Mika, seorang wanita yang dulunya gemuk dan tidak percaya diri, sering menjadi korban bullying oleh geng wanita populer di SMA. Dihina karena penampilannya, ia pernah dipermalukan di depan seluruh sekolah, terutama oleh Dara, ketua geng yang kini telah menikah dengan pria idaman Mika, Antony. Setelah melakukan transformasi fisik yang dramatis, Mika kembali ke kota asalnya sebagai sosok baru, sukses dan penuh percaya diri, tapi di dalam dirinya, dendam lama masih membara. Kini Mika bertekad untuk menghancurkan hidup Dara, gengnya, dan merebut kembali Antony, cinta masa lalunya, dengan cara yang jauh lebih kejam dan cerdas.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tatapan dan Senyuman yang Mengusik
Acara reuni akhirnya berakhir, meninggalkan ballroom dengan suasana yang sepi dan lampu-lampu mulai meredup. Mika berdiri di dekat pintu keluar bersama Raka, menatap langit malam yang dipenuhi bintang. Udara dingin menyapa kulitnya, namun perasaannya masih terasa panas setelah pertemuan yang tak terduga dengan geng Dara dan Antony.
"Yuk, pulang bareng? Kita ngobrol di perjalanan. Ada banyak hal yang pengin aku tanyain sama kamu," ujar Raka sambil tersenyum canggung, menggaruk belakang kepalanya.
Mika menatap Raka, sejenak ragu, namun akhirnya mengangguk. "Oke, aku ikut." Ada sesuatu tentang Raka—rasa akrab dan nyaman—yang membuatnya tidak keberatan untuk melanjutkan obrolan.
Mereka berjalan menuju mobil Raka yang terparkir di sudut area parkir. Saat Mika akan masuk ke dalam mobil, tatapannya tiba-tiba bertemu dengan sosok yang tidak asing. Dari arah yang tidak jauh, Antony baru saja keluar dari gedung dan berjalan menuju mobil mewahnya, di mana Dara sudah menunggu di dalam.
Tatapan Antony dan Mika saling bertaut. Tatapan itu berbeda. Ada sesuatu yang tidak semestinya—senyuman kecil yang menggoda, seolah Antony melihat lebih dari sekadar wajah cantik di depan matanya. Mika merasakan debar aneh di dadanya, bukan karena rasa suka yang dulu pernah ia rasakan, tetapi karena ada sesuatu dalam cara Antony menatapnya yang terasa salah—terlalu intens, terlalu pribadi.
Antony tidak segera masuk ke mobil. Sebaliknya, ia berdiri sebentar, memandang Mika dengan senyuman tipis yang membuatnya terlihat seperti memendam sesuatu. Tatapan penuh godaan itu membuat Mika merasa sedikit risih, namun ia tidak mau terlihat terpengaruh.
Dengan tenang, Mika balas tersenyum. Sebuah senyuman manis yang ia tahu akan menusuk harga diri Dara bila melihatnya. Ia tidak akan menunjukkan bahwa tatapan Antony berpengaruh padanya—justru sebaliknya, ia ingin memegang kendali.
Dari dalam mobil, Dara menyadari suaminya terlalu lama menatap seseorang. Ketika ia mengikuti arah pandangan Antony, wajahnya memucat melihat siapa yang menjadi pusat perhatian suaminya—Mika.
"Antony, kamu ngapain?" Dara berusaha memanggilnya dengan nada biasa, tapi jelas ada kecemasan dalam suaranya.
Antony akhirnya melangkah masuk ke dalam mobil, meninggalkan Mika dan Raka, namun tidak tanpa meninggalkan kesan yang mengganggu. Dara hanya bisa terdiam, giginya terkatup rapat, hatinya dipenuhi dengan campuran kecemburuan dan ketakutan.
***
Di dalam mobil yang melaju di jalanan malam, suasana terasa hangat dan akrab. Raka dengan santai memegang setir sambil bercerita tentang kehidupannya sekarang. Mika mendengarkan dengan penuh minat, sedikit terkejut dengan banyaknya perubahan dalam hidup pria itu.
"Aku nggak nyangka kamu jadi chef, Rak," kata Mika sambil memiringkan kepala, "dan bukan cuma chef, tapi juga punya beberapa bisnis restoran. Wow, kamu keren banget!"
Raka tersenyum malu, sedikit mengangkat bahu. "Ah, nggak sehebat itu kok. Semua ini butuh proses panjang dan penuh tantangan."
"Tetap aja, Rak, aku kagum," kata Mika tulus. "Aku selalu tahu kamu pintar dan berbakat, tapi nggak kepikiran kalau kamu akan sukses di bidang kuliner."
Raka tertawa kecil. "Ya, mungkin hidup ini penuh kejutan, ya. Waktu SMA aku suka masak buat nyenengin diri sendiri. Siapa sangka bisa jadi profesi? Restoran pertamaku memang kecil, tapi lambat laun berkembang. Sekarang aku punya beberapa cabang."
Mika mengangguk, masih terkesima. "Jujur, aku salut. Pasti nggak mudah sampai ke titik ini."
Raka menatap Mika sekilas, lalu fokus kembali ke jalan. "Sama kayak kamu, Mika. Aku kaget banget waktu tahu kamu udah jadi pebisnis sukses dan selebgram terkenal. Kamu kelihatan bener-bener beda."
Mika tersenyum tipis, merasakan hangatnya pujian dari Raka. "Makasih, Rak. Semua ini hasil dari perjalanan panjang juga. Aku banyak belajar dari masa lalu."
Raka tersenyum sambil mengangguk. "Dulu aku kira, kita semua cuma tumbuh biasa-biasa aja. Tapi ternyata, hidup membawa kita ke jalan yang nggak pernah kita bayangkan."
"Iya, benar," Mika setuju. "Kita semua berubah, dan ternyata perubahan itu bisa jadi sangat indah."
Mereka saling bertukar cerita sepanjang perjalanan, tentang suka dan duka di dunia pekerjaan masing-masing. Mika berbicara tentang lika-liku bisnis kosmetiknya, bagaimana perjuangan dan ketekunan akhirnya membuatnya sukses. Di sisi lain, Raka bercerita tentang pengalaman-pengalaman seru di dunia kuliner—mulai dari belajar di dapur hingga tantangan membangun bisnis dari nol.
"Aku bangga sama kamu, Rak," kata Mika akhirnya, "nggak banyak orang yang bisa mewujudkan passion mereka dan sukses seperti kamu."
Raka tersenyum hangat. "Aku juga bangga sama kamu, Mika. Kamu berhasil mengubah hidupmu dan nggak membiarkan masa lalu menghancurkan kamu. Kamu kuat."
Mika terdiam sejenak, merasakan kehangatan dalam kata-kata Raka. Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar diapresiasi bukan karena penampilan luarnya, tapi karena dirinya yang sebenarnya.
***
Di rumah megah mereka yang mewah dan tertata sempurna, Dara duduk dengan wajah masam di sofa ruang keluarga. Antony berdiri di dekatnya, mencoba mencari cara untuk menenangkan istrinya yang terlihat kesal sejak mereka pulang dari reuni.
"Dara, sayang, kamu serius marah cuma gara-gara aku lihat Mika tadi?" Antony mendekat dengan senyuman kecil, mencoba merayu Dara seperti biasa. "Itu bukan apa-apa, kok. Aku cuma penasaran, karena dulu dia beda banget."
"Penasaran?" Dara memutar bola matanya, suaranya penuh sindiran. "Kamu penasaran atau kamu masih tertarik sama dia?"
Antony menghela napas, lalu duduk di samping Dara. "Ayolah, Dara, kamu tahu aku nggak ada maksud apa-apa. Kamu tahu aku sayang sama kamu dan anak kita."
"Kalau memang sayang," Dara menyipitkan matanya, "kenapa tadi tatapan kamu ke dia kayak gitu? Aku lihat semuanya, Antony."
Antony mencoba meraih tangan Dara, tapi Dara menariknya dengan cepat, matanya penuh rasa curiga. Ia tak pernah merasa perlu khawatir tentang wanita lain sebelumnya—ia selalu menjadi pusat perhatian, cantik, sempurna, dan punya segalanya. Namun kehadiran Mika yang berbeda malam ini membuat hatinya tak tenang.
"Mika bukan siapa-siapa, sayang," Antony berusaha meyakinkannya lagi. "Dia cuma masa lalu, seseorang yang dulu bahkan nggak kita perhatikan."
Dara mendengus kesal. "Ya, dan sekarang dia jauh lebih cantik daripada yang kita kira, kan?"
Antony tersenyum tipis, tahu bahwa ini bukan waktu yang tepat untuk terus mendebat. "Kamu terlalu memikirkan hal kecil, sayang. Aku cuma lihat sebentar, itu aja. Kamu nggak perlu khawatir, oke?"
Dara menghela napas panjang, masih merasa terganggu meskipun Antony mencoba menenangkan dirinya. Dia tahu suaminya—pesona Antony selalu jadi magnet bagi banyak wanita, dan Dara tidak ingin Mika menjadi ancaman yang tiba-tiba muncul dari masa lalu mereka.
***
Mobil akhirnya berhenti di depan hotel tempat Mika menginap. Raka menatap Mika dengan ekspresi hangat, merasa senang bahwa pertemuan mereka membawa rasa nyaman dan koneksi baru.
"Mika," panggil Raka lembut saat Mika akan turun dari mobil, "kalau kamu butuh sesuatu atau cuma mau ngobrol, kamu tahu aku selalu ada buat kamu, kan?"
Mika menatap Raka sejenak, lalu mengangguk sambil tersenyum. "Aku tahu, Raka. Dan aku bersyukur kamu selalu ada."
Malam itu berakhir dengan sebuah perasaan baru bagi Mika—perasaan bahwa mungkin, tidak semua dari masa lalunya adalah hal yang perlu ia buang. Beberapa kenangan, seperti persahabatannya dengan Raka, pantas untuk dipertahankan.
Sementara itu, di sisi lain kota, Dara masih tenggelam dalam rasa tidak tenang. Pikiran tentang Mika dan tatapan Antony kepada wanita itu terus mengganggunya, membuat malam Dara terasa jauh lebih panjang dari biasanya.
Namun bagi Mika, malam itu adalah awal dari sesuatu yang baru. Bukan hanya pertemuan kembali dengan sahabat lamanya, tapi juga peluang untuk membuka babak baru dalam hidupnya—dengan masa lalu yang akhirnya bisa ia kendalikan.