Shin adalah siswa jenius di Akademi Sihir, tapi ada satu masalah besar: dia nggak bisa pakai sihir! Sejak lahir, energi sihirnya tersegel akibat orang tuanya yang iseng belajar sihir terlarang waktu dia masih di dalam kandungan. Alhasil, Shin jadi satu-satunya siswa di Akademi yang malah sering dijadikan bahan ejekan.
Tapi, apakah Shin akan menyerah? Tentu tidak! Dengan tekad kuat (dan sedikit kekonyolan), dia mencoba segala cara untuk membuka segel sihirnya. Mulai dari tarian aneh yang katanya bisa membuka segel, sampai mantra yang nggak pernah benar. Bahkan, dia pernah mencoba minum ramuan yang ternyata cuma bikin dia bersin tanpa henti. Gagal? Sudah pasti!
Tapi siapa sangka, dalam kemarahannya yang memuncak, Shin malah menemukan sesuatu yang sangat "berharga". Sihir memang brengsek, tapi ternyata dunia ini jauh lebih kacau dari yang dia bayangkan!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arifu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Luka lama dibalik tawa!
Malam itu, suasana di kamar asrama terasa lebih sunyi dari biasanya. Shin duduk di atas ranjangnya, menggigit sepotong apel dengan santai, sementara Leo duduk di seberang, menatapnya dengan pandangan penuh pertanyaan.
“Shin,” panggil Leo, nada suaranya serius.
“Hm?” jawab Shin tanpa menoleh, mulutnya masih penuh dengan apel.
Leo menghela napas. “Mengapa kau bertindak seperti itu, Shin? Mengapa kau tidak menghargai nyawamu? Hari ini kau hampir mati, namun kau masih bertindak seperti itu, seolah-olah semuanya hanyalah lelucon.”
Shin berhenti mengunyah, menatap Leo dengan mata yang sedikit melembut. “Lo serius mau tau jawabannya?”
Leo menatapnya dengan tatapan penuh perhatian. “Tentu saja. Aku sungguh ingin tahu, Shin. Apa yang menyebabkan dirimu menjadi seperti ini?”
Shin meletakkan apel yang belum habis ke meja samping ranjangnya, lalu berbaring sambil menatap langit-langit kamar. Setelah beberapa detik hening, dia mulai bicara dengan suara pelan.
“Kalau lo mau tau, ini ceritanya panjang, bro. Tapi dengerin baik-baik, karena ini nggak bakal gue ulang.”
Leo menunggu dengan sabar, matanya penuh perhatian.
10 Tahun yang Lalu
Shin kecil berdiri di depan rumahnya, matanya terbelalak saat melihat monster besar itu muncul dari balik pepohonan. Monster itu seperti raksasa, dengan tubuh bersisik yang berkilau dan mata merah menyala. Langkahnya mengguncang tanah seolah-olah bumi ini miliknya.
“Ayah, itu apa?” suara Shin kecil terdengar gemetar.
Ayahnya langsung berdiri dengan waspada, memegang pedangnya dengan erat. “Shin, cepat masuk ke rumah dan kunci pintunya! Jangan keluar!”
Shin, meski takut, masih sempat menoleh ke arah monster itu, bingung. Namun, dia berlari menuju rumah. Ibunya yang mendengar teriakan segera keluar dengan tongkat sihir di tangan, siap menghadapi ancaman itu.
“Apa yang kau inginkan?” tanya ibu Shin dengan suara tegas, wajahnya serius, berusaha menghalangi monster itu.
Monster itu hanya tertawa lebar, suara tawanya bergema di seluruh hutan. “Ah, tak ada yang istimewa. Hanya kebetulan aku melewati sini dan menemukan kalian. Tentu saja, aku butuh sedikit hiburan, kan?”
Ayah Shin memegang pedangnya lebih erat, siap melindungi keluarga kecilnya. “Jangan sentuh keluarga kami!” teriaknya penuh tekad.
Namun, monster itu tidak mendengarkan. Dia meluncurkan serangan dengan kekuatan dahsyat, menghantam ayah Shin dengan satu pukulan yang membuatnya terlempar jauh ke pohon besar. Ibu Shin melancarkan mantra pertahanan, tetapi monster itu terlalu kuat. Dalam sekejap, keduanya tumbang.
Shin kecil bersembunyi di balik pintu rumah, matanya basah oleh air mata, namun tetap berusaha untuk tidak bersuara. Namun, ketika monster itu menghampiri rumahnya, langkahnya terasa semakin dekat.
Shin memberanikan diri keluar, meskipun tubuhnya gemetar ketakutan. Dia berdiri di depan monster yang besar, mencoba menahan tangisannya. “Kenapa... kenapa kamu membunuh orangtuaku?” tanya Shin dengan suara lembut, namun ada getaran kesedihan yang jelas terdengar.
Monster itu berhenti sejenak dan menatap Shin kecil dengan ekspresi yang penuh kebosanan. “Kenapa? Hah, siapa yang peduli? Aku baru bangun tidur setelah sekian lama, dan kalian... ya kalian kebetulan ada di sini. Jadi, kenapa tidak?” Monster itu tertawa dengan nada mengejek. “Mereka? Ah, mereka nggak penting. Lagian, kamu masih kecil, jadi aku cuma biarin deh. Cup cup cup, jangan nangis ya.”
Shin kecil terdiam, kata-kata itu menghantam hatinya lebih dalam daripada serangan fisik manapun. Tidak ada rasa penyesalan di mata monster itu, hanya ketidakpedulian yang mencekam.
“Kenapa... kenapa kamu nggak peduli?” Shin bertanya lagi, kali ini suaranya hampir tak terdengar, karena kesedihan yang begitu besar.
Monster itu memutar tubuhnya, menyiapkan langkah untuk pergi. “Hidup ini nggak adil, bocah. Semua orang mati pada waktunya. Kalau kamu bertahan atau enggak, itu bukan urusanku. Tugas gue cuma menghabisi yang gue temuin. Jadi, lo juga harusnya paham kalau nggak ada yang spesial.”
Shin terdiam, matanya tak mampu lagi menahan air mata. Monster itu meninggalkannya begitu saja, tanpa rasa bersalah. Shin berdiri di sana, terpaku, sementara dunia sekitarnya hancur. Semua yang dikenalnya, yang dia cintai, hilang dalam sekejap.
Kembali ke Masa Kini
Shin menghembuskan napas panjang dan menutup matanya, berusaha mengendalikan kembali perasaannya yang hampir meledak. “Jadi, lo ngerti kan kenapa gue nggak peduli sama hidup gue? Orang yang gue sayang bisa pergi begitu aja. Apa gunanya gue bertahan kalau itu semua cuma kesia-siaan?”
Leo terdiam. Ia memandang Shin, berpikir sejenak sebelum berbicara dengan lembut. “Shin, kehilangan itu memang menyakitkan. Tapi, kamu nggak bisa terus-terusan hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Lo nggak sendirian, bro.”
Shin tertawa kecut. “Mungkin lo bener. Tapi rasanya kayak nggak ada yang bisa ngubah keadaan. Semua yang gue lakukan cuma bikin gue makin jauh dari yang lain.”
Leo menatap Shin dengan penuh perhatian. “Lo punya teman. Gue ada di sini, bro. Jangan coba lagi untuk nyerah. Kamu nggak sendiri, Shin.”
Shin hanya tersenyum tipis, meskipun hatinya masih merasa berat. Mungkin, hanya mungkin, ada harapan untuknya di luar sana.