Ji An Yi adalah seorang gadis biasa yang mendapati dirinya terjebak di dalam dunia kolosal sebagai seorang selir Raja Xiang Rong. Dunia yang penuh dengan intrik, kekuasaan, dan cinta ini memaksanya untuk menjalani misi tak terduga: mendapatkan Jantung Teratai, sebuah benda mistis yang dapat menyembuhkan penyakit mematikan sekaligus membuka jalan baginya kembali ke dunia nyata.
Namun, segalanya menjadi lebih rumit ketika Raja Xiang Rong-pria dingin yang membencinya-dan Xiang Wei, sang Putra Mahkota yang hangat dan penuh perhatian, mulai terlibat dalam perjalanan hidupnya. Di tengah strategi politik, pemberontakan di perbatasan, dan misteri kerajaan, Ji An terjebak di antara dua hati yang berseteru.
Akankah Ji An mampu mendapatkan Jantung Teratai tanpa terjebak lebih dalam dalam dunia penuh drama ini? Ataukah ia justru akan menemukan sesuatu yang lebih besar dari misi awalnya-cinta sejati yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vanilatin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 10
Setelah pertemuan itu, Ji An kembali ke kamarnya dengan perasaan lega bercampur ragu. Meskipun Raja Xiang Rong tidak memberikan pujian, ia merasa telah berhasil menunjukkan bahwa dirinya tidak bisa diremehkan. Namun, pikirannya masih dipenuhi oleh tatapan tajam Xiang Rong dan senyuman hangat Xiang Wei.
“Bagaimana, Nona? Apakah Yang Mulia menerima saran Anda?” Lin Li bertanya dengan antusias begitu Ji An melangkah masuk.
Ji An tersenyum tipis. “Dia bilang akan mempertimbangkannya. Itu lebih baik daripada tidak ada tanggapan sama sekali.”
Lin Li terlihat sangat gembira. “Hamba yakin ini langkah besar, Nona! Sebentar lagi, Yang Mulia pasti akan melihat sisi luar biasa Anda.”
Namun, Ji An tidak seoptimis itu. Ia tahu betapa sulitnya menembus dinding es yang mengelilingi hati Xiang Rong. Lebih dari itu, kehadiran Xiang Wei justru membuat situasi menjadi lebih rumit.
---
Setelah pertemuan itu, Ji An kembali ke kamarnya dengan perasaan lega bercampur ragu. Meskipun Raja Xiang Rong tidak memberikan pujian, ia merasa telah berhasil menunjukkan bahwa dirinya tidak bisa diremehkan. Namun, pikirannya masih dipenuhi oleh tatapan tajam Xiang Rong dan senyuman hangat Xiang Wei.
“Bagaimana, Nona? Apakah Yang Mulia menerima saran Anda?” Lin Li bertanya dengan antusias begitu Ji An melangkah masuk.
Ji An tersenyum tipis. “Dia bilang akan mempertimbangkannya. Itu lebih baik daripada tidak ada tanggapan sama sekali.”
Lin Li terlihat sangat gembira. “Hamba yakin ini langkah besar, Nona! Sebentar lagi, Yang Mulia pasti akan melihat sisi luar biasa Anda.”
Namun, Ji An tidak seoptimis itu. Ia tahu betapa sulitnya menembus dinding es yang mengelilingi hati Xiang Rong. Lebih dari itu, kehadiran Xiang Wei justru membuat situasi menjadi lebih rumit.
---
“Rong, menurutku saran Ji An Yi cukup menarik dan masuk akal,” ujar Xiang Wei sambil menatap adiknya yang duduk sendiri dengan wajah serius. Di hadapan Xiang Rong terhampar sebuah peta besar yang menunjukkan wilayah perbatasan utara.
Namun, Xiang Rong tidak merespons. Matanya tetap terpaku pada peta, sementara saran Ji An Yi terus terngiang di kepalanya. Meskipun ia enggan mengakui, analisis Ji An memang sangat masuk akal.
“Ji An Yi... dia benar-benar wanita yang menarik,” kata Xiang Wei sambil tersenyum tipis.
Mendengar itu, Xiang Rong akhirnya mengalihkan tatapannya kepada kakaknya. Wajahnya tetap dingin saat ia berkata, “Hati-hati dengannya. Kau tidak tahu apa yang sebenarnya ada dalam pikirannya.”
Xiang Wei mengangkat alisnya mendengar peringatan Xiang Rong. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan santai, tetapi matanya memancarkan rasa penasaran.
“Rong, kau terlalu curiga. Ji An Yi hanya seorang selir. Apa yang bisa dia rencanakan?” Xiang Wei tersenyum kecil, seolah tidak mengambil serius kata-kata adiknya.
Xiang Rong menghela napas panjang, meletakkan tangannya di atas peta. “Xiang Wei jangan meremehkan wanita seperti dia. Ji An Yi mungkin tampak lembut, tetapi pikirannya tajam. Jika dia menggunakan kecerdasannya untuk hal lain selain membantu istana, itu bisa menjadi ancaman.”
“Kau takut padanya?” Xiang Wei menantang dengan nada bercanda, meskipun matanya memperhatikan adiknya dengan serius.
Xiang Rong mendengus. “Aku tidak takut, tapi aku berhati-hati. Seorang wanita seperti Ji An Yi harus diawasi. Tidak ada yang datang ke istana ini tanpa alasan.”
Xiang Wei menggeleng pelan. “Kau terlalu keras, seperti biasa. Kadang aku berpikir, mungkin jika kau lebih lunak, kau bisa melihat bahwa beberapa orang benar-benar tulus.”
Xiang Rong menatap kakaknya, tetapi tidak menjawab. Ia kembali memusatkan perhatiannya pada peta di depannya. Dalam hati, ia mengakui bahwa Ji An Yi memang mengusik pikirannya, tetapi ia menolak untuk mempercayai siapapun dengan mudah.
-----
Setelah mendapatkan sedikit perhatian dari Raja Xiang Rong melalui strategi militernya, Ji An memutuskan untuk terus melangkah. Ia ingin memastikan kehadirannya selalu terasa di sekitar Raja Xiang Rong. Dengan hati-hati, ia mulai mencari cara untuk terlibat dalam kegiatan sehari-hari Raja tanpa terlihat memaksa.
---
Pagi hari, Ji An sengaja datang ke taman bambu saat Raja Xiang Rong tengah berlatih pedang. Dengan membawa handuk dan kendi berisi air, ia berdiri agak jauh, berpura-pura sibuk dengan tugasnya sendiri, namun matanya tak lepas dari gerakan tegas sang Raja.
Setelah menyelesaikan latihannya, Raja Xiang Rong menyeka keringat di dahinya dengan tangannya sendiri. Melihat itu, Ji An melangkah maju dan menyapa dengan lembut. “Yang Mulia, hamba membawakan air untuk Anda.”
Raja Xiang Rong menoleh sejenak, tatapannya dingin dan tanpa ekspresi. “Kau tak perlu membawakanku air. Permaisuriku sendiri sudah menyiapkannya,” tolaknya dengan nada tegas.
Ia kemudian berjalan menuju gazebo terdekat, duduk dengan tenang di bangku, menuangkan air dari kendi yang sudah ada di sana ke dalam gelas kecil, dan meneguknya hingga habis tanpa sedikit pun memperhatikan Ji An.
Ji An hanya berdiri mematung, menatap lesu sikap dingin Raja Xiang Rong. Namun, ia mencoba untuk tidak menyerah. Dengan suara lembut, ia menawarkan, “Yang Mulia, jika berkenan, hamba dapat menyiapkan makanan untuk Anda. Apapun yang Anda inginkan.”
Raja Xiang Rong menatapnya sekilas, ekspresinya tetap dingin. “Tidak perlu,” ujarnya singkat, lalu kembali mengalihkan perhatiannya pada angin yang berembus di sela bambu.
Ji An berdiri dengan senyum tipis di wajahnya, meskipun dalam hatinya ia merasakan penolakan yang dingin. Setelah Raja Xiang Rong menyelesaikan minumnya, ia meletakkan gelas di atas meja kecil di gazebo, tanpa sekalipun menoleh ke arah Ji An.
“Yang Mulia,” ujar Ji An dengan nada lembut yang hampir memohon. “Hamba mendengar bahwa Anda sering melewatkan sarapan. Jika berkenan, izinkan hamba menyiapkan sesuatu yang sederhana. Hamba hanya ingin memastikan Anda tetap sehat.”
Raja Xiang Rong meliriknya sekilas, alisnya terangkat. “Aku tidak butuh perhatian darimu, Ji An Yi. Tugasmu bukan melayani di sini.”
Ji An merasakan hatinya mencelos, tetapi ia tidak menunjukkan kekecewaannya. Sebaliknya, ia tetap berdiri tegak dan berkata dengan tenang, “Yang Mulia, hamba hanya ingin menjadi seseorang yang berguna. Jika keberadaan hamba di sini tidak diinginkan, hamba akan pergi.”
Tanpa menunggu balasan, Ji An membungkuk sopan dan berbalik untuk pergi. Namun, sebelum ia melangkah lebih jauh, suara berat Raja Xiang Rong menghentikannya.
“Ji An Yi,” panggilnya.
Ji An berhenti dan menoleh.
“Apa sebenarnya yang kau inginkan dariku?” tanya Xiang Rong dengan nada dingin namun penuh rasa ingin tahu.
Ji An menatapnya langsung, tanpa ragu. “Hamba hanya ingin menunjukkan bahwa hamba lebih dari sekadar selir, Yang Mulia. Hamba ingin menjadi seseorang yang dapat Anda andalkan.”
Raja Xiang Rong tidak segera menjawab. Ia menatap Ji An sejenak, mencoba membaca maksud di balik kata-katanya. Namun, seperti biasa, ia memilih untuk tidak menunjukkan pikirannya.
“Kau terlalu ambisius,” katanya akhirnya. “Dan ambisi bisa menjadi berbahaya.”
“Ambisi bisa menjadi berbahaya jika digunakan dengan salah, Yang Mulia,” balas Ji An, keberanian terpancar di matanya. “Tetapi jika digunakan dengan bijaksana, ambisi dapat membawa perubahan yang baik.”
Kata-katanya membuat Xiang Rong terdiam. Ia tidak mengharapkan jawaban seperti itu dari seorang selir.
“Pergilah,” ujarnya akhirnya, suaranya lebih lembut dari sebelumnya. “Dan jangan coba-coba melibatkan dirimu terlalu dalam dalam urusanku.”
Ji An membungkuk hormat sekali lagi sebelum pergi, meninggalkan Raja Xiang Rong yang termenung di gazebo.
Dari balik bayang-bayang pohon bambu, Xiang Wei mengamati interaksi itu dengan senyum tipis di wajahnya. Ia tampak menikmati dinamika yang mulai berkembang antara Ji An dan adiknya.
“Ji An Yi, kau benar-benar tidak biasa,” gumamnya pelan sebelum melangkah pergi dengan tenang.