Cerita Tiger and Crane mengikuti kisah seorang anak bernama Hu Zi yang merupakan seorang anak yatim piatu yang cerdas dan ceria. Namun, suatu hari ia tak sengaja menelan mutiara merah, sebuah harta dari energi Yang terdalam. Kejadian ini, lantas menuntun dirinya kepada seorang master iblis yang suram bernama Qi Xuao Xuan. Dalam dunia hantu dan setan, kepribadian antara Hu Zi (Jiang Long) dengan Qi Xuao Xuan (Zhang Linghe) adalah dua pemuda yang memiliki kepribadian yang berbeda. Mereka akhirnya terpaksa berpetualang bersama karena mutiara merah. Sedangkan Hu Zi dan Qi Xuao Xuan yang diawal hubungan saling membenci menjadi bersatu hingga bersinar satu sama lain. Terlebih setelah mereka melalui banyak ujian hidup dan mati, membuat keduanya tumbuh menjadi lebih kuat satu sama lainnya. Hingga suatu hari, Qi Xuao Xuan masuk penjara karena melindungi Hu Zi. Hu Zi beserta teman-temannya akhirnya mengikuti seleksi nasional untuk master iblis, yang pada akhirnya mereka justru mengungkap konspirasi besar yang merupakan sebuah kebenaran seputar perang iblis yang telah terjadi pada 500 tahun lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. y, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayangan Masa Lalu
Pagi mulai menyingsing ketika mereka akhirnya keluar dari Kuil Bayangan. Langit berwarna oranye keemasan, tetapi suasananya tidak terasa hangat. Perjalanan mereka di dalam kuil meninggalkan bayangan yang tidak mudah dihapus.
Hu Zi melangkah perlahan, pedangnya terselip di pinggang, tetapi pikirannya tidak pernah lepas dari retakan di altar itu. Cahaya hitam, suara makhluk yang menyebut dirinya kebangkitan, dan rasa takut yang menjalar dalam hatinya—semua itu membuatnya merasa lelah, lebih dari apa pun yang pernah ia alami sebelumnya.
“Kau terlalu diam,” kata Shen Yue yang berjalan di sampingnya. “Kau baik-baik saja?”
Hu Zi tidak langsung menjawab. Ia hanya mengangguk kecil. “Aku... hanya memikirkan semuanya. Rasanya seperti semakin jauh kita melangkah, semakin besar bahaya yang kita hadapi.”
“Selamat datang di dunia yang sesungguhnya,” ujar Qi Xuao Xuan dengan nada dingin dari depan mereka. “Jika kau berpikir ini adalah yang terburuk, maka kau belum melihat apa-apa.”
Shen Yue mendengus, memutar matanya. “Kau tidak membantu.”
“Tugas saya bukan membantu. Tugas saya memastikan bocah ini tidak mati,” balas Qi Xuao Xuan sambil melirik Hu Zi dengan tatapan tajam. “Dan saat ini, dia tidak siap.”
Hu Zi menghentikan langkahnya. Kata-kata Qi Xuao Xuan menusuk hatinya seperti pedang. “Aku tidak siap?” Ia mengepalkan tinjunya. “Aku sudah memberikan segalanya di dalam kuil itu!”
“Tapi kau tetap ragu,” Qi Xuao Xuan berbalik, menatap Hu Zi lurus-lurus. “Kekuatan yang ada di dalam dirimu bukan hanya tentang mengayunkan pedang. Kau harus percaya pada dirimu sendiri, atau kau akan menjadi beban bagi orang-orang di sekitarmu.”
“Sudah cukup!” Shen Yue memotong, berdiri di antara mereka. “Kita semua lelah. Tidak ada gunanya menyalahkan siapa pun sekarang. Kita berhasil keluar dari sana hidup-hidup, dan itu sudah cukup untuk hari ini.”
“Belum tentu,” ujar Yan Zhao yang kini tertinggal beberapa langkah di belakang mereka. Ia menunjuk ke arah bukit yang menjulang di kejauhan. “Kalian lihat itu?”
Mereka semua menoleh. Di puncak bukit, bayangan hitam bergerak-gerak, hampir tak terlihat dalam cahaya pagi. Tetapi bagi mereka yang telah menghadapi energi kegelapan sebelumnya, tidak ada keraguan tentang apa yang mereka lihat.
“Bayangan itu...” Shen Yue mempersempit matanya. “Mereka mengawasi kita.”
Hu Zi menelan ludah. “Apakah itu... makhluk dari kuil?”
“Bukan,” Qi Xuao Xuan menjawab, nadanya tegas. “Itu bukan makhluk dari dalam kuil. Itu adalah mereka yang memanggilnya.”
“Hah?” Yan Zhao mendekat, tangannya sudah bersiap di gagang pedang. “Kau maksudkan ada orang di balik semua ini?”
“Bukankah itu jelas?” Qi Xuao Xuan berjalan lebih cepat. “Mahluk seperti itu tidak bangkit dengan sendirinya. Ada yang membuka segel itu, dan ada yang menginginkan kebangkitan kegelapan. Kita harus mencari tahu siapa mereka sebelum semuanya terlambat.”
Hu Zi mengepalkan tinjunya, mencoba mengabaikan rasa takut yang kembali merayap di hatinya. Jika ada seseorang di balik semua ini, maka itu berarti mereka masih dalam bahaya.
Saat matahari mencapai puncaknya, mereka tiba di sebuah desa kecil di kaki bukit. Desa itu terlihat tenang dari kejauhan, tetapi ketika mereka mendekat, suasana aneh mulai terasa. Tidak ada seorang pun di jalanan. Pintu-pintu rumah tertutup rapat, dan jendela-jendela tertutup tirai.
“Kenapa desa ini begitu sepi?” tanya Yan Zhao, suaranya penuh kecurigaan.
“Ini tidak wajar,” Shen Yue berbisik. “Biasanya desa seperti ini akan dipenuhi dengan aktivitas pagi.”
Qi Xuao Xuan berhenti di tengah jalan utama desa. Ia mengamati sekeliling dengan ekspresi tajam. “Mereka tahu sesuatu. Atau mungkin, mereka takut sesuatu.”
“Mungkin kita harus bertanya kepada salah satu penduduk,” saran Hu Zi, mencoba menyembunyikan kegugupannya.
Namun, sebelum mereka sempat bergerak lebih jauh, pintu salah satu rumah terbuka perlahan. Seorang pria tua keluar, wajahnya keriput dan penuh kecemasan. Ia menatap mereka dengan mata yang waspada.
“Kalian... kalian bukan dari sini, bukan?” tanyanya, suaranya gemetar.
“Tepat sekali,” Qi Xuao Xuan menjawab, melangkah maju. “Kami sedang dalam perjalanan ke arah bukit. Apakah ada sesuatu yang perlu kami ketahui tentang tempat ini?”
Mata pria tua itu melebar. “Bukit itu... kalian tidak boleh ke sana. Itu tempat terkutuk. Tidak ada yang kembali hidup-hidup dari sana.”
“Tempat terkutuk?” Hu Zi maju, mencoba mencari penjelasan. “Apa yang terjadi di sana?”
Pria tua itu menggelengkan kepala, tampaknya enggan untuk bicara lebih banyak. “Yang bisa saya katakan adalah... jangan pergi ke sana. Kegelapan telah kembali, dan jika kalian melangkah lebih jauh, kalian tidak akan pernah kembali.”
Ucapan itu membuat jantung Hu Zi berdebar. Tetapi Qi Xuao Xuan tidak menunjukkan tanda-tanda gentar. “Kami tidak punya pilihan,” ujarnya dingin. “Kegelapan yang kau bicarakan sudah mulai menyebar. Jika kami tidak menghentikannya, desa ini akan menjadi korban berikutnya.”
Pria tua itu memandang mereka dengan tatapan yang sulit dibaca. Akhirnya, ia menarik napas panjang dan berkata, “Jika kalian benar-benar ingin tahu, datanglah ke gudang tua di ujung desa saat malam tiba. Aku akan menunjukkan sesuatu yang perlu kalian lihat.”
Malam tiba lebih cepat dari yang mereka perkirakan. Suasana desa yang sunyi berubah menjadi mencekam di bawah cahaya bulan yang redup. Mereka berjalan perlahan menuju gudang tua yang disebutkan oleh pria tua tadi.
Gudang itu berada di pinggir desa, hampir tersembunyi di balik rerimbunan pohon. Pintu kayunya yang besar sudah terbuka sedikit, seolah mengundang mereka masuk.
“Ini terasa seperti jebakan,” bisik Shen Yue, tangannya siap dengan jurus pertahanan.
“Kalau begitu kita harus tetap waspada,” balas Qi Xuao Xuan.
Mereka masuk perlahan, dan di dalam gudang itu, pria tua tadi sudah menunggu. Ia berdiri di depan sebuah meja kayu besar yang dipenuhi dengan kertas-kertas usang dan lilin-lilin yang hampir habis terbakar.
“Apa yang ingin kau tunjukkan pada kami?” tanya Yan Zhao.
Pria tua itu mengangkat salah satu kertas dari meja dan menyerahkannya kepada mereka. “Ini adalah catatan dari para leluhur kami, yang menyaksikan perang besar 500 tahun lalu. Perang yang melibatkan kegelapan yang sama dengan yang kalian lihat di bukit itu.”
Hu Zi memandang kertas itu dengan kening berkerut. Tulisan tangan di atasnya sulit dibaca, tetapi ada satu hal yang menarik perhatiannya: gambar sebuah simbol. Simbol itu sama dengan yang ia lihat di altar Kuil Bayangan.
“Kau tahu apa artinya ini?” tanya Hu Zi, menunjuk simbol itu.
Pria tua itu mengangguk pelan. “Itu adalah tanda mereka yang melayani kegelapan. Mereka disebut Pengikut Bayangan, dan tujuan mereka hanya satu: membangkitkan tuan mereka yang telah tersegel selama berabad-abad.”
Kata-kata itu menggema di kepala Hu Zi. Ia menatap simbol itu lagi, mencoba memahami betapa besarnya ancaman yang mereka hadapi.
“Kalian harus menghentikan mereka,” lanjut pria tua itu. “Jika tidak, dunia ini akan jatuh ke dalam kegelapan selamanya.”