Firman selama ini berhasil membuat Kalila, istrinya seperti orang bodoh yang mau saja dijadikan babu dan tunduk akan apapun yang diperintahkan olehnya.
Hingga suatu hari, pengkhianatan Firman terungkap dan membuat Kalila menjadi sosok yang benar-benar tak bisa Firman kenali.
Perempuan itu tak hanya mengejutkan Firman. Kalila juga membuat Firman beserta selingkuhan dan keluarganya benar-benar hancur tak bersisa.
Saat istri tak lagi menjadi bodoh, akankah Firman akhirnya sadar akan kesalahannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itha Sulfiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gagal
"Mas, lagi ngobrolin apa sih, sama Mbak Fika?" tanya Lia. Perempuan itu tiba-tiba muncul begitu saja diantara dua kakak beradik itu.
"Nggak lagi ngobrolin apa-apa, Sayang. Kita masuk lagi, yuk!"
Firman melangkah lebih dulu. Dibelakang, Fika mengikuti bersama dengan Lia.
"Kalian lagi bahas apa sih, Mbak? Kasih tahu aku juga, dong!" pinta Lia kepada sang kakak ipar.
Bukan sambutan hangat yang didapat Lia melainkan kata-kata ketus dari sang kakak ipar yang sejujurnya memang kurang menyukainya.
"Nggak usah kepo! Urus aja diri kamu sendiri."
Lia cemberut. Ingin rasanya dia menjambak rambut Fika dari belakang tapi tidak berani.
Sampai didepan ruang rawat sang Ibu, Firman melihat Kalila yang tampak sedang asyik dengan ponselnya. Firman pun tersenyum. Kalila terlihat semakin cantik dengan tawa kecil yang sesekali menghiasi wajahnya.
"Lagi ngapain, Sayang?" tanya Firman sambil duduk disamping Kalila.
"Nonton acara komedi," jawab Kalila tanpa menoleh.
"Soal Mbak Fika tadi, Mas minta maaf, ya! Tolong, jangan dimasukkan ke dalam hati!"
Kalila mematikan ponselnya. Dia menghela napas panjang kemudian menatap Firman dengan senyuman sinis.
"Sampai kapan aku harus terus memaklumi perbuatan Kakak kamu, Mas?" tanya Kalila geram.
"Ya, kamu kan tahu kalau Mbak Fika orangnya memang begitu. Jadi, maklumi ajalah. Mbak Fika kan memang kayak anak kecil."
"Usia Mbak Fika sudah tiga puluh tiga tahun loh, Mas! Dia sudah cukup dewasa untuk bisa menilai mana yang bijak dan mana yang tidak. Lagipula, lama-lama aku juga muak sama kelakuan Mbak Fika. Sampai kapan dia akan terus memperlakukan aku seperti budak rendahan, hah?"
"Bersabarlah, Sayang!" kata Firman seraya mencoba untuk menggenggam tangan Kalila. Namun, wanita itu justru menepis tangan Firman dengan kasar.
"Bersabar?" Kalila kembali tersenyum sinis. "Kurang sabar apa lagi aku, Mas? Apa selama ini, sabarku masih belum cukup? Bahkan, kamu selingkuh pun, aku masih dipaksa bersabar."
"Maafkan, Mas. Mas benar-benar khilaf." Firman memelas.
"Sudahlah! Nggak perlu dibahas lagi. Nggak penting juga," kata Kalila sambil menghela tangannya ke udara.
Kalila kembali fokus dengan gawainya. Ia melanjutkan menonton acara komedi yang tadi sempat terjeda gara-gara kehadiran Firman.
Sementara, Firman tampak gelisah di tempat duduknya. Ia kebingungan untuk memulai dari mana harus mengutarakan niat sebenarnya pada Kalila.
"Mas masih mau ngomong sesuatu?" tanya Kalila setelah sepuluh menit berlalu.
"Eh, iya, Sayang," sahut Firman sedikit tersentak kaget.
"Ada apa, Mas?"
"Mas sebenarnya ingin meminta bantuan sama kamu."
"Bantuan? Bantuan apa?" tanya Kalila.
"Hmmmm... Gini..." Firman mulai gugup. "Kamu kan sekarang udah kerja. Otomatis, kamu sudah punya penghasilan sendiri, kan?"
"Oh, jelas," angguk Kalila.
"Mas boleh nggak, pakai uang kamu dulu buat bayarin biaya rumah sakit Ibu?"
Wanita itu diam sejenak. Sepersekian detik berikutnya, ia tersenyum lebar.
"Boleh."
Wajah Firman menjadi cerah seketika. Matanya berbinar dengan senyum lebar yang membuat aura ketampanannya semakin bertambah.
Dulu, karena senyuman manis itulah, Kalila bisa jatuh hati. Ia menganggap Firman memiliki hati yang tulus, setulus senyumannya. Tapi, sayang... Ternyata senyuman itu hanyalah kamuflase belaka untuk menyembunyikan betapa busuknya hati yang dia miliki.
"Kalau gitu, Mas boleh minta uangnya sekarang?" tanya Firman antusias.
"Boleh. Tapi, Mas Firman harus kasih aku barang jaminan."
Mata Firman seketika melotot. Senyumnya kembali luruh begitu saja.
"Barang jaminan? Kenapa harus pakai gituan segala, sih? Kamu nggak percaya sama Mas, Kalila?"
"Nggak," geleng Kalila dengan santainya.
"Astaga Kalila!! Mas ini suami kamu, loh."
"Mas lupa, kalau selama ini Mas udah banyak bohongi aku?"
Lelaki itu mengusap wajahnya kasar. Dia frustasi melihat Kalila yang semakin cerdas.
"Jangan lupa, hutang Mas yang dulu aja belum dibayar, loh."
"Berapa sih, hutang Mas itu? Nggak usah kamu ungkit-ungkit terus." Firman mulai terpancing emosi. Harga dirinya serasa dicabik-cabik ketika Kalila terus memprovokasi dirinya dengan mengingatkan tentang hutangnya di masa lalu.
"Kenapa Mas tanya? Mas mau bayar sekarang?" tantang Kalila.
"Ya. Mas akan bayar sekarang. Delapan puluh juta, kan?"
"No," geleng Kalila. "Aku nggak mau diganti dengan uang, Mas. Aku mau, Mas ganti dengan perhiasan emas juga."
"Mana bisa, Kalila! Sekarang, harga emas sudah melonjak naik. Mas rugi dong, kalau harus bayar pakai emas juga."
"Perjanjiannya kan memang seperti itu," ujar Kalila sembari mengendikkan bahunya.
"Jangan jadi istri durhaka, Kalila!" geram Firman marah.
"Istri durhaka? Bukannya, Mas Firman yang justru jadi suami durhaka? Masa' istri yang nggak pernah dinafkahi malah disuruh bayarin biaya rumah sakit mertua yang zalim juga, sih?"
"KALILA!" bentak Firman yang semakin tersulut emosi.
"Apa?" jawab Kalila. Ia sama sekali tak takut dengan suara keras Firman. Mentalnya sudah terlatih untuk menjadi perempuan yang bisa melindungi dirinya sendiri dari kezaliman pria dihadapannya itu.
"Kamu benar-benar sudah keterlaluan! Kalau kamu memang sudah tidak mau diatur, maka lebih baik kamu pergi saja! Tinggalkan rumahku!" ancam Firman.
"Baik. Aku akan pergi dari rumah kamu, Mas! Tapi, sebelum itu kamu harus membayar semua hutang kamu sama aku. Kalau nggak, maka siap-siap untuk mendekam di penjara!" Kalila balik mengancam.
"Mas nggak lupa, kalau Mas bisa aku penjarakan dengan pasal perselingkuhan juga, kan?"
Geligi Firman mulai beradu. Matanya melotot tajam menatap Kalila. Perempuan itu kini sudah benar-benar lepas dari kendalinya.
"Kamu..."
"Jangan pernah berani untuk mengancam aku, Mas! Karena yang seharusnya takut itu justru kamu!" potong Kalila. Ia memasukkan gawainya ke dalam tas kemudian berdiri untuk pergi meninggalkan rumah sakit.
"Mau kemana kamu?" tahan Firman.
"Pulang. Aku capek, pengen bobo cantik."
"Kok pulang, sih? Mas, Mbak Fika sama Lia aja nginap di sini, loh. Masa' kamu tega-teganya malah pulang sendiri? Nggak punya hati kamu."
"Aku memang udah nggak punya hati, Mas. Mau gimana lagi? Soalnya, hati aku sudah kamu bunuh berkali-kali."
Kata-kata itu menjadi penutup pembicaraan mereka. Kalila pergi sementara Firman tampak tertegun menatap punggung Kalila yang semakin menjauh.
Ada yang berdenyut nyeri didalam dada Firman ketika menyadari bahwa tatapan mata Kalila hanya mengandung kebencian. Cinta dan penghormatan yang diberi untuknya seolah sirna tak berbekas.
"Sial!" umpat Firman kesal. Ia meninju udara dengan tangan kirinya.
*
"Gimana, Man? Berhasil?" tanya Fika saat menghampiri sang adik yang tampak melamun.
"Gagal," jawab Firman singkat.
"Hah? Kok bisa?" tanya Fika terkejut.
"Aku juga nggak tahu, Mbak."
"Keterlaluan si Kalila! Mentang-mentang udah kerja, malah seenaknya begitu sama kita. Paling, berapa sih, gajinya? Sejuta? Dua juta Baru punya duit seuprit aja udah berasa punya duit ratusan juta."
"Udah, Mbak! Mending, Mbak diam! Aku pusing denger suara cempreng Mbak Fika!"
"Kamu kok malah kesal sama Mbak sih, Man?"
Firman menggelengkan kepalanya. Lihatlah! Sang kakak sepertinya akan mulai merajuk lagi.
Syukurlah yang akan membeli Kalila sendiri. pethiasan yang untuk modal usaha Firman ditagih sekalian,
Dia penjaja tubuh, dan modal rayuan harus bisa Firman, kamu ngerasa kan tak ada campur tangan Kalila kamu tidak bisa apa- apa, dan buka siapa- siapa. Nikmati saja toh itu pilihanmu, dulu miskin kembali miskin, pas kan. Itu tepat bagimu yg tak bisa bersyukur dan lupa kau jadi kaya darimana