Veltika Chiara Andung tak pernah membayangkan hidupnya akan jungkir balik dalam sekejap. Di usia senja, ayahnya memutuskan menikah lagi dengan seorang perempuan misterius yang memiliki anak lelaki bernama Denis Irwin Jatmiko. Namun, tak ada yang lebih mengejutkan dibanding fakta bahwa Denis adalah pria yang pernah mengisi malam-malam rahasia Veltika.
Kini, Veltika harus menghadapi kenyataan menjadi saudara tiri Denis, sambil menyembunyikan kebenaran di balik hubungan mereka. Di tengah konflik keluarga yang rumit, masa lalu mereka perlahan kembali menyeruak, mengguncang hati Veltika.
Akankah hubungan terlarang ini menjadi bumerang, atau malah membawa mereka pada takdir yang tak terduga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NinLugas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bukan Cinta Satu Malam
Percakapan antara Veltika dan Denis terus mengalir, ditemani suasana malam Bali yang hangat dan anggur yang mulai menghabiskan isi botolnya. Tawa ringan, obrolan santai, hingga cerita-cerita lama membuat mereka semakin larut dalam suasana.
“Den, kamu tahu nggak,” Veltika mulai bicara dengan suara yang sedikit serak, matanya sudah sedikit redup karena efek alkohol. “Aku selalu berpikir… aku nggak akan pernah bisa percaya lagi sama laki-laki.”
Denis yang duduk bersandar di kursinya, memperhatikan Veltika dengan tatapan lembut. “Aku paham. Setelah semua yang kamu alami, pasti sulit. Tapi, Vel…” ia menghentikan ucapannya sejenak, memutar gelas anggurnya. “Aku ingin jadi alasan kamu percaya lagi.”
Veltika tertawa kecil, tapi ada rasa hangat yang menjalar di hatinya. “Kamu terlalu manis malam ini. Apa karena wine atau memang ini sisi lain kamu yang nggak pernah aku lihat?”
Denis mengangkat bahu, setengah bercanda. “Mungkin dua-duanya. Tapi aku serius, Vel.” Ia mendekat sedikit, jarak mereka kini hanya beberapa inci. “Aku ingin kamu tahu kalau aku di sini bukan hanya untuk saat ini. Aku ingin ada untuk kamu… selamanya.”
Veltika terdiam sejenak, matanya bertemu dengan mata Denis. Hatinya mulai goyah, tapi ia masih mencoba menjaga jarak. “Kamu terlalu muda untuk bicara tentang selamanya, Den.”
Denis tersenyum tipis, sedikit mabuk, tapi matanya masih fokus pada Veltika. “Muda bukan berarti tidak tahu apa yang aku mau.”
Veltika menatap Denis, anggurnya yang tersisa di dalam gelas bergetar di tangannya. “Kita setengah mabuk, Den. Besok kita mungkin akan lupa dengan semua ini.”
“Aku nggak akan lupa,” jawab Denis cepat. “Kamu mungkin, tapi aku tidak.”
Suasana berubah menjadi hening, hanya terdengar suara ombak dari kejauhan. Tanpa sadar, tangan Denis menyentuh tangan Veltika di atas meja. Sentuhan itu hangat, membuat Veltika sejenak melupakan semua keraguan yang ada di pikirannya.
Malam itu, mereka terdiam dalam kebersamaan yang terasa begitu dekat. Mabuk, tapi hati mereka berbicara lebih jujur daripada sebelumnya.
Tangan mereka saling bersambut, jemari Denis perlahan menggenggam tangan Veltika dengan lembut, seolah takut jika genggaman itu terlalu erat, Veltika akan pergi. Mata mereka saling berpandangan, dalam diam yang mengandung banyak makna.
“Vel…” Denis berbisik pelan, suaranya serak namun penuh ketulusan. “Aku tidak tahu apa yang terjadi di masa lalu kamu, tapi aku ingin menjadi bagian dari masa depanmu.”
Veltika terdiam, bibirnya sedikit bergetar. Di balik matanya yang tajam, ada dinding tinggi yang selalu ia bangun untuk melindungi dirinya dari rasa sakit. Tapi malam ini, dinding itu perlahan runtuh.
“Den…” Veltika akhirnya membuka suara, tatapannya melembut. “Aku takut. Takut kalau aku jatuh lagi… dan terluka lagi.”
Denis mengangkat tangan Veltika yang masih dalam genggamannya, lalu mengecupnya dengan lembut. “Aku tidak akan pernah membiarkan itu terjadi. Aku akan melindungi kamu, Vel. Apa pun yang terjadi.”
Kata-kata itu membuat hati Veltika bergetar. Denis mungkin lebih muda darinya, tapi ada kedewasaan dalam sorot matanya yang tidak pernah ia lihat sebelumnya.
Sejenak, mereka terjebak dalam keheningan yang penuh emosi. Denis perlahan mendekat, wajahnya semakin dekat dengan Veltika. Mata mereka masih saling bertaut, hingga akhirnya bibir Denis menyentuh bibir Veltika dalam sebuah ciuman yang lembut dan penuh perasaan.
Veltika membiarkan dirinya larut dalam ciuman itu. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa ada seseorang yang benar-benar ingin melindunginya, bukan hanya mendekati untuk meraih keinginannya.
Ketika mereka akhirnya melepaskan ciuman itu, Denis menatap Veltika dengan penuh kesungguhan. “Aku tidak hanya ingin menjadi seseorang di hidupmu, aku ingin menjadi seseorang yang kamu percaya.”
Veltika menatap Denis dalam-dalam, hatinya masih berdebar. Malam itu, untuk pertama kalinya, ia merasakan harapan yang sudah lama hilang kembali menyala di dalam dirinya.
Ciuman mereka yang awalnya lembut berubah semakin dalam dan penuh gairah. Denis memeluk Veltika erat, sementara tangan Veltika perlahan melingkar di lehernya. Tanpa sadar, langkah mereka membawa keduanya keluar dari pesta yang ramai menuju lift hotel tempat perayaan itu diadakan.
Di dalam lift, suasana menjadi semakin intens. Pandangan mata mereka saling bertaut penuh keinginan. Veltika mencoba mengendalikan diri, tetapi setiap sentuhan Denis membuat hatinya berdebar kencang. Begitu lift berbunyi dan pintu terbuka, mereka dengan cepat melangkah keluar, menuju kamar hotel di lantai atas.
Begitu pintu kamar terbuka, Denis mendorongnya dengan lembut ke dalam ruangan, lalu menutup pintu di belakang mereka.
"Vel, aku nggak pernah merasa seperti ini sebelumnya," ucap Denis, suaranya serak dan penuh emosi.
Veltika hanya menjawab dengan tatapan matanya yang dalam. Tanpa banyak kata, Denis kembali menariknya dalam pelukan, bibir mereka bertemu lagi, kali ini lebih panas, lebih dalam. Veltika merasakan jantungnya berdegup kencang, seolah-olah seluruh dunianya hanya berpusat pada pria muda di hadapannya.
Mereka bergerak perlahan ke arah tempat tidur. Veltika merasakan jari-jari Denis menyusuri punggungnya, menyingkirkan gaun yang dikenakannya dengan lembut. Denis menatapnya dalam-dalam, seolah ingin meyakinkan bahwa semua ini nyata. "Aku ingin kamu tahu, aku di sini bukan untuk main-main," bisiknya.
kedua tangan Veltika memegang leher Denis, sembari menjambak rambutnya. Tanpa aba-aba di kamar yang remang-remang, tidak henti Denis memandangi Veltika, tubuhnya ibarat dewi yang turun dari kayangan. Tidak di dapatinya cacat sedikit pun dari kulit putihnya, tidak perlu di tuntun bibir Denis sudah menjamah se-senti setiap sudut tubuh Veltika.
kedua tangan Denis membuka perlahan kedua kaki Veltika, kedua matanya menatap kagum, perlahan ia benamkan wajahnya di bawah sana, keda tangannya menggengam lembut kedua paha Veltika. Menyentuh dengan ujung lidahnya, menyesapnya sesuka hati Denis. Veltika terus merasakan getaran yang membuatnya berdesah pelan, kedua tangannya kini menjambak rambut Denis dengan pelan.
Denis memulai permainan, perlahan menggerakkan pinggulnya di antara kedua kaki Veltika, kecepatannya konstan, keduanya menahan sensasi yang mulai memanas di bawah sana, seiring Veltika memeluk Denis. Wanita yang tidak terlihat berumur 25 tahun itu terlihat pasrah, dibawah pesona berondong yang masih menggerakkan pinggulnya dengan lembut dan kuat.
Kemudian berubah menjadi cepat dan lebih dalam, seiring sepasang kaki Veltika mengapit pinggang Denis. suara desahan Veltika semakin memacu nafsu Denis, suara yang memenuhi ruangan kamar hotel itu. sampai Denis beberapa saat kemudian menggetakan kepemilikannya berulang kali dia atas perut rampung Veltika, sampai tenggelam sempurna, rasa mengerang keduanya seperti meledak, seraya Denis membenamkan wajahnya di tengah-tengah dada Veltika.
Pagi itu, cahaya matahari menerobos tirai kamar hotel, menyinari tubuh Veltika yang masih terbaring di ranjang. Perlahan, matanya terbuka, dan kesadaran mulai kembali. Rasa hangat di sebelahnya mengingatkan Veltika akan apa yang terjadi semalam.
Denis masih tertidur, wajahnya terlihat damai di tengah bantal, dengan lengannya yang masih melingkari pinggang Veltika. Kilasan peristiwa semalam melintas di benaknya, ciuman yang penuh gairah, desahan yang memenuhi kamar, dan bagaimana mereka akhirnya tenggelam dalam satu sama lain.
Wajah Veltika memerah. Rasa malu dan bingung menyeruak dalam dirinya. "Apa yang telah aku lakukan?" batinnya bergemuruh. Ini bukan pertama kalinya mereka dekat, tapi malam itu terasa berbeda lebih dalam, lebih intens, dan terlalu cepat.
Dengan hati-hati, Veltika mencoba melepaskan diri dari pelukan Denis tanpa membangunkannya. Tapi saat ia beranjak dari tempat tidur, tangan Denis tiba-tiba merengkuh pergelangan tangannya. "Vel, jangan pergi," suara Denis terdengar serak namun penuh kelembutan. Matanya yang baru saja terbuka menatap Veltika dalam-dalam, seolah memohon untuk tetap tinggal.
Veltika terdiam sejenak, hatinya berdebar. Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi kata-kata terasa sulit keluar. "Maaf," ucapnya lalu bergegas pergi dengan membawa selimut untuk menyelimuti tubuhnya.
Di dalam kamar mandi, Veltika berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya. Rambutnya yang biasanya rapi kini tampak berantakan, riasannya yang semalam sempurna kini luntur, menciptakan bayangan samar di bawah matanya.
Dengan napas panjang, ia membasuh wajahnya perlahan, mencoba mengembalikan ketenangan yang tadi hilang. "Apa yang sebenarnya aku lakukan?" gumamnya pelan sambil mengusap wajah dengan handuk kecil.
Tangannya meraih gaun merah elegan yang semalam ia kenakan, tergeletak di lantai kamar mandi. Satu per satu, Veltika mengenakan kembali gaun itu, menarik resletingnya hingga ke atas punggung dengan tangan gemetar.
Matanya kembali menatap cermin. Ia memperbaiki sisa riasan yang masih bisa diselamatkan—lipstik yang pudar, maskara yang sedikit luntur, dan rambut yang kini disisir dengan jari-jarinya agar terlihat lebih rapi. Meski penampilannya sudah kembali seperti semula, ada sesuatu yang berbeda di matanya—keraguan dan perasaan bercampur aduk yang tak bisa ia hilangkan.