Memiliki kehidupan yang nyaris sempurna, Marsha memiliki segudang prestasi, ia juga terampil dalam seni lukis dan percintaan yang bahagia bersama Reno─sepupunya sendiri. Mereka telah membangun rencana masa depan yang apik, namun siapa yang akan menyangka takdir tidak selalu mengikuti semua rencana.
Marsha tiba-tiba harus menggantikan Maya─kakaknya yang kabur karena menolak menikahi Alan─pria pilihan orang tuanya berdasarkan perjanjian bisnis. Masa depan perusahaan orang tuanya yang diambang kebangkrutan sebagai konsekuensinya.
Bagai simalakama, terpaksa Marsha menyetujuinya. Statusnya sebagai pelajar tidak menunda pernikahan sesuai rencana diawal. Alan adalah pria dewasa dengan usia yang terpaut jauh dengannya ditambah lagi ia juga seorang guru di sekolahnya membuat kehidupannya semakin rumit.
Menjalani hari-hari penuh pertengkaran membuat Marsha lelah. Haruskah ia berhenti mengukir benci pada Alan? Atau tetap melukis cinta pada Reno yang ia sendiri tidak tahu dimana ujung kepastiannya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rieyukha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TIDAK COCOK
Diwaktu yang sama Marsha juga kembali melayangkan protesnya pada Nadia. "Mama tega nikahi Marsha sama Om-om!"
"Om-om dari mana, kamu nggak lihat apa ganteng dan muda begitu kok dibilang Om-om." Nadia hanya menanggapi santai protes Marsha.
"Umurnya Ma, jauh banget sama Marsha. Seumuran om Wiga tetangga kita didepan."
"Tapi Alan nggak sama kayak Om Wiga didepan kan," goda Nadia.
"Ya enggak lah." jawab Marsha cepat, matanya langsung membulat dan mulutnya mengatup rapat menyadari kecepatannya menjawab seolah-olah ia sudah mengakui ketampanan Alan.
Nadia terkekeh, "Papa dan Mama sudah mencari tahu bibit, bebet dan bobotnya Sha. Memang semua berdasarkan bisnis tapi Papa dan Mama juga tidak sembarangan memilihkan calon suami untuk anak-anak Mama."
Marsha menghela napas berat, "Marsha nggak cocok Ma, nggak suka juga, apa Marsha harus tetap nikah sama dia?" Marsha sadar harapannya kecil, tapi ia tidak ingin berhenti untuk mencoba.
"Cocok enggaknya itu hanya sebuah pandangan, Sha. Lebih ke saling menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing aja, itu udah pasti cocok. Kalau soal rasa kamu hanya butuh waktu, Mama yakin suatu saat kalian akan saling cinta kok. Percaya deh."
Marsha hanya diam, kini ia hanya bisa kembali pasrah. Marsha pun mengeluarkan ponselnya berniat untuk mengabarkan Sarah dan mengajaknya pergi liburan yang sebenarnya. Melepaskan stres agar tidak menjadikannya gila.
"Terserah, percuma juga protes, kalau itu maunya Mama." Marsha hanya menegaskan, dari awal ia juga tahu memang itu maunya Nadia dan keluarganya. "Marsha mau hubungi Sarah, kalau udah balik dari liburan pura-pura nya."
"Eh jangan!" seru Nadia panik melihat Marsha sudah dengan ponselnya ditangan.
"Kenapa lagi sih Ma?"
"Liburan kali ini nggak usah dulu lah bareng Sarah."
"Kenapa?? Liburan kan masih lama banget masa Marsha nggak boleh kemana-mana."
"Siapa bilang, nanti setelah kamu menikah kita liburan bareng-bareng sama keluarga Alan."
"APA!?" Marsha bagai kena sambaran petir, sedetik kemudian ia kembali melayangkan protesnya, "MARSHA MASIH SEKOLAH, MA!" kini ia berteriak histeris, membuat para ART berhenti sesaat dalam pekerjaannya, lalu kembali fokus. Beberapa hari terakhir mereka sudah mulai terbiasa mendengar teriak histeris Marsha.
Belum mampu berdiri tegak ia sudah dihantam sekali lagi dengan pukulan keras membuat dirinya tidak berdaya sekarang. Marsha mulai merengek. Bagai halilintar yang menyambar keterkejutannya barusan, ia benar-benar tidak menyangka akan menikah sekilat ini, saat masih duduk di bangku sekolah dan berstatus pelajar?!
Nadia menghela napas berat, sebenarnya ia lelah memberi pengertian kepada Marsha yang bisa dikatakan masih labil. Wajar sih, karena ia juga masih duduk di bangku sekolah, masih ingin menikmati masa-masa mudanya, merancang masa depannya tapi harus dihadapkan dengan pernikahan. Anak mana yang tidak tantrum dalam kondisi seperti itu, mungkin anak-anak yang kebanyakan baca novel nikah muda adalah hal yang menyenangkan, jangan dek ya jangan... Cerita novel tidak seindah kenyataan, percayalah!
Sebagai orang tua dan juga Ibu tentu Nadia ingin memberikan yang terbaik kepada Marsha, ia tidak ingin sekedar memanfaatkan anaknya apalagi menjerumuskannya demi kepentingan bisnis belaka. Masa sih? Entahlah hanya Nadia yang tahu isi hati dan kepalanya.
Kaburnya Maya membuat sebagian rencana berubah dan sebagian lain tetap dalam perencanaan awal. Termasuk hari pernikahan yang akan dilaksanakan sepekan lagi.
"Begini sayang, dari awal memang minggu depan adalah hari yang sudah disepakati, awalnya hanya biar kamu bisa menikmati pesta pernikahan Maya dan tidak mengganggu waktu sekolah." Nadia diam tampak berpikir, lalu melanjutkannya. "Tapi ternyata kamu yang harus menjadi pengantin wanitanya, dan kebetulan itu adalah sehari setelah kamu berusia delapan belas tahun."
Nadia dan Marsha sama-sama terdiam, namun Marsha dengan mulut yang mengatup geram. Nadia berpikir mungkin ini adalah takdir yang sudah digariskan, karena setelah kaburnya Maya membuat Marsha sebagai penggantinya tidak ada halangan yang berarti kecuali hanya penolakan diawal yang akhirnya Marsha juga menyetujuinya─dipaksa menyetujuinya.
Sebenarnya Marsha tidak pernah setuju, ia sebagai anak yang masih bergantung penuh dengan orang tua bisa apa selain mengikuti perintah. Bolehkah ia mengutarakan pendapatnya? Boleh sekali, tapi apakah itu bisa merubah keputusan orang tuanya? Tidak. Malangnya kau Marsha dan anak-anak yang sedang mengalami pemaksaan seperti dirinya, berdoalah hanya doa yang dapat merubah takdir. Dekati Tuhanmu, Allah sang segalanya, rayu Dia dalam setiap sujud mu, solatmu karena Dia maha membolak-balikkan hati.
Dengan usianya yang sepekan lagi sudah masuk kategori usia dewasa dan hari pernikahan yang ditentukan juga tidak mengganggu kegiatan sekolahnya, tentu Nadia merasa bahwa mungkin beginilah jalannya.
Nadia menghela napas panjang, walau Marsha sudah menyetujuinya (yang masih pemikiran Nadia saja) ia tetap saja memiliki rasa bersalah yang tidak mampu ia ungkapkan. Ia harus meyakinkan pilihannya tidak salah dan menjamin kebahagiaan Marsha kedepannya. Mungkin sebenarnya adalah kebahagiaan dirinya juga, tapi seluruh keluarga besarnya. Kasihannya Marsha...
"Terus gimana sekolah Marsha nanti?" Marsha benar-benar panik, otaknya yang dikenal cerdas kali ini tidak bisa di pakai berpikir. Ia sungguh hampir terkena mental menghadapi pemaksaan ini, dia boleh mengadukan masalahnya pada kak Seto nggak sih?
"Ya tetap sekolah seperti biasa, nggak boleh ada yang tahu tentang pernikahan kamu dan Alan, kecuali keluarga kita dan Alan minimal sampai kamu lulus SMA."
"Kalau gitu kenapa nggak tunggu lulus SMA baru nikah?" ‘Tapi begitu ijazah ditangan aku akan kabur.’ Batin Marsha mulai berencana.
"Wasiatnya harus dalam tahun ini, dan hanya bulan ini yang tidak mengganggu kegiatan sekolah kamu."
"Wasiat?" ucap Marsha tidak mengerti.
"Please, Sha. Mama mohon, ini terkait bisnis sayang. Boleh nggak Mama minta kamu manut aja. Alan anak yang baik dari keluarga yang baik, Mama janji kamu akan bahagia sama Alan."
Marsha mencebik, hanya bisa tersenyum sinis. "Tahu apa Mama soal kebahagiaan Marsha?" Nadia hanya diam. Marsha menghela napas, lelah hayati ia harus terus beradu argumen dengan Mamanya, ujungnya tetap ia yang akan ‘dipaksa’ mengalah.
"Kalau nggak boleh sama Sarah, aku mau kerumah Tante Hana aja."
"Ngapain? Kamu mau curhat sama Reno?"
"Apa itu akan mengganggu keputusan Mama? Apa yang aku boleh sekarang? Diam diri seperti kemarin dikamar? Emang Mama mau pas buka kamar yang ditemukan mayat?" Marsha menatap tajam Mamanya, Nadia hanya bisa menghela napas pasrah menahan sakit hati melihat tatapan melawan dari Marsha.
"Nginap." ucap Marsha kemudian dengan nada lebih ke menuntut daripada bertanya meminta persetujuan.
"Hanya dua hari. Kamu harus persiapan untuk pernikahan pekan depan." kata Nadia tegas. Marsha hanya diam sembari berlalu pergi ke kamarnya.
***