"Buang obat penenang itu! Mulai sekarang, aku yang akan menenangkan hatimu."
.
Semua tuntutan kedua orang tua Aira membuatnya hampir depresi. Bahkan Aira sampai kabur dari perjodohan yang diatur orang tuanya dengan seorang pria beristri. Dia justru bertemu anak motor dan menjadikannya pacar pura-pura.
Tak disangka pria yang dia kira bad boy itu adalah CEO di perusahaan yang baru saja menerimanya sebagai sekretaris.
Namun, Aira tetap menyembunyikan status Antares yang seorang CEO pada kedua orang tuanya agar orang tuanya tidak memanfaatkan kekayaan Antares.
Apakah akhirnya mereka saling mencintai dan Antares bisa melepas Aira dari ketergantungan obat penenang itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 9
Aira menatap ujung bibirnya yang terluka karena tamparan dari ayahnya kemarin. Dia menyentuhnya dan terasa perih.
"Aku gak bisa terus seperti ini. Aku harus pergi dari rumah ini secepatnya. Meskipun rumah ini aku yang beli." Aira menarik napas panjang dan membuangnya. Dia memakai lipbalm agar ujung bibirnya yang terluka segera sembuh.
Aira mengecek penampilannya sekali lagi di depan cermin lalu memakai tasnya. "Hari pertama bekerja, harus semangat." Dia berjongkok dan mencium kucingnya terlebih dahulu.
"Makanan dan minuman kamu sudah cukup sehari. Jangan kemana-mana, di sini saja." Setelah mengusap kepala kucingnya, dia keluar dari kamarnya dan menutup pintu itu.
"Aira, kamu mau berangkat? Sarapan dulu," kata Rika saat melihat Aira keluar dari kamarnya.
Aira hanya menatap ibunya sesaat, tanpa berkata apapun dia keluar dari rumah.
"Aira!" Rika menyusul langkah putrinya sambil membawa bekal yang sudah dia siapkan. "Kalau tidak sempat sarapan, kamu makan di kantor saja." Dia memasukkan bekal itu ke dalam tas Aira.
"Ibu jangan sok perhatian hanya karena aku sudah kerja," kata Aira pada akhirnya.
"Aira, Ibu akan bilang sama Ayah agar dia melunasi hutangnya sendiri." Rika menatap wajah putrinya dan menyentuh bibir putrinya yang terluka. "Ini kenapa?"
Aira menepis tangan ibunya. "Ibu dan Ayah sama saja, tidak pernah menganggapku anak."
"Kamu dipukul sama Ayah?" tanya Rika.
Aira tak menjawabnya. Dia berjalan mendekati ojek online yang sudah datang lalu naik ke boncengannya.
Rika masuk ke dalam rumah lalu membangunkan suaminya. "Ayah! Kamu kemarin pukul Aira?"
Fadil membuka kedua matanya dan menatap istrinya yang berdiri di dekatnya sambil berkacak pinggang. Dia membuang napas kasar lalu bangun. "Sekarang dia berani bantah sejak pacaran sama anak motor itu."
"Kemarin Ayah pulang sama Toni kan? Udah aku bilang, jangan paksa Aira sama Toni. Sekarang Aira juga sudah mulai bekerja. Aku tidak mau Aira pergi dari rumah ini."
"Rumah ini dia yang beli, apa dia mau meninggalkan rumah ini?" Fadil beranjak dari ranjang dan mendekati Rika. "Kamu masih ingat kesepakatan kita? Jangan berubah pikiran hanya karena kasihan sama Aira." Kemudian Fadil keluar dari kamarnya.
Rika duduk di tepi ranjang. Dia menatap kosong foto keluarga yang ada di kamar itu. "Maafkan Ibu, Aira."
...***...
Aira kini telah sampai di perusahaan tempatnya bekerja. Dia berjalan masuk ke dalam perusahaan itu untuk pertama kalinya sebagai seorang sekretaris.
Beberapa staf menyapanya saat dia masuk ke dalam lift.
"Sekretaris baru Pak Ares ya?"
Aira menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. "Iya. Aku Aira." Tapi senyum Aira memudar saat melihat Antares masuk ke dalam lift dan berdiri di sampingnya yang membuat staf lain mundur. Aura dingin memancar dengan kuat.
Aira belum tahu jika di perusahaan, Antares terkenal dengan bos yang sangat dingin. Setelah pintu lift terbuka di lantai lima, Aira dan Antares segera keluar dari lift itu. Aira berjalan di belakangnya dan terus mengikuti langkah kakinya.
"Itu tempat kerja kamu. Sebentar lagi Riko datang dan dia yang akan memberitahu semua tentang pekerjaan kamu," kata Antares tanpa menoleh Aira.
"Baik, Pak." Aira duduk di meja kerjanya. Dia meletakkan tasnya di laci kemudian dia menghidupkan komputernya. Dia mengambil buku dan beberapa map yang tertata rapi di dekat mejanya.
"Jadwal meeting?" Dia membaca jadwal meeting Antares. Kemudian dia membuka map yang lain. "Estimasi produksi." Dia terus membaca berkas itu. Beberapa model televisi dan laptop keluaran terbaru sedang diproduksi untuk saat ini. "Ternyata perusahaan ini juga memproduksi laptop. Spesifikasinya gak main-main dengan harga segitu."
Lalu dia mengambil lagi satu berkas lain. Dia membaca dengan serius. "Rencana kerjasama dengan perusahaan Jepang."
Belum selesai Aira membacanya, Antares keluar dari ruangannya dan mengambil berkas yang dipegang Aira. "Riko datang terlambat. Kamu buka e-mail ya."
Aira menganggukkan kepalanya lalu membuka e-mail. Akun itu sudah tertaut tinggal memasukkan pasword.
"Paswordnya Antares12."
Aira memasukkan pasword itu dan dia sudah terhubung dengan e-mail resmi sekretaris.
"Nanti e-mail di ponsel kamu hubungkan juga dengan e-mail ini agar kamu bisa mengerjakan jika ada pekerjaan mendadak di rumah." Antares membungkukkan badannya dan meraih mouse. Dia membuka tautan yang baru saja dia kirim.
"Kamu cek keseluruhan total produksi ini, apa sama dengan estimasi biaya awal. Setelah itu teruskan ke alamat e-mail di bawahnya."
Aira menganggukkan kepalanya.
"Kamu juga harus cek jadwal meeting dan temu klien. Selain Riko, kamu juga harus mengingatnya dan memberitahuku. Laporan produksi juga harus kamu cek, jika ada masalah tinggal kamu laporkan saja padaku."
Aira menganggukkan kepalanya lagi. Dia melirik Antares dari samping saat Antares menunjukkan file-file penting di komputer itu. Entah mengapa pandangannya tidak bisa lepas dari wajah tampan itu.
"Aira?" Pandangan Antares beralih menatapnya. Mereka saling bertatapan dengan jarak yang sangat dekat. Perlahan jemari Antares menyentuh bibir Aira yang terluka. "Kenapa?"
Aira menjauhkan dirinya. "Tidak kenapa-napa."
"Sebentar." Antares mengambil tisu basah lalu menahan dagu Aira. Dia mengusap kulit wajah Aira di sekitar bibir Aira yang terluka. Pipi itu terlihat membiru. Meskipun samar tapi Antares tahu itu bekas tamparan. "Kenapa?"
Aira hanya mengalihkan pandangannya tanpa menjawab.
"Siapa yang menampar kamu?"
"Tidak apa-apa." Aira mengambil bedak yang ada di dalam tasnya. Dia memakai bedaknya untuk menutupi luka memar itu.
"Aku paling tidak suka jika ada yang memukul wanita. Kamu ingin aku membalasnya?"
"Ayah yang memukul." Aira kembali memasukkan bedaknya ke dalam tas.
Tiba-tiba Antares mengambil tas Aira untuk mengecek botol obat penenang itu. "Masih bersegel. Kamu sudah bisa menenangkan diri kamu?"
Aira menggelengkan kepalanya. "Untung ada Bintang. Meskipun aku harus menangis semalaman."
"Mengapa keluarga kamu tega menyiksa kamu seperti ini? Apa kamu bukan anak kandung mereka?" tanya Antares. Dia membuka kotak obat yang berada di dekat meja Aira dan mengambil salep luka.
Aira terdiam. Dia hanya bisa menggelengkan kepalanya karena sampai sekarang dia juga tidak tahu, mengapa keluarganya tidak pernah menyayanginya.
"Kamu tidak tahu alasan mereka?" tanya Antares. Dia mendekatkan kursi dan duduk di dekat Aira. Dia mengambil salep itu dengan cotton bud lalu mengobati ujung bibir Aira yang terluka.
"Hmm, Pak, biar saya saja." Aira menahan tangan Antares tapi Antares tetap melakukannya.
Antares mengobatinya dengan hati-hati dan hanya di sekitar luka itu agar tidak sampai termakan. "Sudah. Nanti sebelum minum kamu bersihkan dulu dengan tisu. Paling tidak tunggu sampai satu jam."
Aira menganggukkan kepalanya. "Terima kasih." Luka itu terasa perih hingga membuatnya sedikit meringis.
"Perih ya?" Antares mendekatkan bibirnya dan meniup luka itu.
Aira seperti kehabisan oksigen melihat wajah Antares sedekat itu. "Apa yang Pak Ares lakukan?"
💗💗💗
Kerja oey, kerja! 😌
akhirnya ngaku juga ya Riko...
😆😆😆😆
u.....