Zefanya Alessandra merupakan salah satu mahasiswi di Kota Malang. Setiap harinya ia selalu bermimpi buruk dalam tidurnya. Menangisi seseorang yang tak pernah ia temui. Biantara Wisam dosen tampan pengganti yang berada dalam mimpinya. Mimpi mereka seperti terkoneksi satu sama lain. Keduanya memiliki mimpi yang saling berkaitan. Obat penenang adalah satu-satunya cara agar mereka mampu tidur dengan tenang. Anehnya, setiap kali mereka berinteraksi mimpi buruk itu bak hilang ditelan malam.
Hingga sampai saat masa mengabdinya usai, Bian harus kembali ke luar negeri untuk menyelesaikan studinya dan juga merintis bisnis. Saat keberangkatan, pesawat yang diduga ditumpangi Bian kecelakaan hingga menyebabkan semua awak tewas. Semenjak hari itu Zefanya selalu bergantung pada obat penenang untuk bisa hidup normal. Mimpi kecelakaan pesawat itu selalu hadir dalam tidurnya.
Akankah harapan Zefanya untuk tetap bertemu Bian akan terwujud? Ataukah semua harapannya hanya sebatas mimpi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Harti R3, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pacar Zizi?
Pagi yang cerah. Kali ini ia tak lagi pergi jogging. Memilih bermalas-malasan di kost. Ia duduk di kursi riasnya. Memandangi bunga mawar yang masih terjaga kesegarannya. Semerbak wangi khas bunga mawar menghiasi kamarnya. Sesekali ia mencium bunga mawar yang ia taruh dalam vas di atas meja.
“Haaaaah wanginya...”
Tululit tululit. Tululit tululit. Ponselnya berdering. Panggilan dari Kak Jeff. Hanya menoleh, memicingkan mata ke arah ponsel yang tergeletak di atas kasur. Ia mengabaikannya dan memilih pergi mandi.
Hari ini Kak Jeff terus menghubunginya. Namun, semua tak digubrisnya. Bahkan ia tak segan mematikan panggilannya. Sesampainya di kampus, ia parkirkan sepeda motor di dekat resto kampus. Ia kembali melihat ponselnya. Lagi-lagi panggilan dari Kak Jeff. Kembali ia abaikan.
“Ngapain sepagi ini udah telpon berkali-kali. Dasar menyebalkan.” Gumamnya kesal.
“Ziziiii.” Terdengar suara Felice dari kejauhan.
“Haiiii baru dateng juga?”
Memarkirkan motor seraya melepas helm.
“Hmm. Sebenernya gue maleeees banget. Rasanya aku pengen bolos deh jamnya Pak Tio.”
“Terus ngapain loe sampe kampus?”
“Pengen ketemu loe, dan juga....mencari tau siapa empu di bunga itu sebenernya.”
Zizi hanya memutar bola mata dan menggeleng heran dibuatnya. Ia mencoba meraih lagi ponsel yang sedari tadi berdering.
Tut! Ia menolak lagi panggilan dari kakaknya dan mengubah ponsel ke mode pesawat.
“Why? Dasar bocil. Masih semarah itu? Kenapa panggilan gue ditolak terus sih?” gumamnya kesal.
Saat ini Jeffry sedang berada di bandara Soekarno-Hatta Jakarta hendak bertolak ke Malang. Ia berniat mengabari sang adik, Zizi namun ternyata niatnya tak diterima dengan baik. Ia memutuskan cuti satu minggu untuk menemui keluarganya, termasuk Ayah dan Ibunya yang sudah pulang dari Bandung. Ayah dan Ibunya membeli sebuah rumah di perbatasan kota. Jarak tempuhnya sekitar satu jam dari kampus Zizi.
Setelah kurang lebih satu setengah jam perjalanan menggunakan pesawat, akhirnya Jeff sampai di Malang. Ia disambut gembira oleh Ayah dan Ibunya. Berlari ke arah Ayah Ibu yang ternyata datang lebih awal darinya. Ia berlari dan memeluk kedua orang tuanya.
“Anak Ibu ganteng sekali.” Menyambut putranya dengan pelukan hangat.
“Ayah, Ibu sehat? Jeff seneng bisa pulang. Jeff kangen sama Ayah, sama Ibu.”
“Sehat. Seperti yang kamu lihat.” Meraih koper Jeff.
“Jeff aja yah yang bawa.”
“Kamu sekarang udah dewasa ya?” Goda ayahnya sembari mengacak kepalanya dengan lembut.
“Kamu udah ngabarin Zizi, Jeff?” tanya Ibu.
“Telpon Jeff ditolak sama Zizi, Bu.”
“Kalian berantem?”
Jeff hanya memberikan cengiran tanpa menjawab. Ayah dan Ibunya hanya menggelengkan kepala heran. Sedari kecil memang kerap kali anak-anaknya bertengkar, bahkan hanya karena masih kecil.
“Ternyata kalian memang gak berubah ya.” Kata ayahnya tertawa kecil.
Mereka tak henti-hentinya tertawa bersama di tengah perjalanan pulang. Ayah yang kembali menceritakan masa kecil Jeff dam Zizi mengundang tawa di dalam mobil. Bak keluarga cemara. Hubungan kekeluargaan mereka tetap terjalin erat, meski jarak memisahkan.
***
“Jadi bener Zi loe dikasih bunga misterius sama orang?” tanya Nathan.
“Misterius apanya. Fel, loe tu ya ngasih info ngadi-adi.”
“Jadi yang bener yang mana nih? Misterius, pacar atau pengamen?” tanya Jordy geregetan.
“Makan!” jawab Zizi sambil menyantap makanannya.
“Katanya Zizi itu dikasih sama pengamen di pantai. Tapi kan tetep aja misterius, bunga itu mahal mana mungkin kan pengamen beli secara cuma-cuma.” Celetuk Felice.
“Iya juga sih. Masuk akal juga kalo dipikir-pikir.” Tambah Nathan.
“Loe ada penggemar rahasia Zi? Tanya Rossa ikut menanggapi.
“Gak tau. Lagian nih ya, kalian kenapa ribet sih mikir hal yang gak penting. Udahlah makan aja keburu dingin.”
Teman-temannya menatap Zizi kesal karena tak mendapatkan jawaban sesuai ekspektasi mereka. Menikmati makanan bersama memang lebih menyenangkan, tentu saja sambil bersendau gurau. Setelah meneguk habis esnya Zizi berdiri hendak membayar makanannya dan teman-teman.
“Mas meja atas nama Zizi.”
“Oh iya sebentar mbak. Atas nama Zizi sudah dibayar mbak. Ini struknya.”
“Sudah dibayar? Siapa yang bayar mas kita baru selesai makan.” Zizi tampak kebingungan.
“Mas yang di meja sana.” Menunjukkan seseorang di meja seberang.
Atensi Zizi beralih ke meja yang ditunjukkan pegawai resto. Ia mengangkat satu alisnya sambil menatap tajam ke arah laki-laki itu. Jeffry.
“Ngapain tuh manusia di sini?” dengusnya kesal.
“Ya mbak? Ada tambahan lagi?”
“Oh engga mas. Makasih yaa.”
“Iya mbak, sama-sama.”
Zizi kembali ke meja, namun atensinya tetap mengarah pada kakaknya di meja seberang. Ketampanannya mampu memukau para gadis yang sedang makan di resto itu. Bahkan ada dua orang gadis yang kini menghampiri meja kakaknya.
Brakk!!
“Gue kembaliin uang kalian.” Ia meletakkan uang di meja dengan kesal.
“Loe apa-apaan sih bikin kaget orang aja.” Celetuk Felice.
“Tau nih.”timpal Rossa.
“Lah kenapa uangnya dibalikin? Ditraktir nih?” tanya Jordy penasaran.
“Siapa Zi?” Nathan orang yang paling respek. Ia sedari tadi mencoba memahami Zizi yang sedari tadi melihat ke arah meja seberang. “Pacar loe?”
“Waaah makhluk Tuhan dari mana, ganteng banget. Fel, fel liat ke sana.”
“Waaah bener-bener loe Ross. Mata loe gak pernah salah liat.” Ujar Rossa ikut melihat seorang laki-laki yang duduk bersama dua gadis di seberang.
Zizi memutar kedua bola matanya, mendengar Felice dan Rossa memuji kakaknya. Ia memperhatikan kakaknya yang sedang berinteraksi dengan dua gadis di mejanya. Jeff memiringkan kepala melihat Zizi yang penuh amarah.
“Gue kuliti loe sampe rumah.” Teman-temannya sontak menatap Zizi kaget. “Gue duluan.”
Zizi menghampiri kakaknya dan langsung menarik tangannya tanpa permisi. Untung saja itu adik kesayangannya, jadi ia tak memberontak sedikitpun. Akibat ulahnya semua gadis di resto melihat penuh tanya. Mereka berbisik-bisik satu sama lain.
“Pacar Zizi?” tanya Nathan syok.
“Ganteng banget. Beruntungnya Zizi punya pacar keren.” Rossa menumpu dagunya dengan kedua tangan.
Zizi menghentikan langkah di dekat motornya berada. Menahan kekesalan pada kakaknya yang belum padam. Ia membalikkan badan. Semua mata tertuju ke arahnya.
“Ngapain loe di sini?”
“Kangen sama adik kecil ini. Ternyata makin cantik.” Ucap Jeff dengan lembut seraya mensejajarkan wajahnya dengan sang adik. “Tapi kenapa loe gak jawab telpon gue? Gak bales pesan gue? Gue...argh!”
Zizi menginjak kaki Jeff. “Pelanin suara loe. Bikin malu gue aja. Body keren, wajah tampan taunya tantruman. Mana kunci mobil loe?”
Meski sering bertengkar, Jeff seringkali bersikap manja pada adiknya saat dirinya diabaikan. Ia merogoh kunci di kantong celananya dan memberinya kepada Zizi.
“Apa adik kecil ini masih marah?”
“Gue bukan adik kecil. Gue udah kuliah.” Sahutnya kesal sambil memberikan kunci motornya ke tangan kakaknya. “Ini kunci motor, ini motor gue. Loe pulang pake motor ikut ke kost gue.”
“Ya! Mana bisa kaya gitu.” Ia menahan lengan adiknya.
“Jadi kaka Zizi yang super keren ini mau membiarkan adiknya panas-panasan pake motor sedangkan dia pake mobil?” tanyanya sedikit mengancam.
Jeff tampak kesal dengan kelicikan adiknya. Akhirnya ia mengalah dan memilih menaiki motor Zizi. Tak disangkanya semua tatapan pengunjung resto beralih kepadanya yang mengambil motor Zizi. Untung saja ia sudah kebal dengan segala jenis tatapan. Dengan santai ia melajukan motor keluar dari kampus Zizi.