Lyra terpaksa cuti dari pekerjaannya untuk menjenguk neneknya yang sakit di kota N, hanya untuk menemukan bahwa neneknya baik-baik saja. Alih-alih beristirahat, Lyra malah terlibat dalam cerita konyol neneknya yang justru lebih mengenalkan Lyra pada Nenek Luna, teman sesama pasien di rumah sakit. Karena kebaikan hati Lyra merawat nenek-nenek itu, Nenek Luna pun merasa terharu dan menjodohkannya dengan cucunya, seorang pria tampan namun dingin. Setelah nenek-nenek itu sembuh, mereka membawa Lyra bertemu dengan cucu Nenek Luna, yang ternyata adalah pria yang akan menjadi suaminya, meski hanya dalam pernikahan kontrak. Apa yang dimulai sebagai perjanjian semata, akhirnya menjadi permainan penuh teka-teki yang mengungkap rahasia masa lalu dan perasaan tersembunyi di antara keduanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chu-Chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 13
Rayyan menghentikan mobilnya di titik yang ditunjukkan oleh peta. Itu adalah kontrakan milik Lyra. Ia melirik ke arah Lyra, yang ternyata sedang tertidur pulas.
Rayyan mendekat, berniat membangunkannya. Namun, sebelum tangannya menyentuh bahu Lyra, pandangannya tertuju pada tetes air di sudut mata gadis itu. Dengan lembut, ia mengusapnya, lalu perlahan melepas kacamata Lyra. Ia menatap wajah Lyra dengan seksama, memperhatikan setiap detail.
"Dia lumayan juga," gumam Rayyan. "Tapi, wajahnya ini terasa sangat familiar. Apa aku pernah bertemu dengannya sebelumnya?" lanjutnya sambil terus memperhatikan wajah Lyra.
Pandangannya tak sengaja jatuh pada bibir Lyra yang berwarna semerah apel. Rayyan menelan ludahnya, merasa canggung dengan situasi tersebut. Ia mendekatkan wajahnya, hingga jarak mereka hanya tersisa beberapa sentimeter. Namun, tiba-tiba ia tersadar dan segera memundurkan diri.
"Apa yang terjadi padaku?" tanyanya pada dirinya sendiri. "Ayolah, Rayyan. Kau baru bertemu dengannya dua kali. Tidak mungkin kau menyukainya, kan?" gumamnya sambil menggenggam erat kemudi.
Tiba-tiba Lyra terbangun dan menoleh, mengamati sekeliling. Ia menyadari bahwa mereka sudah sampai di depan kontrakannya.
"Kau sudah bangun," sapa Rayyan, berusaha terlihat tenang. "Aku ingin membangunkanmu tadi, tapi melihatmu tertidur pulas, aku mengurungkan niatku," lanjutnya dengan senyuman kecil.
"Maafkan aku," ucap Lyra sambil menunduk sedikit.
Lyra turun dari mobil, lalu menunduk untuk mengucapkan terima kasih atas bantuan Rayyan. Rayyan menurunkan kaca jendela mobilnya untuk membalas sapaan Lyra sebelum akhirnya pergi.
Lyra tetap berdiri di tempatnya, memandangi mobil Rayyan hingga hilang dari pandangan. Kemudian, ia masuk ke kontrakan dan langsung mengambil ponselnya. Ia berharap ada pesan dari Aira, namun tidak ada apa pun. Lyra mencoba menghubungi sahabatnya, tetapi telepon itu tidak aktif. Sepertinya ponsel Aira mati.
Lyra menarik napas panjang, lalu bergumam pelan, "Aira, aku harap kamu baik-baik saja." Ia menutup matanya, membiarkan kekhawatirannya perlahan mereda. Tidak lama kemudian, Lyra tertidur hingga pagi menjelang.
Keesokan harinya, Lyra pergi ke kantor dengan wajah penuh kecemasan. Ia mencari keberadaan Aira, bahkan memeriksa meja sahabatnya itu, namun tidak menemukan tanda-tanda kehadirannya.
Hari ini, Aira kembali tidak masuk. Beberapa rekan kerja juga menanyakan keberadaan Aira kepada Lyra, tetapi ia hanya menjawab singkat, “Aira sedang ada urusan dan kembali ke rumah orang tuanya.”
Lyra juga tidak bertemu dengan Rayyan hari itu. Padahal, Rayyan sudah berjanji untuk membantu mencari Aira dengan memanfaatkan koneksinya. Lyra berharap informasi tentang Aira bisa segera ditemukan.
Tiga hari berlalu, dan Aira masih belum muncul di kantor. Kecemasan Lyra semakin menjadi-jadi. Rayyan pun belum memberi kabar apa pun, sementara ponsel Aira tetap tidak aktif.
“Aku lupa meminta nomor Pak Rayyan. Dasar bego Lyra,” gumamnya sambil memukul kepalanya sendiri.
“Kenapa kau memukul kepalamu?” sebuah suara tiba-tiba terdengar.
Lyra langsung mengenali suara itu dan menoleh. Benar saja, sosok yang ia pikirkan baru saja muncul di hadapannya.
“Pak Rayyan!” sahut Lyra sambil berdiri tergesa-gesa.
Di sekitarnya, para karyawan mulai memperhatikan mereka.
“Wah, itu CTO perusahaan. Kenapa dia mencari Lyra? Dia tampan sekali. Aku juga ingin bicara dengannya,” bisik salah seorang rekan kerja, diikuti gumaman serupa dari yang lain.
Lyra mendadak sadar bahwa Rayyan adalah bahan gosip favorit para wanita di kantor. Kehadiran pria itu selalu menarik perhatian, dan Lyra khawatir akan menjadi pusat perhatian tak diinginkan karena ini.
“Pak, saya ingin bertanya sesuatu,” ujar Lyra, mencoba bersikap tenang.
“Kebetulan, saya juga ingin memberitahumu sesuatu. Mari bicara di ruangan saya,” balas Rayyan, lalu berbalik dan berjalan keluar ruangan.
Lyra mengikutinya dari belakang, namun langkahnya terhenti ketika sebuah suara akrab memanggil namanya.
“Araaaa!” teriak seseorang.
Lyra menoleh, begitu juga Rayyan. Sosok yang selama ini dicarinya kini muncul di hadapannya. Aira berlari ke arah Lyra dan langsung memeluknya erat.
“Ara, aku sangat merindukanmu!” ucap Aira sambil terus memeluk Lyra.
Sementara itu, Lyra hanya berdiri mematung. Aira benar-benar ada di depannya sekarang, tampak baik-baik saja. Segudang pertanyaan muncul di benaknya.
“Aira, apa kau baik-baik saja? Ke mana saja kamu beberapa hari ini?” tanya Lyra penuh rasa ingin tahu. Ia memeriksa tubuh Aira dengan seksama, memastikan sahabatnya tidak terluka.
“Aku akan menceritakannya nanti, tapi sekarang aku harus melapor dulu karena absen tanpa izin beberapa hari ini,” jawab Aira sambil mendesah kecil.
“Baiklah, aku akan menunggumu,” balas Lyra.
“Oh iya, kau mau ke mana tadi?” tanya Aira.
Lyra terdiam sejenak, lalu menoleh ke arah Rayyan. Ia tadinya mengikuti pria itu untuk menanyakan kabar tentang Aira, tapi sekarang Aira sudah di hadapannya.
“Maaf, Pak Rayyan. Tadinya saya ingin bertanya tentang Aira, tapi karena Aira sudah kembali, saya tidak jadi bertanya. Tapi tadi Bapak bilang ingin memberitahu saya sesuatu, kira-kira apa, ya?” ujar Lyra sopan.
“Oh, itu... Saya sebenarnya ingin memberi kabar tentang Aira, tapi ternyata dia sudah di sini. Hahaha,” jawab Rayyan dengan tawa canggung.
“Kalau begitu, terima kasih, Pak,” kata Lyra sambil tersenyum tipis. “Karena Aira sudah kembali, saya juga akan kembali ke ruangan.”
Aira menggandeng tangan Lyra dan mengajaknya pergi, meninggalkan Rayyan yang hanya bisa memandang mereka.
“Apa aku baru saja dicampakkan?” gumam Rayyan pelan, nada suaranya terdengar kesal.
“Dasar wanita, ada perlunya bersikap baik. Begitu tidak dibutuhkan lagi, langsung ditinggal.” Ia mendesah sambil melangkah masuk ke ruangannya, rasa jengkel masih tergambar jelas di wajahnya.