Ji An Yi adalah seorang gadis biasa yang mendapati dirinya terjebak di dalam dunia kolosal sebagai seorang selir Raja Xiang Rong. Dunia yang penuh dengan intrik, kekuasaan, dan cinta ini memaksanya untuk menjalani misi tak terduga: mendapatkan Jantung Teratai, sebuah benda mistis yang dapat menyembuhkan penyakit mematikan sekaligus membuka jalan baginya kembali ke dunia nyata.
Namun, segalanya menjadi lebih rumit ketika Raja Xiang Rong-pria dingin yang membencinya-dan Xiang Wei, sang Putra Mahkota yang hangat dan penuh perhatian, mulai terlibat dalam perjalanan hidupnya. Di tengah strategi politik, pemberontakan di perbatasan, dan misteri kerajaan, Ji An terjebak di antara dua hati yang berseteru.
Akankah Ji An mampu mendapatkan Jantung Teratai tanpa terjebak lebih dalam dalam dunia penuh drama ini? Ataukah ia justru akan menemukan sesuatu yang lebih besar dari misi awalnya-cinta sejati yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vanilatin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 13
Ji An, dengan tangan terampilnya, sedang mempersiapkan sarapan untuk Raja Xiang Rong. Wajahnya serius, fokus pada masakannya, sementara Lin Li berdiri di dekatnya, membantu mengambil bahan-bahan yang dibutuhkan. Aroma harum dari bubur ayam yang ia buat memenuhi ruangan, menarik perhatian beberapa pelayan yang lewat.
Namun, suasana dapur yang tenang berubah ketika seorang pria masuk dengan langkah santai. Semua pelayan di ruangan itu berhenti bekerja sejenak, membungkuk dalam-dalam saat menyadari siapa yang datang.
“Yang Mulia Putra Mahkota,” ucap salah satu pelayan dengan nada hormat.
Ji An terkejut mendengar nama itu, tetapi ia berusaha tetap tenang. Ia mendongak, dan benar saja, Xiang Wei berdiri di ambang pintu dapur dengan senyum khasnya yang hangat.
“Aku tidak menyangka akan menemukanmu di sini, Selir Ji An Yi,” katanya dengan nada ringan. Matanya menyapu ke arah masakan di depannya. “Kau bangun sepagi ini hanya untuk memasak?”
Ji An meletakkan sendok kayu di tangannya dan membungkuk hormat. “Yang Mulia, hamba hanya mencoba menyiapkan sesuatu untuk Raja. Tidak ada yang istimewa.”
Xiang Wei mendekat, melewati para pelayan yang segera memberi jalan. Ia melihat bubur ayam yang sedang dimasak Ji An dan tersenyum kecil. "Wah masakan mu terlihat mengoda apa,aku bisa mencicipi nya?"
Ji An menatap Xiang Wei dengan bingung, tetapi ia tetap menjaga sikap sopannya. “Yang Mulia, ini disiapkan khusus untuk Raja. Hamba tidak yakin apakah pantas membiarkan Anda mencicipinya terlebih dahulu.”
Xiang Wei tertawa kecil, nadanya lembut namun penuh keyakinan. “Aku tidak akan mengambil banyak, hanya sedikit. Lagipula, bukankah aku juga bagian dari keluarga kerajaan? Jangan khawatir, aku tidak akan mengatakan apa-apa pada Xiang Rong.”
Lin Li, yang berdiri di sisi Ji An, berbisik cemas, “Nona, apa tidak apa-apa?”
Ji An menghela napas pelan. Ia tahu menolak Putra Mahkota secara langsung bisa dianggap tidak sopan. Dengan ragu, ia mengambil sendok dan menuangkan sedikit bubur ke dalam mangkuk kecil.
“Silakan, Yang Mulia,” katanya sambil menyerahkan mangkuk itu.
Xiang Wei menerimanya dengan senyuman hangat. Ia mencicipi bubur itu perlahan, menikmati setiap gigitan. Wajahnya berubah menjadi puas. “Rasanya luar biasa. Xiang Rong benar-benar tidak tahu betapa beruntungnya dia.”
Ji An hanya menunduk, tidak tahu harus menanggapi bagaimana.
Setelah beberapa saat, Xiang Wei meletakkan mangkuknya di meja dan mendekati Ji An sedikit lebih dekat, membuatnya merasa sedikit gugup. “Kau tahu, Ji An Yi, aku bisa saja membawamu ke tempat di mana usahamu tidak akan diabaikan. Kau tidak perlu terus-menerus berusaha untuk seseorang yang tidak menghargaimu.”
Kata-kata itu membuat Ji An terkejut. Ia menatap Xiang Wei, mencoba memahami maksudnya.
“Yang Mulia, apa maksud Anda?” tanyanya dengan nada hati-hati.
Xiang Wei tersenyum kecil, matanya memancarkan sesuatu yang sulit dijelaskan. “Tidak ...maksud ku...apa aku bisa mendapatkan makanan enak ini lagi kapan kapan?"
Ji An sedikit terkejut mendengar perubahan mendadak dalam kata-kata Xiang Wei. Awalnya ia berpikir ada maksud tersembunyi di balik ucapannya, tetapi ternyata nada santai itu mengubah suasana.
“Yang Mulia, jika Anda menginginkannya, hamba tentu bisa membuatkannya lagi,” jawab Ji An sambil menunduk. Meski demikian, ia masih merasa bingung dengan sikap Xiang Wei yang sering kali sulit ditebak.
Xiang Wei tertawa kecil, nada tawanya ringan, namun tetap memancarkan kehangatan. “Baiklah, Ji An Yi. Kalau begitu, aku akan menantikan masakanmu berikutnya. Masakanmu tidak hanya lezat, tetapi juga dibuat dengan hati. Itu adalah kelebihan yang tidak mudah ditemukan.”
Ji An tersenyum tipis, tetapi tetap menjaga jarak. “Hamba bersyukur jika masakan ini berkenan di hati Anda, Yang Mulia.”
Xiang Wei menatapnya sejenak, lalu mengangguk perlahan sebelum akhirnya berbalik pergi, meninggalkan dapur dengan langkah santai seperti biasanya.
Lin Li, yang menyaksikan percakapan itu dari sisi ruangan, mendekati Ji An setelah Xiang Wei pergi. “Nona, Putra Mahkota benar-benar berbeda. Apa Anda tidak merasa aneh dengan sikapnya?”
Ji An menghela napas dan menatap mangkuk bubur yang masih tersisa di meja. “Terkadang, aku tidak tahu apa yang dia pikirkan. Tapi aku harus tetap fokus. Aku ada di sini bukan untuk Xiang Wei.”
Namun, jauh di lubuk hatinya, Ji An tahu bahwa interaksi dengan Xiang Wei meninggalkan sesuatu yang tak bisa ia abaikan begitu saja.
Setelah selesai memasak, Ji An segera membawa bubur buatannya ke ruang kerja Raja Xiang Rong. Ketika ia masuk, Raja Xiang Rong hanya meliriknya sekilas dengan ekspresi datar, seolah sudah tidak peduli dengan kehadirannya.
“Seperti biasa, letakkan saja di sana,” ujar Raja Xiang Rong, menunjuk meja kerjanya tanpa melihat langsung ke arah Ji An. “Aku tidak punya waktu untuk meladeni tingkahmu.”
Ji An mengangguk patuh, lalu dengan hati-hati meletakkan nampan berisi bubur di atas meja kerja Raja.
Setelah menyelesaikan tugasnya, Ji An berdiri sejenak, matanya menyapu ruangan. Suasana ruang kerja Raja Xiang Rong terasa sejuk dan nyaman, meski terlihat berantakan. Beberapa gulungan kertas berserakan di lantai, menandakan bahwa sang Raja mungkin sedang sibuk mencari sesuatu hingga lupa menatanya kembali.
Dengan langkah pelan, Ji An mendekati tumpukan kertas di lantai, lalu mulai merapikannya satu per satu. Ia melakukannya tanpa suara, berusaha tidak mengganggu pekerjaan Raja Xiang Rong.
Raja Xiang Rong, yang menyadari tindakan Ji An, berhenti sejenak dari pekerjaannya dan menatapnya dengan pandangan tajam. Namun, ia tidak mengatakan apa-apa, hanya kembali fokus pada dokumen-dokumennya, membiarkan Ji An melakukan apa yang ia inginkan.
Ji An merasa sedikit lega melihat Raja Xiang Rong tidak melarangnya. Ia menganggap ini sebagai kesempatan kecil untuk menunjukkan bahwa ia bisa berguna di istana, meski hanya dengan hal sederhana seperti merapikan ruang kerja.
Ketika Ji An selesai merapikan beberapa gulungan kertas, ia mengambil selembar dokumen yang tampak penting dan meletakkannya di atas meja kerja Raja dengan hati-hati. “Yang Mulia, hamba hanya ingin membantu agar Anda dapat bekerja lebih nyaman,” ucapnya lembut.
Raja Xiang Rong mengangkat alis, menatap Ji An dengan ekspresi yang sulit ditebak. “Aku tidak memintamu melakukan ini,” ujarnya dingin. “Tapi jika kau sudah selesai, pergilah. Aku tidak butuh gangguan lebih.”
Ji An menunduk hormat. “Baik, Yang Mulia.”
Namun, sebelum ia keluar dari ruangan, Ji An melirik Raja Xiang Rong sekilas, berharap bisa melihat secercah penghargaan di matanya. Sayangnya, tatapan sang Raja tetap sama—dingin dan tak tersentuh.
Di luar ruang kerja, Ji An menghela napas panjang. Ia tahu ini tidak akan mudah, tetapi ia tidak akan menyerah. Meskipun Raja Xiang Rong terus membangun tembok di antara mereka, Ji An percaya bahwa suatu hari usahanya akan membuahkan hasil.