NovelToon NovelToon
Kau Campakkan Aku, Kunikahi Abangmu

Kau Campakkan Aku, Kunikahi Abangmu

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Dikelilingi wanita cantik / Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Cinta Murni / Si Mujur
Popularitas:5.9k
Nilai: 5
Nama Author: Layli Dinata

Hubungan Inara dan Artha harus kandas karena perselingkuhan Artha. Padahal mereka sudah mau menikah.

Malu pernikahan batal, Inara terpaksa menyetujui perjanjian dengan Argha, kakak Artha demi untuk membalas Artha dan tidak mempermalukan orang tuanya.

Inara kalah dengan perasaannya. Ia jatuh cinta pada suaminya yang misterius. Hanya saja, dendam Argha membuat Inara merasa rendah diri. Dan godaan Artha selalu datang pada mereka.

Akankah Argha dan Inara bisa bersatu, atau masa lalu Argha akan terus membuat jarak di antara mereka dan memilih berpisah demi kebaikan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Layli Dinata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab. 9 Berkah atau Petaka?

Inara duduk di sofa, sambil meraih remot TV. Dalam hati masih terus memutar begitu banyak pertanyaan, apa lagi mengenai Argha.

Entahlah, ia harus senang atau waswas dengan kebaikan bosnya ini. Semenjak kejadian kecelakaan kemarin itu, Argha menjadi sering memperhatikannya. Tidak seperti Argha yang ketus dan cuek.

‘Padahal, Mas Artha saja tidak pernah seperti ini sama gue. Itu Pak Argha ketempelan setan apa, ya?’ batin Inara.

Mata Inara mengedar pada penjuru ruangan. Ia melihat sebuah foto keluarga. Di mana sepasang suami istri dan satu anak kecil, sekitar berusia dua tahunan. Inara menebak, jika itu adalah Argha, begitu sangat mirip, hidungnya besar dan lurus, sangat mancung dengan rambut hitam dan senyuman yang sangat menawan.

Inara menoleh pada Arga, lantas perlahan mendekati bingkai foto itu.

“Ah, iya. Ini Pak Pak Argha, soalnya ini Pak Alan.” Senyum Inara melebar. “Ternyata, sejak kecil dia memang sudah setampan ini.”

Inara menyipitkan mata saat melihat sosok wanita yang sedang memangku Argha. “Kok kaya bukan Bu Della ya? Siapa ya?”

Inara masih berpikir keras. Mengenai ini. Namun, detik berikutnya ia meletakkan kembali bingkai foto tersebut di atas meja. “Keknya gue jangan banyak nanya dulu, deh.”

“Inara.”

Inara berjengit. Wajahnya terlihat sangat kikuk. Sehingga, ia memaksakan diri untuk tersenyum. Namun, Argha justru terlihat bingung melihat ekspresi dari Inara. Lantas, ia melirik bingkai foto yang ada di mejanya itu.

“Itu foto papa dan mama saya.” Kini wajah Argha justru terlihat sangat sedih. Namun, masih bisa tersenyum tipis. Jelas, senyum manis mendiang ibunya kembali terlintas di pikirannya. Membuat rindu kembali bergelayut. Ah, hampir saja air mata itu jatuh. Ia tak akan membiarkannya jatuh di depan seorang gadis.

“Ja-jadi Bapak ini bukan anaknya Bu Della?”

Argha berdeham. Tatapannya kini pada makanan yang sudah ada di atas meja, sendu dan hampa. “Bukan.”

Inara terkejut mendengarnya. Argha memang mirip dengan Pak Alan, mungkin tidak akan ada pertanyaan mengenai ia bukan anaknya Bu Della. Sejak awal, ia juga tak pernah mendengar cerita apapun dari Artha mengenai keluarganya. Setahunya, Pak Alan tak begitu menyukainya, lebih tepatnya, tidak menyukai hubungannya dengan Artha. Kalau kinerjanya di kantor, jelas tidak ada yang meragukan lagi.

“Maaf, Pak. Saya tidak tahu,” ucap Inara kemudian. Sungguh, tidak enak hati pada atasannya itu. Semenjak membahas orang tua Argha, wajah atasannya itu benar-benar terlihat sangat sedih. Inara tak pernah melihat Argha seperti itu sebelumnya. Dan ia merasa, kalau ini karenanya yang begitu lancang.

“Tidak masalah. Ibu saya meninggal sejak saya berusia 5 tahun.”

Inara mendekati Argha, spaghetti dan juga smoothies buah-buahan sudah tersaji di meja. Senyumnya begitu tulus. Dibalik sikap arogannya Argha, pria itu memiliki sisi lain yang tidak ia tahu.

“Saya enggak expect kalau Bapak bisa memasak.” Inara mencoba untuk mengalihkan perhatian. Supaya atasannya itu tidak kembali bersedih.

“Ya, kamu pikir, cuma cewek aja yang bisa masak?” Argha menarik kursinya, lantas duduk di sana, tatapannya kembali dingin pada Inara. “Kamu tidak mau makan?”

Inara nyengir kuda. Ia menarik kurisi dan duduk si bangkunya itu. “Mau, Pak. Kebetulan laper banget.”

Argha mengedikkan bahu. Kemudian, mulai memakan spageti yang ia masak dengan sepenuh hati.

Inara manggut-manggut. Ya, seperti biasa, kalau makanan terasa lezat di lidahnya, ia akan manggut-manggut, bahkan geleng-geleng kepala untuk mengekspresikan diri. Meski hanya spaghetti, Inara mampu menilai masakan Argha bahkan sudah mirip dengan masakan dari restoran berbintang.

‘Sangat disayangkan, tampan dan pintar memasak, tapi belok,’ batin Inara.

Selesai makan, Inara mengambil alih. Ia yang mencuci piring dan membersihkan dapur. Ia juga tidak mau dianggap tidak tahu diri, kan? Makan yang tak hanya memanjakan perutnya saja, melainkan lidahnya juga. Kapan lagi Argha mau memasakkan untuknya juga, biasanya juga selalu marah-marah saja.

Argha sendiri memilih ke kamar, untuk membersihkan diri. Meningalkan Inara yang bersih-bersih dapur.

Tak lama, suara bel pintu terdengar nyaring. Inara menyeret kakinya sambil meringis. Tentu untuk membukakan pintu.

Klek.

Inara memberikan anggukan kecil, saat seorang pria dengan setelan jas hitam membawakan begitu banyak tas karton di tangannya.

“Nyari siapa ya?” tanya Inara.

“Oh, saya Vans, Bu. Salah satu pengawalnya Pak Argha. Kedatangan saya ke sini untuk mengantarkan pakaian Bu Inara yang sudah dipesan oleh Pak Argha. Semuanya sudah lengkap. Dan masih ada lagi. Sebentar lagi teman saya, Vera akan sampai.”

Mulut Inara ternganga. Begitu banyak tas belanjaan adalah berisikan pakaian untuknya? Bahkan Argha sama sekali tidak mengatakan apapun kepadanya.

“Sebentar, ini pasti salah,” tahan Inara saat Vans hendak masuk.

“Benar, Bu. Pak Argha yang meminta kami ke sini.” Vans menjawab dengan sangat ramah, senyumnya begitu tulus. Namun, tetap saja membuat Inara bingung.

“Vans, bantuin!”

Buru-buru Vans meletakkan tas karton itu di aras sofa, lantas berlari menghampiri Vera yang sedikit kusulitan. Mengambil alih beberapa tas karton di tangan Vera.

“Sebentar, kalian beneran orangnya Pak Argha?” Tentu yang dipikirkan Inara adalah, takut. Tentu takut jika kedua orang ini salah rumah. Ia juga turut melongok pada tas karton itu, yang mana semuanya adalah dress dan pakaian perempuan, lengkap dengan dalamannya juga.

“Benar, Bu. Ini Pak Argha yang menyuruh kami.”

Tak lama, Argha keluar dari kamarnya. Dengan handuk di leher, rambutnya basah, dengan kaus oblong berwarna putih dan celana training panjang. Oh, sungguh menawan, bahkan Inara saja sampai terpukau melihatnya melihat penampilan sederhananya seorang Arghantara Winata.

“Kalian sudah datang? Simpan di walk in closetnya,” titah Argha yang menudian menunjuk kamar Inara.

“Baik, Pak,” jawab Vera dan Vans, kompak.

Inara masih terbengong. Seolah semuanya adalah mimpi. Ia sendiri bahkan bingung harus senang atau waswas dengan semua ini.

“Biarkan mereka mengemasi pakaian kamu, setelah mereka selesai, kamu bisa bersih-bersih dan tidur,” kata Argha membuat lamunan Inara buyar seketika. Pria tampan berambut hitam itu kembali lagi ke kamarnya.

Inara memilih untuk pergi ke kamarnya. Kamar yang belum sempat ia lihat sama sekali. Dalam hati, ia begitu sangat penasaran. Ada apa sebenarnya dengan Argha, kenapa seolah pria itu benar-benar tidak ingin melepasnya begitu saja.

Di dalam kamarnya, Vans dan Vera masih sibuk menatap pakaiannya. Keduanya saling membagi tugas. Vera tentu mengurus bagaian pakaian harian dan dalaman, sementara Vans mengurus para gaun dan menatanya.

“Eh, Bu. Anda datang?” sapa Vans dengan ramah.

“Sebenarnya, kenapa kalian repot-repot membelikan saya begitu banyak pakaian. Dan saya yakin, harganya pasti di luar nurul semuanya.” Inara tertatih menuju deretan dress dengan harga fantastis itu.

“Kami hanya menjalankan tugas.”

Inara geleng-geleng kepala. Argha memang bukan orang biasa. Ya, di lain sisi ia senang dimanjakan seperti ini, namun ini juga beban baginya. Kalaupun ia bisa jatuh cinta dengan atasannya itu, ia justru akan merasakan sakit sendirian, mengingat bosnya tidak menyukai wanita.

“Sudah siap semuanya. Kami harus pergi, Bu. Selamat beristirahat,” pamit Vera yang telah menyelesaikan tugasnya.

“Kalau ada apa-apa, Anda bisa menghubungi kami. Dan ini, ponsel baru Anda. Nomor kami sudah ada di sini,” kata Vans seraya menyodorkan ponsel dengan keluaran terbaru. Bahkan harganya 6 kali lipat gajinya.

“Ponsel baru?”

Vera dan Vans mengangguk. “Kami pamit pergi, Bu. Permisi.”

Inara masih dalam keterkejutannya, menatap ponsel pintar yang ada di tangannya itu. “Ya Tuhan … ini beneran berkah atau petaka? Ditinggalin adiknya, malah mau nikah sama kakaknya? Mana dikasih fasilitas seperti ini. Keknya gue mimpi, deh.”

Inara yang masih tak percaya itu mencubit lengannya senduri.”Aw! Sakit. Ini gak mimpi. Ini sungguhan.”

.

1
yo..h72🦂🥀
😍😍👍
yo..h72🦂🥀
Karna PINISIRIN di aplikasi ono gk jadi , Mampir deh di mari 😁😍😍
Layli Dinata: hehehe makasih Akak
total 1 replies
Afiroh
ceritanya menarik..lnjutkn
Layli Dinata: siap Akak. terima kasih
total 1 replies
Jenk Ros
aku mampir donk.. cerita nya keren ❤️🥰
Layli Dinata: makasih akak. semangati aku terus ya
total 1 replies
Anawahyu Fajrin
semangat Up ya Thorrt❤
Layli Dinata: siap Akak
total 1 replies
Anawahyu Fajrin
karyamu bagus banget Thor,,❤
Layli Dinata: makasih Akak
total 1 replies
Jhulie
lanjut thor
Layli Dinata: thank you Kak Jhulie
total 1 replies
Phedra
Bahasanya mudah dimengerti, jadi mudah masuk ke dalam ceritanya.
Layli Dinata: makasih Akak. ikutin terus ya
total 1 replies
Kiran Kiran
Salah satu cerita terbaik yang pernah aku baca, terimakasih thor❤️
Layli Dinata: Ahhh terima kasih, Akak 🤍❤️
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!