Misteri Rumah Kosong.
Kisah seorang ibu dan putrinya yang mendapat teror makhluk halus saat pindah ke rumah nenek di desa. Sukma menyadari bahwa teror yang menimpa dia dan sang putri selama ini bukanlah kebetulan semata, ada rahasia besar yang terpendam di baliknya. Rahasia yang berhubungan dengan kejadian di masa lalu. Bagaimana usaha Sukma melindungi putrinya dari makhluk yang menyimpan dendam bertahun-tahun lamanya itu? Simak kisahnya disini.
Kisah ini adalah spin off dari kisah sebelumnya yang berjudul, "Keturunan Terakhir."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ERiyy Alma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MRK 6
Setelah hampir satu jam lamanya, dua pemuda itu gagal menangkap seekor ular kecil saja, justru Wijaya lah yang membantu mereka. Malu-malu Indra meminta maaf, tapi Bu Sukma tak mempermasalahkan hal itu. Wanita itu tetap mengucapkan terima kasih.
Bahkan saat keduanya pulang, Sukma memberinya sekantong penuh kue untuk mereka. Keduanya mengucapkan banyak terima kasih, sedangkan Dira diam-diam mencuri pandang ke arah Rendra. Hingga saat sang nenek memanggilnya, terpaksa gadis itu masuk ke dalam rumah.
“Kemari Nduk,” titah nenek Ratih. “Dira, kenapa membuka jendela? rumput di rumah sebelah tak pernah dibersihkan, sudah pasti menjadi sarang ular. Lain kali tidak perlu membuka jendela tanpa alasan ya.”
“Tapi Dira gerah Nek, nggak ada angin sama sekali di kamar,” rengek gadis itu. Pak leknya datang mendekat, ikut duduk bersama di ruang tamu.
“Jaya, kamu beli kipas angin aja nanti ya, pasang di kamar Dira dan Sukma.”
“Nggak usah Bu, kami bisa tahan kok.” Sukma mencubit pelan lengan putrinya, membuat Dira menjadi kesal. Ia yakin setelah ini ibu akan menegurnya karena dianggap merepotkan nenek, tapi ia hanya mengutarakan apa yang dirasakannya kini.
“Nggak apa-apa Sukma, disini memang panas. Lebih-lebih sudah lama tidak turun hujan, sudahlah kamu jangan menolak, dan jangan pernah berpikir untuk mengganti. Ibu mau belikan cucu dan menantu ibu, tidak ada yang salah dengan hal itu.”
Sukma tersenyum simpul, diam-diam berjanji akan berbakti pada ibu mertuanya itu. “Terima kasih, Ibu,” ucapnya tulus, nenek Ratih mengangguk.
“Oh iya Nek, sebenarnya rumah itu milik siapa? kemana pemiliknya, kok sampe kotor banget kayak gitu. Padahal rumahnya besar dan bagus, sayang banget ditinggal gitu aja.”
Nenek Ratih terdiam cukup lama, hal itu memancing rasa penasaran Sukma dan Dira tentunya. Sementara Wijaya hanya menyimak, sambil sesekali bermain ponsel di tangan.
“Rumah itu milik pak Dasuki, beliau sudah meninggal. Tak lama setelah kepergian beliau, istrinya pun menyusul. Lantas putrinya ikut meninggal saat hamil, bayinya tak terselamatkan.”
“Astaghfirullah, tragis sekali nasib mereka,” ucap Sukma.
“Katanya putri pak Dasuki itu hamil di luar nikah, dan saat kematiannya seluruh desa gempar, memangnya kenapa ya Bude? Jaya pernah dengar ada yang ngomong gini.” Wijaya turut berkomentar, menanyakan cerita simpang siur yang didengarnya dari mulut ke mulut.
“Loh kok pak lek nggak tahu?” tanya Nadira.
“Pak lek dulu tinggal di desa sebelah, setelah emak wafat barulah bude memboyongku untuk tinggal bersama. Dan itu setelah kejadian di rumah sebelah.”
“Sudahlah, jangan membicarakan hal itu lagi. Apapun penyebab kematian mereka itu bukan ranah kita untuk membicarakannya. Sukma lanjutkan buat kuenya, dan Nadira, jangan buka jendela lagi demi keselamatan semua.”
“Baik Nek.”
***
Wijaya baru saja memasang kipas angin pada dinding kamar Dira dan Sukma, setelah itu ia berpamitan pada nenek Ratih untuk kembali mengunjungi Narso, salah satu teman akrabnya di desa sebelah.
“Kamu jadi sering ke rumah Narso sekarang Jaya,” ucap budenya. Wijaya tersenyum malu, ada alasan ia selalu pergi ke rumah temannya itu meski lumayan jauh, dan alasan itu menyangkut masa depannya.
“Hayo pak lek, pasti mau ngapelin cewek kan? iya kan?” Nadira menyentuh pundak pak leknya yang terbalut jaket kulit menggunakan ujung jari. Sebenarnya ia sudah mendengar hal ini dari nenek tadi siang, bahwa pak leknya itu tengah melakukan pendekatan pada seorang cewek, dan itu adalah adik kandung Narso.
Sukma tersenyum melihat adik sepupunya yang tersipu malu, lelaki pendiam itu tak bisa mengelak. Hanya wajahnya yang memerah cukup membuat semua orang mengerti.
“Baiklah, berangkat saja. Bude doakan sukses semua rencanamu Ngger…”
Wijaya tersenyum senang, tak lupa mengucapkan amin dan mencium takzim tangan keriput bude yang merawatnya selama ini.
“Berangkat dulu ya, assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam hati-hati pak lek, titip salam buat calon bu lek,” goda Dira lagi. Semua orang tertawa mendengar candaannya. Selepas kepergian Wijaya, nenek Ratih berpamitan masuk kamar. Beliau bilang ingin istirahat lebih awal.
Sementara Nadira dan ibunya memilih menonton tv di ruang tengah. Sembari menikmati sisa kue bikinannya tadi siang.
“Ibu ibu…”
“Hmmm, ada apa?”
“Ibu, sebenarnya tadi siang waktu Dira buka jendela nggak sengaja lihat bayangan hitam di rumah sebelah. Kalau dengar cerita nenek dan pak lek, berarti rumah itu berhantu kan? dan apa itu alasan semua hal aneh yang kita alami selama ini?”
Sukma meraih segelas air di atas meja, meneguknya hingga tak tersisa, lantas menatap wajah ayu putrinya yang ketakutan. “Semua tempat itu pasti ada makhluk halusnya, karena sejatinya kita hidup berdampingan dengan mereka. Asal kita tidak mengganggu, mereka juga akan melakukan hal sama.”
“Tapi yang kemarin itu gimana? jelas-jelas mereka ganggu kita lebih dulu.”
Krieeeett……
“Ibu, suara apa itu?”
Sukma memeluk putrinya, suasana malam itu memang terasa berbeda. Jauh lebih sepi daripada malam sebelumnya, mereka bahkan tak mendengar satupun suara peronda malam yang biasa lewat di depan rumah.
“Kayak suara gerbang nggak sih Bu?” tanya Dira lagi. Seakan tersadar keduanya saling bertatapan dan mengangguk, lantas berjalan menuju kamar Dira. Dari sana pemandangan depan rumah kosong itu terlihat jelas, Dira dan ibunya menyingkap gorden, melihat keadaan di luar rumah.
“Dira, itu gerbang rumah apa emang kebuka gitu?”
Nadira mengikuti arah telunjuk sang ibu, ia melihat gerbang besi rumah kosong terbuka separuh. Seingatnya gerbang itu selalu tertutup selama ini, bahkan tadi pagi saat dirinya membuka jendela. Gerbang besi yang agaknya telah karatan itu banyak ditumbuhi tanaman menjalar. Membukanya tentu butuh membersihkan rumputnya terlebih dahulu.
Nadira menggeleng, ia yakin ingatannya tak salah tentang gerbang warna biru kusam itu, tapi yang terlihat di depan mata kini gerbang itu terbuka lebar. Sukma merasa tenggorokannya menjadi kering, padahal ia baru saja minum.
Ditutupnya kembali gorden jendela, dan mengajak putrinya untuk segera tidur. “Kita tidur bersama saja malam ini, ibu takut,” ucap sang ibu berjalan menutup pintu. Nadira meraih selimut baru di dalam lemari, menyerahkannya pada sang ibu. Lantas keduanya bersama-sama naik ke atas ranjang.
Keesokan harinya, ibu dan anak itu terbangun sekitar pukul 6 pagi. Keduanya terkejut sebab belum melaksanakan sholat subuh, Sukma bergegas ke kamar mandi tapi sungguh sayang sebab nenek Ratih baru saja masuk untuk buang hajat.
“Di kamar mandi belakang saja Sukma,” teriak ibu mertuanya.
“Baiklah Bu, ayo Dira ikut ibu.”
Keduanya berjalan beriringan menuju kamar mandi belakang yang terletak di luar rumah, kamar mandi itu berada tepat di samping pintu belakang rumah kosong. Sukma masuk terlebih dulu, sementara Dira menunggu di luar. Saat itulah ia tak sengaja melihat ke arah gerbang utama rumah kosong itu, gerbang itu masih tertutup rapat dengan rumput yang merambat memenuhi hampir semua sisi-sisinya. Tak ada sedikitpun tanda-tanda bahwa gerbang itu pernah terbuka semalam.
Nadira tercengang, angin yang berhembus di sekitarnya membuat bulu kuduknya meremang, saat itu juga ia mendengar suara tawa seorang wanita tepat di samping telinga, ia mundur beberapa langkah dengan nafas tersengal. Kaki terhuyung dan hampir terjatuh jika saja ibunya tak sigap menangkapnya.
“Dira, ada apa?”
“Ha-han..tu…” Nadira pingsan.
“Dira!”
.
Tbc