Anson adalah putra tunggal dari pemilik rumah sakit tempat Aerin bekerja. Mereka bertemu kembali setelah tiga belas tahun. Namun Anson masih membenci Aerin karena dendam masa lalu.
Tapi... Akankah hati lelaki itu tersentuh ketika mengetahui Aerin tidak bahagia? Dan kenapa hatinya ikut terluka saat tanpa sengaja melihat Aerin menangis diam-diam di atap rumah sakit?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mae_jer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Berkali-kali Aerin membunyikan bel rumahnya tapi sampai sekarang tak ada satu pun dari pembantu rumahnya yang buka. Gadis itu melirik jam tangannya dan baru menyadari kalau sekarang sudah lebih dari jam dua belas tengah malam.
Aerin menghembuskan nafas panjang. Kalau sudah jam begitu kedua orangtuanya memang melarang pembantu rumah mereka buka pintu. Aerin di larang masuk rumah kalau pulang jam segitu.
Aerin tersenyum kecut. Ia menarik nafas pasrah dan memutuskan balik saja ke rumah sakit. Meski tidak begitu suka tidur bersama dengan dokter lainnya di satu ruangan, tapi hanya itu pilihan terbaiknya sekarang ini.
"Aerin aku pikir kau sudah pulang?"
Nia, salah satu dokter umum membuka matanya saat melihat pintu ruang istirahat dokter jaga itu terbuka.
Aerin yang muncul dari balik pintu membuatnya keningnya berkerut. Pasalnya tadi ia lihat Aerin sudah pulang, gadis itu pun tidak bertugas jaga malam jadi kenapa dia balik lagi?
Aerin tersenyum sambil berjalan perlahan. Takut membangunkan yang lain yang sudah berada dalam alam mimpi mereka.
"Aku ketinggalan bus, ponselku mati dan ini sudah tengah malam, sebaiknya aku tidur di sini saja." ujar Aerin beralasan.
Nia masih menatapnya tapi hanya sebentar. Ia memutuskan tidak peduli lagi dan kembali tidur. Aerin lalu berjalan ke tempat tidur yang masih kosong memilih tidur di sana.
Besoknya pagi-pagi sekali Aerin sudah bangun. Ia tidak tidak bisa tidur dengan baik kalau ada beberapa orang dalam satu ruangan. Ia memutuskan mencuci mukanya dan mencari sarapan. Pandangannya bertemu dengan Anson ketika masuk kantin. Lelaki itu juga sedang makan.
Aerin menutup matanya dalam-dalam. Ya ampun, kenapa mereka bisa berpapasan terus sih. Kenapa juga pria itu pagi-pagi begini sudah ada di rumah sakit? Tidak mungkin ia lembur bukan? Dengan statusnya, pria itu bisa membuat dokter lain untuk mengganti pekerjaannya di malam hari. Aerin pikir kebanyakan orang tidak suka shift malam.
Gadis itu melambaikan tangan menyapanya dengan ramah. Meski ia tahu Anson tidak akan balik menyapanya. Ia jadi salah tingkah karena lelaki itu terus menatapnya.
Apa ada yang salah dengan wajahnya? Aerin berpikir ragu. Lalu memilih pergi ke tempat pengambilan makanan. Entah sarapan apa yang akan disediakan kantin rumah sakit pagi ini.
Dari mejanya Anson terus mengamati Aerin. Pria itu bingung karena seingatnya Aerin telah pulang ke rumahnya dengan bus semalam. Tapi kenapa pagi-pagi buta begini gadis itu sudah ada di rumah sakit, masih dengan pakaian yang sama. Anson hafal sekali pakaian yang dipakai Aerin semalam, selain jas dokternya tentu saja.
Apa dia balik lagi?
Anson membuyarkan lamunannya lalu kembali mengunyah roti tawar. Tidak penting juga memikirkan gadis itu. Tapi...
Astaga, Anson tidak mengerti kenapa dengan matanya yang selalu saja tanpa ia sadari malah terus mencuri-mencuri pandang pada Aerin. Apa dia sudah gila?
Karena merasa kesal pada dirinya sendiri, pria itu bangkit dari situ dan memilih keluar.
Seperti yang dipikirkan Aerin, hari pertama bekerja bersama tim Anson, selalu saja ada percekcokan antara dirinya dan Logan.
Logan selalu membantah dan tidak setuju bahkan memotong perkataan Aerin tiap kali gadis itu mau memberikan pendapat. Aerin sampai harus menahan malu di depan beberapa dokter dan perawat lainnya yang tergabung dalam tim itu.
Aerin menggeram kesal. Namun meskipun sangat kesal, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Logan dan Anson berteman, tentu saja mereka akan bersatu melawannya bukan. Apalagi kabar tentang dia dimasukan kedalam tim karena nepotisme sudah tersebar di telinga banyak staf rumah sakit.
Aerin menatap Laras, sih dokter perempuan yang suka mencari-cari masalah dengannya itu dengan mata menyipit. Dari luar perempuan itu tampak lugu dan baik, tapi Aerin tahu dia adalah gadis yang sangat licik. Pasti dia yang memulai semua gosip itu. Dulu waktu kuliah pun begitu.
Awalnya Laras memperlakukannya dengan sangat baik. Tapi ketika mendengar Aerin dipilih langsung oleh profesor Dartan sebagai muridnya dan akan mendapat beasiswa penuh, Laras merasa tidak terima dan iri bahkan melakukan segala cara untuk menjatuhkannya. Ia pura-pura jadi malaikat baik yang mendapat perlakuan tidak adil gara-gara Aerin.
Dikampus semua orang selalu membanding-bandingkan Laras dan Aerin. Katanya Laras itu gadis yang biasa saja tapi baik hati, sementara Aerin cantik namun otaknya busuk, melakukan segala cara untuk mendapatkan apapun yang dia mau.
Aerin sudah senang saat lulus dan mendapatkan pekerjaan barunya. Ia pikir tidak akan bertemu Laras yang suka berakting mencari simpati banyak orang itu lagi, sayangnya ia lagi-lagi harus bersabar karena ternyata ia bertemu lagi dengan Laras di rumah sakit yang sama.
Aerin memang bukanlah tipe gadis yang suka menuduh orang sembarangan, tapi karena sudah begitu banyak yang Laras lakukan padanya sampai menuduh-nuduh dia operasi plastik atau apalah, Aerin yakin sekali kalau Laras yang menyebarkan berita itu.
Aerin sama sekali tidak mengerti kenapa dia di rekomendasikan oleh direktur rumah sakit itu. Ia melirik Anson yang duduk di dalam sana. Ruangan lelaki itu terpisah dengan mereka namun karena pembatasnya adalah kaca Aerin tetap bisa melihat wajah lelaki itu dengan jelas dari mejanya.
Kalau dipikir-pikir Anson adalah anak sih direktur. Atau jangan-jangan pria itu lagi yang meminta tolong papanya memasukkan namanya dalam tim? Aerin merasa yakin dengan pendapatnya. Jangan-jangan Anson mau balas dendam padanya lagi karena itu ia sengaja membuatnya bergabung dalam tim ini.
Jangan sembarangan berpikir Aerin
Aerin cepat-cepat membuang mukanya kearah lain ketika sadar Anson balik menatapnya. Gadis itu berpura-pura sibuk mencari-cari sesuatu tapi kepalanya malah menyambar meja ketika menunduk ke bawah. Ya ampun, pasti dia kelihatan sangat tolol di depan Anson. Gadis itu meratapi kebodohannya sendiri sambil mengelus-elus kepalanya yang terasa sakit.
Dari dalam ruangannya, Anson menyadari seseorang tengah memperhatikannya dari luar sana. Ia tersenyum miring ketika melihat ternyata Aerin yang mungkin sudah memperhatikannya sejak tadi.
Kenapa lagi dengan gadis itu? Masih suka padanya? Entah kenapa kepercayaan diri Anson muncul. Dulu kan Aerin memang begitu tergila-gila mengejarnya. Ia tak mampu menahan tawanya melihat Aerin yang kelabakan dan terlihat salah tingkah itu malah menyambar mejanya sendiri.
Dasar bodoh
Selama ini Anson tahu bukan hanya Aerin satu-satunya perempuan yang mengejarnya. Bahkan di Amerika dulu banyak teman-teman kampusnya yang mengejarnya tapi ia tidak pernah tertarik. Ia tidak tertarik berpacaran, bukan berarti dia gay. Dirinya hanya belum menemukan seseorang yang cocok.
Setelah bertahun-tahun dia tidak terpengaruh sedikitpun dengan yang namanya perempuan, Anson jadi merasa heran sendiri kenapa ketika bertemu lagi dengan Aerin ia jadi sangat terpengaruh dengan segala gerak-gerik wanita itu.
Apa karena ia belum bisa melupakan kebenciannya dulu? Benar. Ia akan berpikir seperti itu saja. Ia tidak mungkin akan jatuh cinta pada gadis itu bukan? Anson terus meyakinkan dirinya sendiri.