Nara Stephana, pengacara cemerlang yang muak pada dunia nyata. Perjodohan yang memenjarakan kebebasannya hanya menambah luka di hatinya. Dia melarikan diri pada sebuah rumah tua—dan takdirnya berubah saat ia menemukan lemari antik yang menyimpan gaun bak milik seorang ratu.
Saat gaun itu membalut tubuhnya, dunia seakan berhenti bernafas, menyeretnya ke kerajaan bayangan yang berdiri di atas pijakan rahasia dan intrik. Sebagai penasihat, Nara tak gentar melawan hukum-hukum kuno yang bagaikan rantai berkarat mengekang rakyatnya. Namun, di tengah pertempuran logika, ia terseret dalam pusaran persaingan dua pangeran. Salah satu dari mereka, dengan identitas yang tersembunyi di balik topeng, menyalakan bara di hatinya yang dingin.
Di antara bayangan yang membisikkan keabadian dan cahaya yang menawarkan kebebasan, Nara harus memilih. Apakah ia akan kembali ke dunia nyata yang mengiris jiwanya, atau berjuang untuk cinta dan takhta yang menjadikannya utuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Flashback
Flashback di rentang waktu ketika Nara dan Arven kembali dari Sanctum, sampai ke hari eksekusi.
.
.
Arven menatap Nara dengan alis bertaut saat mereka berjalan menyusuri lorong istana. Pangeran tersebut merasakan keanehan pada Nara. Energi Nara--yang biasanya selalu terasa jelas baginya--tiba-tiba seperti lenyap, menghilang dari jangkauan inderanya. "Kamu ngapain tadi saat ijin padaku ingin buang air?” tanyanya, menghentikan langkahnya.
Nara menoleh, bingung. "Ya....buang air, habis itu lihat-lihat pemandangan sebentar. Memangnya kenapa? Aku terlalu lama ya?" Nada bicaranya terdengar santai, tapi tatapannya menyiratkan keheranan karena interogasi mendadak itu.
Arven mengamati wajah Nara, mencari petunjuk di balik ekspresi cerianya. "Tidak mungkin. Aku tidak bisa baca energi yang kau punya. Itu bukan hal biasa. Apa kamu menyentuh sesuatu? Atau masuk ke tempat yang aneh? Atau kau malah merencanakan sesuatu di belakang ku?" desaknya.
Nara mendengus kecil. "Aku tidak melakukan apa yang kau sebutkan terakhir, Pangeran. Aku hanya... hehe maaf ya Pangeran, aku telah melanggar laranganmu untukmu tidak mengambil apapun di tempat asing. Aku terpana dengan ini--" Nara bergerak mengeluarkan bunga yang disembunyikan di dalam gaunnya, namun secepat kilat Arven menarik tubuh Nara untuk dipeluk dengan tujuan agar apa yang dikeluarkan Nara tidak diketahui orang lain. Benda itu mungkin sangat penting hingga bisa menyamarkan energi seseorang yang menyimpannya.
Pelukan itu erat tapi tidak menyakitkan, cukup untuk menutupi gerak-gerik Nara dari pandangan siapa pun di sekitar. Kehangatan tubuh Arven menyelimuti Nara, disertai aroma woody yang lembut dan menenangkan. Detak jantung Arven yang mantap bergema di telinga Nara, seperti irama yang menghipnotis.
Nara membeku. Bibirnya perlahan melengkung dalam senyum kecil yang sulit ditahan. Pelukan Pangeran… siapa sangka se-menyenangkan begini? batinnya, geli. Tapi ia buru-buru menghapus senyum itu ketika Arven melepas pelukannya dan menatapnya dengan sorot mata serius.
Eh, udah berubah tempat aja.
"Sekarang kau perlihatkan padaku, apa yang kau sembunyikan dibalik gaun."
"Ini, Pangeran. Aku tidak pernah melihat bunga ini sebelumnya, maka dari itu, begitu aku melihatnya, aku ingin sekali membawanya meskipun kau melarang aku memgambil apapun dari tempat asing. Wanginya menenangkan, membuat pikiranku jernih."
Arven menatap lekat bunga itu. Ia berpikiran untuk membawa bunga tersebut ke Istananya yang terkenal dengan castil Dewa Iblis. Disana ia akan mencoba menelaah khasiat apa saja yang bisa bunga ini hasilkan, selain menyamarkan energi. Dia juga akan menelusuri, apakah dia orang pertama yang tahu tentang ini, atau sudah ada pihak lain yang menggunakannya.
Arven menatap bunga itu dengan penuh perhatian. Ia mengulurkan tangan untuk menerima bunga lalu memutar bunga itu perlahan di tangannya, memperhatikan kilau yang terpancar dari kelopak-kelopak ungu gelapnya.
"Ini bukan bunga biasa," gumamnya pelan, hampir tidak terdengar.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Arven menyelipkan bunga itu ke dalam kantong kecil di balik jubahnya. Namun, alih-alih hanya menyimpannya, ia mengerahkan sihirnya dengan tenang. Dalam sekejap, bunga itu menghilang, disembunyikan jauh di dalam dimensi sihir yang hanya bisa dijangkau oleh Arven sendiri.
Nara menatapnya bingung, "Kau apakan bunga itu, Pangeran?"
"Aku menaruhnya jauh dari sisimu. Aku ingin lihat, apakah bunga ini yang telah menyamarkan energi mu, Nara." Nara akhirnya mengerti.
"Lalu bagaimana setelah bunga itu jauh dariku?"
Arven hanya diam karena dia pun sedang menelaah jawabannya. Setelah beberapa saat, Arven mengalihkan pandangannya ke Nara. Ia memutuskan untuk menguji hipotesisnya. Dengan cepat, ia mengeluarkan bunga itu kembali dari sihirnya, dan bunga itu muncul di tangan.
Di saat yang bersamaan, Arven merasakan perubahan yang sangat jelas. Energi yang sebelumnya terpancar dalam diri Nara mulai memudar kembali ketika bunga itu ada.
Arven menghela napas pelan, menarik kesimpulan dari apa yang ia amati.
"Jadi…" ucapnya dengan dingin, matanya tak lepas dari Nara. "Energi yang hilang darimu ternyata berasal dari bunga ini. Tidak heran wanginya bisa begitu menenangkan. Bunga ini bukan hanya menyamarkan jejak energi, tetapi juga mengendalikan persepsi terhadap energi itu sendiri."
Nara terdiam, seakan baru menyadari apa yang terjadi. "Kalau begitu, ini berbahaya!"
Arven menyimpan bunga itu kembali ke dalam kantong sihirnya, tatapannya serius. "Bukan hanya berbahaya, Nara. Ini bisa sangat berbahaya jika jatuh ke tangan yang salah. Aku perlu informasi lanjutan mengenai bunga ini. Apakah kita adalah orang pertama yang menemukannya, atau sebelumnya sudah dimanfaatkan orang lain."
"Benar, Pangeran. Aku bersedia mengantarmu ke tempat aku menemukannya jika kau mau. Siapa tahu di sana, bisa menemukan petunjuk yang lebih meluas."
"Itu nanti, aku ingin menemui Raja terlebih dahulu. Menurut informasi, Raja terluka setelah berperang melawan bandit," jelas Arven.
Nara terhenyak mendengar kabar itu. Hatinya serasa terhimpit oleh kekhawatiran yang tiba-tiba mencekam. Wanita itu merasa gelisah, tak mampu menyembunyikan rasa cemas yang datang begitu saja.
Ngomong-ngomong rasa cemas, Nara jadi teringat kembali tentang persoalan yang menimpa Raze hari ini.
"Pangeran, apakah aku boleh ikut denganmu?" tanya Nara, suaranya penuh harap.
"Tidak, Nara. Sebaiknya kau beristirahat," jawab Arven dengan nada tegas, namun penuh perhatian.
"Baiklah kalau begitu. Aku akan pergi beristirahat," Nara merespons, meski ada rasa kecewa yang samar di matanya.
"Bagus. Bunga yang kau temukan, aku amankan untuk sementara waktu."
"Iya, Pangeran." Nara berpaling, melangkah pergi, tetapi bukan menuju kamarnya yang megah. Ia berbelok ke arah penjara bawah tanah, ingin memastikan keadaan Pangeran Raze, dan mendengar langsung apa yang sebenarnya terjadi dari mulut orangnya sendiri.
...***...
Arven melangkah masuk ke kamar Raja Veghour, tempat ayahnya terbaring dengan wajah lelah yang nyaris tak bisa disembunyikan. Arven berdiri diam sejenak di ambang pintu, menatap pria yang pernah ia anggap sebagai gunung yang tak tergoyahkan. Untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, mereka saling bersitatap, dan Arven menyadari betapa jauhnya jarak yang memisahkan mereka, bukan hanya secara fisik tetapi juga secara emosional.
"Kemarilah, Arven," ujar Raja Veghour dengan suara parau. Arven mendekat, berdiri di sisi ranjang, memperhatikan keadaan ayahnya yang terbaring.
"Aku mendengar, Raze dan Nara diserang saat keluar malam di saat Raze menjalani hukuman pencabutan hak sebagai Pangeran. Di waktu yang sama juga, di perbatasan aku berperang lalu diserang seseorang yang ingin aku menutup kembali kasus Ratu Athera. Itu artinya, di Istana aman justru ketika aku keluar. Malah mereka menyerang orang yang berada di luar Istana. Apa pendapat mu, Arven?"
.
.
Bersambung.