Debi menuruni jalan setapak yang menuju rumahnya dengan langkah cepat. Matahari mulai tenggelam, memberi warna keemasan di langit dan menyinari tubuhnya yang lelah setelah perjalanan panjang dari Sarolangun. Hawa desa yang sejuk dan tenang membuatnya merasa sedikit lebih ringan, meskipun hatinya terasa berat. Liburan semester ini adalah kesempatan pertama baginya untuk pulang, dan meskipun ia merindukan rumah, ada rasa yang tidak bisa ia jelaskan setiap kali memikirkan Ovil.
Debi sudah cukup lama tinggal di Sarolangun, bersekolah di sana sejak awal tahun ajaran baru. Sekolah di kota jauh berbeda dengan kehidupan di desa yang sudah dikenalnya. Di desa, segalanya terasa lebih sederhana. Namun, setelah dua tahun menjalani kehidupan kota, ia merasa bahwa dirinya sudah mulai terbiasa dengan keramaian dan rutinitas yang cepat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Debi Andriansah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
keputusan berat
Hari-hari berlalu dengan perlahan, membawa Debi ke titik di mana ia harus mengambil keputusan besar tentang masa depannya. Meski hatinya masih berat, ia tahu ia tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Pandawa dan Ovil, serta rasa sakit yang masih terasa, bukanlah sesuatu yang bisa terus ia bawa dalam setiap langkah hidupnya.
Di Batam, Debi berusaha membangun hidup baru. Ia memutuskan untuk menempuh jalan yang lebih jauh lagi, mengerahkan semua energinya untuk fokus pada pekerjaan dan kehidupan baru yang penuh tantangan. Ia bekerja keras, mencoba menenggelamkan dirinya dalam rutinitas yang sibuk. Namun, meski terlihat sibuk, perasaan itu selalu menghantuinya. Setiap kali ia melihat pasangan lain, ia teringat pada Ovil, pada kenyataan bahwa ia pernah mencintai seseorang yang kini entah berada di mana.
Debi mencoba berteman dengan orang-orang baru di Batam. Namun, meskipun banyak yang datang dan pergi, tidak ada satu pun yang bisa menggantikan tempat Ovil dalam hatinya. Walau begitu, dia mencoba menghibur dirinya dengan berbagai kegiatan. Ia bergabung dalam komunitas pekerja seni, mencoba menemukan ruang untuk dirinya, meskipun dalam lubuk hatinya, ada keinginan untuk kembali.
Sementara itu, Ovil merasa bingung dengan pilihan-pilihannya. Pandawa telah memberikan kesempatan dan pengertian, namun hati Ovil masih sering teringat pada Debi. Semua yang terjadi antara mereka membuat Ovil merenung panjang. Ia merasa seperti seseorang yang telah mengorbankan kesempatan untuk kebahagiaan sejati demi menjaga komitmen yang ia buat dengan Pandawa. Namun, Ovil juga merasa bersalah terhadap Pandawa. Ia tahu bahwa dia tidak bisa terus memaksakan dirinya untuk berada dalam hubungan yang tak sepenuhnya ia inginkan.
Suatu hari, Ovil memutuskan untuk menghubungi Debi. Keputusan itu datang begitu saja, tanpa peringatan. Hatinya ragu, namun ia tahu bahwa ia harus berbicara dengan Debi dan menyelesaikan semuanya, tidak peduli betapa sulitnya. Ia menulis pesan singkat kepada Debi, berharap dia masih mau mendengarkan.
Pesan Ovil: "Debi, aku tahu ini mungkin sudah terlambat, tapi aku ingin bicara. Aku masih memikirkanmu, dan aku rasa kita harus menyelesaikan semuanya. Aku nggak bisa terus hidup dengan perasaan ini, baik untukmu, maupun untuk Pandawa. Aku ingin kita jujur satu sama lain."
Pesan itu membuat Debi terhenyak. Beberapa menit setelah membaca pesan itu, hatinya berdebar-debar, pikirannya bercampur aduk. Tiga bulan sudah berlalu sejak ia pergi ke Batam, dan perasaan terhadap Ovil belum juga pudar. Sungguh, dia merindukan Ovil, tapi apakah dia siap untuk membuka hatinya lagi?
Debi berpikir sejenak, sebelum akhirnya memutuskan untuk membalas pesan itu.
Balasan Debi: "Ovil, aku juga masih sering memikirkan kita, tapi aku nggak ingin kita berakhir dengan cara yang sama lagi. Jika kamu benar-benar merasa bahwa hubunganmu dengan Pandawa tak bisa berjalan, mungkin kita bisa bicara. Tapi aku nggak mau terjebak lagi dalam hubungan yang hanya setengah hati."
Ovil membaca balasan Debi dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia merasa lega bisa berbicara dengan Debi, tetapi di sisi lain, ia tahu bahwa ia harus membuat pilihan yang lebih besar. Perasaan Ovil terhadap Debi memang tidak bisa hilang, namun ia juga tidak ingin menyakiti Pandawa lebih jauh lagi. Itu adalah keputusan yang akan mengubah banyak hal, dan Ovil tahu bahwa apapun yang terjadi, ia harus bertanggung jawab.
Hari itu, Ovil mengajak Debi untuk bertemu di sebuah taman yang dulu sering mereka kunjungi. Tempat itu menyimpan banyak kenangan indah, namun kini menjadi simbol dari masa lalu yang belum selesai. Debi datang dengan hati yang penuh pertanyaan. Apakah ini akhir dari segala sesuatunya? Ataukah ini awal dari sebuah perjalanan baru?
Di bawah pohon rindang tempat mereka duduk berdua, Ovil memulai percakapan.
"Ovil, aku tahu ini berat. Aku juga nggak tahu harus mulai dari mana," kata Debi, suara gemetar meski ia berusaha tenang.
"Aku juga sama," jawab Ovil. "Aku nggak ingin terus hidup dalam kebingungan. Aku harus jujur dengan diriku sendiri, dan aku tahu, aku nggak bisa terus hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Aku mencintaimu, Debi, dan aku rasa kita berdua masih punya kesempatan untuk saling bahagia, meski dengan jalan yang berbeda."
Debi mengangguk perlahan, menahan air mata yang hampir menetes. "Tapi, Ovil... aku nggak ingin menjadi pilihan kedua. Jika kamu benar-benar mencintaiku, aku ingin kamu berjuang untuk kita. Aku nggak mau jadi pelarian."
Ovil menatap Debi dengan penuh penyesalan. "Aku tahu aku sudah membuat kesalahan besar. Aku nggak ingin kamu merasa seperti itu. Pandawa adalah orang yang baik, tapi hatiku... hatiku selalu denganmu, Debi."
Debi menundukkan kepala, berusaha mencerna setiap kata yang diucapkan Ovil. "Kamu sudah memilih Pandawa, Ovil. Kamu sudah membuat pilihanmu, dan aku nggak bisa mengubah itu."
"Tapi aku sudah memutuskan, Debi," kata Ovil, dengan suara penuh keyakinan. "Aku akan berjuang untukmu, untuk kita."
Debi merasa hatinya berat, namun ada secercah harapan yang tumbuh kembali. Mungkin, hanya mungkin, mereka bisa membangun kembali apa yang pernah mereka miliki, tetapi kali ini dengan kejujuran dan perjuangan yang lebih besar.
"Aku nggak bisa langsung menerima semua ini, Ovil. Aku butuh waktu, dan aku harap kamu bisa mengerti itu."
Ovil mengangguk, meski hatinya penuh rasa cemas. "Aku akan menunggumu, Debi. Aku tahu ini nggak mudah, tapi aku siap menunggu."
Mereka duduk diam untuk beberapa saat, meresapi keheningan yang ada. Debi tahu bahwa perjalanan mereka tidak akan mudah, tetapi setidaknya, mereka kini bisa memulai lagi dengan langkah yang lebih pasti.
---
Bab ini menandakan titik balik dalam hubungan Debi dan Ovil. Meski keduanya masih terikat pada masa lalu, mereka kini berusaha untuk menghadapi kenyataan dan mencari jalan untuk kebahagiaan mereka. Namun, perjalanan mereka tentu tidak akan mudah, dan keputusan yang mereka buat akan menentukan masa depan mereka.