hal-hal lain. Arga bertanya tentang toko buku, bagaimana Dina memulainya, dan bagaimana ia bisa tetap bertahan di tengah era digital. Dina menjawab dengan santai, merasa sedikit lebih nyaman meski awalnya gugup.
Ketika Arga akhirnya membayar buku dan bersiap untuk pergi, ia menoleh ke Dina dan berkata, “Saya senang bisa mampir ke sini. Toko Anda luar biasa.”
Dina hanya tersenyum, merasa pipinya sedikit memanas. Setelah pintu toko tertutup, ia berdiri di belakang meja kasir, memegang keranjang kosong yang belum sempat ia tata ulang. Dadanya berdebar, dan ia tidak tahu kenapa.
Hari-hari berikutnya, Dina mencoba kembali pada rutinitasnya. Namun, pertemuan dengan Arga meninggalkan jejak yang sulit dihapus. Setiap kali ia mengantar Raka ke sekolah, matanya secara tidak sadar mencari-cari sosok pria itu.
Pagi itu, seperti biasa, Dina mengantar Raka ke sekolah. Saat mereka hampir tiba di depan gerbang, hujan tiba-tiba turun dengan deras. Dina segera meraih payung dari tasnya dan membukanya untuk melindungi Raka. Namun, payung itu terlalu kecil untuk menampung keduanya. Dina membiarkan dirinya basah kuyup sementara Raka tetap terlindungi.
Ketika mereka akhirnya sampai di gerbang, Dina melihat Arga sedang berdiri di bawah pohon dengan jaket yang basah. Ia melambaikan tangan pada Dina sambil tersenyum.
“Sepertinya hujan ini membuat semuanya kacau,” katanya.
Dina tertawa kecil sambil mengeringkan rambutnya. “Benar. Saya tidak menyangka akan turun hujan secepat ini.”
Arga melangkah mendekat dan menawarkan payung besar yang ia bawa. “Kalau Anda tidak keberatan, mungkin saya bisa menemani Anda kembali ke toko. Saya juga sedang punya waktu luang.”
Dina ragu sejenak, tapi akhirnya mengangguk. Mereka berjalan bersama di bawah payung yang cukup besar untuk menampung keduanya. Sepanjang jalan, mereka berbicara tentang banyak hal—mulai dari anak-anak mereka hingga pekerjaan masing-masing.
Bagi Dina, percakapan itu terasa aneh namun menyenangkan. Sudah lama sekali ia tidak berbicara dengan seseorang seperti ini, seseorang yang benar-benar mendengarkan tanpa menghakimi.
Ketika mereka tiba di depan toko, Dina berterima kasih pada Arga dan menawarkan secangkir kopi sebagai ucapan terima kasih. Arga awalnya menolak, tapi akhirnya setuju. Mereka duduk di sudut toko, berbagi cerita sambil menikmati kopi hangat.
“Ini pertama kalinya saya merasa tenang setelah sekian lama,” kata Arga tiba-tiba.
Dina menatapnya, sedikit bingung. “Maksud Anda?”
Arga tersenyum tipis. “Saya kehilangan istri saya tiga tahun lalu. Sejak itu, rasanya sulit untuk benar-benar berbicara dengan seseorang.”
Dina terdiam. Kata-kata Arga menusuk hatinya, karena ia tahu persis seperti apa rasa kehilangan itu.
“Saya juga kehilangan suami saya,” katanya pelan. “Dua tahun lalu. Itu adalah masa-masa terberat dalam hidup saya.”
Tatapan mereka bertemu, dan untuk pertama kalinya, Dina merasa ada seseorang yang benar-benar mengerti rasa sakitnya. Tidak ada lagi kata-kata yang diucapkan, tapi dalam keheningan itu, ada sesuatu yang tumbuh—sesuatu yang tak dapat mereka hindari.