seorang gadis "bar-bar" dengan sikap blak-blakan dan keberanian yang menantang siapa saja, tak pernah peduli pada siapa pun—termasuk seorang pria berbahaya seperti Rafael.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lince.T, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
jejak di balik Bayangan
Fajar menyingsing perlahan, tetapi ketegangan di rumah aman itu tidak mereda. Liana terbangun lebih awal dari biasanya, masih terpengaruh oleh percakapan dengan Rafael semalam. Ada sesuatu yang berubah dalam dirinya, meskipun dia belum bisa menjelaskan apa itu.
Di ruang tamu, Rafael sudah duduk dengan laptop di depannya, wajahnya serius menatap layar. Beberapa anak buahnya berdiri di sekitar meja, membahas peta digital yang menampilkan lokasi-lokasi penting di sekitar rumah.
“Apa yang lo lakukan pagi-pagi begini?” tanya Liana sambil menguap, mencoba terdengar santai meskipun sebenarnya dia merasa cemas.
Rafael menoleh sekilas. “Kita perlu mempercepat langkah. Lawan kita sudah semakin dekat, dan aku tidak mau menunggu sampai mereka menyerang lagi.”
Liana berjalan mendekat, penasaran. “Lo nemu sesuatu?”
Rafael menunjuk layar laptopnya. “Ini rekaman kamera malam tadi. Mereka memang menguji kita, tapi aku rasa itu hanya umpan. Sebenarnya mereka ingin kita fokus di sini, sementara mereka merencanakan sesuatu di tempat lain.”
“Seperti apa?”
“Seseorang dari pihak mereka sudah mulai bergerak ke arah keluargamu,” jawab Rafael serius.
Kalimat itu membuat Liana membeku. Dia memang tidak terlalu dekat dengan keluarganya, tetapi mendengar mereka menjadi target membuatnya panik.
“Lo nggak serius, kan?”
“Aku serius, Liana,” kata Rafael, menatap matanya lekat-lekat. “Mereka tahu bahwa menyerang keluargamu akan membuatmu kehilangan keseimbangan. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi.”
---
Beberapa jam kemudian, Rafael memutuskan untuk memindahkan Liana ke lokasi yang lebih aman. Namun, sebelum mereka berangkat, dia memberi perintah kepada anak buahnya untuk menjaga rumah keluarga Liana dengan ketat.
“Kita harus berhati-hati,” kata Rafael sambil memeriksa senjatanya. “Mereka mungkin sudah mengawasi setiap langkah kita.”
Liana yang duduk di kursi belakang mobil hanya bisa diam. Ada banyak pertanyaan yang memenuhi kepalanya, tetapi dia tidak tahu harus mulai dari mana.
“Rafael,” panggilnya pelan saat mobil melaju meninggalkan rumah aman.
Rafael yang duduk di depan hanya menoleh sedikit. “Ada apa?”
“Kenapa lo mau repot-repot bantu gue? Maksud gue, lo bisa aja biarin gue pergi dan nggak usah terlibat.”
Rafael menghela napas panjang, seperti sudah mempersiapkan diri untuk pertanyaan itu. “Aku pernah kehilangan seseorang karena aku memilih untuk tidak bertindak. Itu adalah kesalahan terbesar dalam hidupku, dan aku tidak akan mengulanginya lagi.”
Jawabannya membuat Liana terdiam. Meski dia ingin tahu lebih banyak, dia merasa itu bukan saat yang tepat untuk memaksa Rafael membuka diri.
---
Ketika mereka tiba di lokasi baru—sebuah vila tersembunyi di luar kota—Rafael langsung memeriksa keamanannya. Vila itu jauh lebih besar daripada rumah aman sebelumnya, dengan pagar tinggi dan kamera pengawas di setiap sudut.
“Di sini lebih aman,” kata Rafael saat mereka masuk ke dalam.
Liana melihat-lihat sekeliling, mencoba mencari sesuatu yang bisa mengalihkan pikirannya dari kekhawatiran. Namun, suasana vila yang sepi justru membuat pikirannya semakin kacau.
“Apa kita akan tinggal di sini lama?” tanyanya akhirnya.
“Sejauh ini, kita tidak punya pilihan lain,” jawab Rafael sambil mengecek ponselnya. “Tapi aku sudah mengatur agar timku memantau perkembangan di luar. Jika ada tanda-tanda bahaya, kita akan tahu lebih dulu.”
Liana mengangguk pelan, meski rasa tidak nyaman itu tetap ada.
---
Malam harinya, saat Rafael sedang sibuk berbicara dengan anak buahnya di ruang tamu, Liana memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar vila. Dia merasa terlalu gelisah untuk hanya duduk diam.
Di taman belakang, dia menemukan ayunan tua yang sudah sedikit berkarat. Dia duduk di sana, membiarkan angin malam menyentuh wajahnya.
“Kenapa hidup gue jadi serumit ini?” gumamnya, berbicara pada dirinya sendiri.
Namun, sebelum dia bisa tenggelam lebih dalam dalam pikirannya, suara langkah kaki mendekat. Liana menoleh dan melihat Rafael berdiri di belakangnya.
“Kenapa di luar sendirian?” tanya Rafael, nada suaranya lembut.
“Gue cuma butuh udara segar,” jawab Liana sambil tersenyum tipis. “Lo tahu kan, gue nggak biasa terkurung kayak gini.”
Rafael berjalan mendekat dan duduk di sampingnya di ayunan yang lain. “Aku tahu. Tapi aku butuh kau untuk tetap aman. Mereka masih memburumu, dan kita belum tahu kenapa.”
“Mungkin karena gue terlalu bar-bar?” seloroh Liana, mencoba mencairkan suasana.
Rafael tersenyum kecil, tetapi tatapannya tetap serius. “Apapun alasannya, aku tidak akan membiarkan mereka menyentuhmu.”
Untuk pertama kalinya, Liana merasakan sesuatu yang aneh di dadanya. Kata-kata Rafael terdengar seperti janji yang tidak bisa dia abaikan begitu saja.
“Tapi Rafael,” katanya pelan, “sampai kapan kita bisa bertahan seperti ini?”
“Selama yang dibutuhkan,” jawab Rafael tanpa ragu.
Liana menatapnya dalam-dalam. Ada sesuatu dalam cara Rafael berbicara yang membuatnya merasa aman, meski dia tahu bahaya masih mengintai di luar sana.
Malam itu, mereka duduk di ayunan hingga larut malam, berbicara tentang banyak hal—tentang masa lalu, ketakutan, dan harapan. Di balik semua kekacauan, mereka mulai menemukan kenyamanan dalam kehadiran satu sama lain.
Namun, di tempat lain, seseorang sedang merencanakan langkah berikutnya. Lawan mereka tidak akan berhenti sampai tujuannya tercapai, dan waktu terus berjalan.Saat Rafael dan Liana kembali ke dalam vila, malam sudah semakin larut. Angin dingin menyelinap melalui jendela yang sedikit terbuka, membawa keheningan yang tidak biasa. Namun, keheningan itu bukanlah tanda bahwa semuanya aman.
Rafael kembali ke ruang tamu, memeriksa ponselnya untuk laporan terbaru dari anak buahnya. Dia membaca sebuah pesan singkat yang membuat wajahnya semakin serius.
"Mereka mulai bergerak lebih dekat," gumamnya.
Liana yang baru saja masuk ke ruang tamu langsung mendekat. "Apa yang lo maksud dengan 'lebih dekat'?" tanyanya, suaranya sedikit bergetar.
"Mereka mengirim orang untuk menyusup ke lokasi-lokasi yang kita tinggalkan," jawab Rafael sambil menunjukkan peta digital di ponselnya. "Tapi ada sesuatu yang aneh. Mereka terlihat seperti sengaja membiarkan jejak mereka ditemukan."
Liana mengernyitkan dahi. "Maksud lo, mereka mau kita tahu?"
Rafael mengangguk. "Ini seperti jebakan. Mereka ingin aku lengah dan keluar dari persembunyian."
“Jadi, apa rencana lo sekarang?”
Rafael menatap Liana, matanya tajam tapi penuh ketenangan. “Aku tidak akan bermain sesuai aturan mereka. Kali ini, kita yang akan memimpin permainan.”
Meskipun merasa cemas, Liana mulai memahami pola pikir Rafael. Di balik sikap dinginnya, pria itu sangat teliti dan penuh perhitungan.
Namun, dalam hatinya, Liana tahu bahwa perang ini tidak hanya tentang strategi. Semakin lama mereka bersama, semakin besar ketergantungan mereka satu sama lain—dan itu justru membuat segalanya lebih berisiko.Liana menatap Rafael, merasa campuran antara kagum dan takut. “Kalau begitu, ayo kita buat mereka menyesal,” katanya tegas.
Rafael tersenyum tipis, “Kita akan buat mereka tahu siapa yang berkuasa.”