NovelToon NovelToon
Please! Don'T Be My Boyfriend

Please! Don'T Be My Boyfriend

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen / Cintapertama / Cintamanis / Teen Angst / Cinta pada Pandangan Pertama / Idola sekolah
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: Adzalziaah

"Ayo kita pacaran!" Ryan melontarkan kata-kata tak pernah kusangka.

"A-apa?" Aku tersentak kaget bukan main.

"Pacaran." Dengan santainya, dia mengulangi kata itu.

"Kita berdua?"

Ryan mengangguk sambil tersenyum padaku. Mimpi apa aku barusan? Ditembak oleh Ryan, murid terpopuler di sekolah ini. Dia adalah sosok laki-laki dambaan semua murid yang memiliki rupa setampan pangeran negeri dongeng. Rasanya aku mau melayang ke angkasa.

Padahal aku adalah seorang gadis biasa yang memiliki paras sangat buruk, tidak pandai merawat diri. Aku juga tidak menarik sama sekali di mata orang lain dan sering menjadi korban bully di sekolah. Bagaimana Ryan bisa tertarik padaku?

Tidak! Aku akan menolaknya dengan keras!!!

[update setiap hari 1-2 bab/hari]

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adzalziaah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 10 | Godaan Ryan

Ryan mempersilakan aku untuk melihat kucing-kucing dalam kardus itu. Dadaku terasa hangat karena kucing-kucing kecil itu lahir dengan selamat dan induk kucingnya juga tampak sehat.

“Ryan, apa aku boleh membawa induk dan anak-anak kucing ini pulang?” tanyaku dengan suara pelan, sedikit malu, sambil memandang kucing-kucing yang masih berada di kardus depan rumahnya.

Mereka tampak menggemaskan, dengan mata besar dan tubuh mungil yang menggerakkan hatiku.

Ryan yang sedari tadi memperhatikan dengan ekspresi santai, mendekatkan wajahnya ke kardus itu, seolah sedang berpikir. Aku bisa melihat bagaimana matanya bersinar sedikit. Ryan mengangkat alisnya, tersenyum lebar.

“Tentu! Tapi dengan satu syarat,” jawabnya, matanya menyiratkan gurauan yang sulit untuk kuabaikan.

Aku merasa seolah ada sesuatu yang tersembunyi dalam kata-katanya itu, tapi aku tetap menantinya dengan penuh rasa ingin tahu. Aku memandangnya bingung, menunggu kelanjutannya.

“Apa?” tanyaku, sedikit khawatir apa yang akan dia ajukan sebagai syarat.

Ryan menatapku dengan serius sejenak, lalu tersenyum penuh percaya diri.

“Kamu harus mau satu kelompok fisika denganku dan Edo,” katanya dengan santai.

Aku terdiam sesaat. Syarat itu terdengar sangat sederhana, tetapi ada sesuatu yang aneh tentang cara dia mengatakannya. Fisika adalah pelajaran yang selalu membuatku pusing. Aku memang tidak buruk dalam pelajaran itu, tapi tidak juga terlalu jago.

Tapi kucing-kucing kecil itu, aku menatap mereka lagi memang sangat menggemaskan. Aku ingin merawat mereka. Aku ingin memberikan tempat yang lebih baik untuk mereka.

Aku tahu, membawa mereka pulang bukanlah keputusan yang bisa aku sesali. Lagipula, mengerjakan tugas fisika bersama Ryan mungkin tidak akan terlalu buruk, bukan? Aku menarik napas dalam-dalam, merasa sedikit cemas, tapi pada saat yang sama juga merasa ada sesuatu yang menyenangkan di dalam hatiku.

“Iya ... baiklah,” jawabku akhirnya, merasa seolah tak punya pilihan lain selain menerima tawarannya.

Ryan langsung melompat kegirangan.

“Yes!” dia berseru dengan penuh semangat, membuatku terkejut.

Matanya berkilau cerah, sepertinya dia benar-benar senang. Aku tak menyangka reaksinya akan kekanak-kanakan seperti itu. apakah itu yang disebut orang-orang dengan ‘salting’?

Aku tertawa kecil, sedikit canggung, sambil memandang wajahnya yang penuh rasa bahagia.

“Ja-jadi ... kapan kita bisa mulai mengerjakan tugas itu?” tanyaku, mencoba meredakan rasa canggung yang tiba-tiba muncul dalam diriku.

Tugas fisika ini memang cukup mengganggu pikiranku, apalagi sebelumnya aku belum mendapatkan teman satu kelompok.

“Besok! Lebih cepat, lebih baik,” jawab Ryan tanpa ragu, wajahnya terlihat bersemangat.

Aku mengangguk pelan dan tersenyum padanya.

“Baiklah, kalau begitu. Terima kasih, Ryan.”

“Tolong jaga kucing-kucing itu dengan baik. Sampai jumpa besok di sekolah,” kata Ryan berpamitan padaku.

“Iya.”

Setelah percakapan itu, aku membawa kucing-kucing itu pulang. Kardus kecil itu terasa ringan di tanganku, meskipun hatiku penuh dengan perasaan campur aduk. Begitu sampai di rumah, aku segera menyiapkan tempat tidur sementara untuk mereka.

Rumahku cukup sepi. Kedua orang tuaku bekerja di luar negeri, aku hanya tinggal seorang diri di rumah besar yang terasa sangat kosong tanpa kehadiran mereka.

Aku mengambil sepotong ikan goreng yang baru saja aku masak dan meletakkannya di atas piring kecil. Membiarkan induk kecil itu memakannya sampai lahap. Dengan gemas, aku menyuapkan sedikit kepada anak-anak kucing itu.

“Makan yang banyak, ya ...” ucapku dengan suara lembut, tak kuasa menahan rasa sayang terhadap mereka.

Kucing-kucing itu makan dengan lahap, sementara aku duduk di dekat mereka, memandangi mereka yang tampak begitu lucu dan tak bersalah. Mereka tak tahu apa-apa tentang dunia yang lebih besar di luar sana. Mereka hanya tahu satu hal, mereka sudah mendapatkan tempat yang aman. Aku merasa sangat bersyukur bisa memberikan tempat itu.

...»»——⍟——««...

Keesokan harinya, aku berangkat sekolah seperti biasa, dengan langkah yang agak berat. Aku berjalan menunduk, mencoba menghindari pandangan orang-orang yang sepertinya selalu memperhatikanku. Rasanya setiap langkahku disorot, setiap gerakanku menjadi pusat perhatian.

Yang paling aku hindari adalah tatapan tajam Isabella. Dia memandangku seolah sedang menghakimi, atau mungkin menunggu saat yang tepat untuk menerkamku.

Aku berusaha menepis perasaan tidak nyaman itu. Aura, si gadis yang terkesan pendiam dan selalu canggung di tengah keramaian telah menjadi pusat perhatian satu sekolah mulai hari ini.

“Selamat pagi, sayang …” Ryan datang dari belakangku, tiba-tiba menggandeng tanganku dan berjalan bersamaku memasuki ruang kelas.

Aku langsung membeku. Tangan Ryan yang menggenggam tanganku terasa hangat, aku bisa merasakan degup jantungku yang meningkat.

“Ry-Ryan.” Aku tampak kaget dengan perilakunya itu.

Kenapa tiba-tiba dia begitu dekat dan terang-terangan seperti ini? Aku belum siap dengan hal semacam ini.

“Kenapa?” tanya Ryan heran, melihat reaksiku yang mungkin sedikit berlebihan.

“Berhenti menyebutku sayang … aku tidak suka!” ucapku dengan cepat, berusaha mengalihkan perhatian dari tatapan teman-teman yang sepertinya sedang memperhatikan kami.

Ryan justru tersenyum lebar, seolah menikmati kebingunganku. “Kamu tidak suka dipanggil sayang? Tenang, aku punya list kata untuk memanggilmu. Ada Ayang, Baby, Darling, Honey …”

“Stop! Berhenti!” Aku merasa muak dengan ucapannya. Ini sudah keterlaluan, rasanya seperti sebuah lelucon yang tidak lucu sama sekali.

Aku hanya ingin menjalani hari-hariku dengan normal tanpa harus merasa seperti pusat perhatian karena perlakuannya. Aku langsung memasuki kelas dan duduk di bangkuku, mencoba menenangkan diri. Aku memandang ke luar jendela, menghindari kontak mata dengan siapa pun.

Semua yang dilakukan Ryan terasa seperti gangguan bagiku. Tidak tahu kenapa, aku merasa risih. Aku hanya ingin hidup tenang tanpa harus merasa seperti dia memaksaku untuk jadi bagian dari dunianya yang kacau itu.

“Kamu kenapa, Aura?” Ryan tiba-tiba duduk di sampingku, memandangku dengan tatapan penuh perhatian.

Aku menghela napas panjang.

“Ingat, kita belum menjalin hubungan pacar atau apalah itu … jadi, berhenti mengusikku!” aku sedikit berbisik padanya, berharap dia mengerti tanpa harus membuat masalah yang lebih besar.

“Ups!” Kaila melewati kami berdua sambil berkata, “Planet sudah upgrade dari global warming ke global boiling. Sebentar lagi, global air frying, lalu global deep frying. Panas sekali …” Dia terkekeh, seolah itu lelucon yang sangat lucu.

Ryan menatapnya dengan tatapan aneh. “Dasar, orang gila!” katanya dengan memasang wajah kesal.

Aku hanya bisa menatap Ryan dengan frustrasi. “Yang gila itu kamu, Ryan,” pikirku dalam hati.

Aku hanya ingin menjalani hari seperti biasa. Tapi entah kenapa, kehadirannya membuat semuanya terasa rumit. Kenapa dia tidak bisa mengerti bahwa aku tidak siap dengan hubungan yang dia ingin jalani, apalagi dengan cara yang seperti ini?

Aku menunduk, memfokuskan perhatian pada buku pelajaran di depan meja. Tangan kanan yang menggenggam pulpen terasa gemetar. Tidak tahu kenapa, aku merasa terjebak dalam permainan yang tidak pernah aku minta.

Ryan, dengan segala keceriaan dan sikap manisnya, malah membuatku merasa semakin bingung. Aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya. Mungkin, dia hanya ingin bermain-main, atau mungkin dia benar-benar serius. Tapi aku … aku merasa tidak tenang. Aku hanya ingin menjalani hari-hari yang tenang tanpa adanya drama tambahan.

...»»——⍟——««...

1
Cevineine
Semangat thorr, mampir2 yaa😁
Zanahhan226: Halo..
Aku membuat sebuah karya berjudul "TRUST ME" di MangaToon, mohon dukungannya ya!
total 1 replies
Anonymous
akhirnya yang ditunggu2
ADZAL ZIAH: iya ❤
total 1 replies
diann
kenapa novelnya selalu dimulai dari penolakan?
ADZAL ZIAH: he he he 😆
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!