seorang wanita muda yang terjebak dalam kehidupan yang penuh rasa sakit dan kehilangan, kisah cinta yang terhalang restu membuat sepasang kekasih harus menyerah dan berakhir pada perpisahan.
namun takdir mempertemukan mereka kembali pada acara reuni SMA tujuh tahun kemudian yang membuat keduanya di tuntun kembali untuk bersama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 26
Pagi itu, Ayana sedang duduk di ruang keluarga, menikmati secangkir teh yang menghangatkan tubuhnya. Matahari pagi memancarkan sinarnya melalui jendela besar rumah Raka, tetapi suasana hatinya masih diliputi mendung. Saat ia sedang mencoba menenangkan pikirannya, bel pintu berbunyi.
Raka yang sedang bersiap untuk pergi bekerja menghampiri pintu. Tak lama kemudian, ia kembali dengan amplop cokelat di tangannya.
"Ini untukmu, Ayana," katanya seraya menyerahkan amplop itu.
Ayana merasa ada sesuatu yang berat dari amplop tersebut. Ketika ia membukanya, matanya langsung terpaku pada tulisan di bagian atas: Surat Resmi Pengacara.
Ia membaca dengan cermat, dan isi surat itu menyatakan keberatan Devano atas gugatan cerai yang diajukan Ayana. Selain itu, pengacara Devano meminta mediasi untuk membahas permasalahan ini lebih lanjut sebelum melanjutkan ke pengadilan.
Ayana menggenggam surat itu dengan erat, dadanya terasa sesak. Ia merasa seperti dipojokkan dari segala arah—oleh Devano.
Raka memperhatikan perubahan ekspresi Ayana dan duduk di sampingnya.
"Kamu tidak perlu menghadapi ini sendirian," katanya, berusaha menenangkan. "Jika mediasi itu hanya untuk membuatmu menyerah, kita akan mencari cara lain. Aku akan mendukungmu, Ayana."
Ayana tersenyum tipis, tetapi hatinya tetap gelisah. Setelah Raka pergi bekerja, ia kembali terjebak dalam pikirannya sendiri.
Di tengah perasaan tertekan, pikirannya melayang ke masa-masa ketika ia bersama Biantara. Ia mengingat senyuman hangat Biantara, cara pria itu membuatnya merasa nyaman tanpa perlu berpura-pura menjadi orang lain.
Ia juga teringat momen yang tak pernah ia rasakan bersama Devano dalam pelukan Biantara, meskipun hanya terjadi sekali tanpa kesengajaan, namun semua itu terasa seperti rumah yang selama ini ia cari.
memori itu juga membawa perasaan bersalah. Ia tidak ingin menjadi wanita yang meninggalkan seorang pria hanya untuk kembali kepada pria lain. Ia ingin perceraian ini menjadi tentang dirinya, tentang membebaskan dirinya dari hubungan yang tidak sehat.
Tetapi, bisakah ia benar-benar memulai kembali tanpa Biantara? Apakah perasaan nyaman yang ia rasakan bersamanya adalah tanda bahwa Biantara adalah jawaban atas kebahagiaannya?
Ayana menghela napas panjang. Ia tahu ia harus mengambil langkah demi langkah, meskipun jalannya terasa panjang dan penuh duri.
Saat malam tiba, Ayana memutuskan untuk menulis jurnal. Ia mencurahkan perasaannya, mencoba memilah antara keraguan dan keyakinannya sendiri. Tulisan terakhirnya berbunyi:
"Ini bukan hanya tentang cinta. Ini tentang kebebasan untuk menjadi diriku sendiri. Aku harus kuat, meskipun terasa mustahil."
akhir yang menggambarkan tekanan Ayana secara emosional dan psikologis, sekaligus menunjukkan pertarungan batinnya untuk menemukan keberanian di tengah keterpurukan.
___
Ibunda Ayana tiba-tiba muncul di rumah Raka, dengan langkah pasti dan ekspresi wajah yang tidak menunjukkan sedikit pun keraguan. Membuat ketiga orang dewasa di rumah itu terkejut begitu melihat ibunya datang tanpa pemberitahuan.
"Ibu, ada apa?" tanya Raka dengan nada agak cemas, meskipun ia sudah bisa menebak maksud kedatangan ibunya.
Ibunda Ayana tidak menjawab langsung. Ia hanya melangkah masuk dengan tegas, dan setelah pintu tertutup, ia duduk di kursi tamu dengan sikap yang tak kenal kompromi.
"Ayana," katanya, menatap Raka dengan serius. "Aku ingin bicara tentang perceraian itu."
Raka yang sudah siap dengan argumen-argumennya menghela napas dan duduk berhadapan dengan ibunya. "Ibu, aku sudah bilang, Ayana berhak menentukan jalan hidupnya. Tidak ada yang bisa dipaksakan."
Ibunda Ayana menatapnya tajam. "Jadi kamu juga berpihak pada anakmu ini, yang ingin menghancurkan keluarganya sendiri? Perceraian itu bukan solusi, Raka. Kalau memang ada masalah, seharusnya dia berdamai, bukan malah menyerah."
Raka mengerutkan dahi. "Ibu, kamu masih tidak paham? Ayana sudah lama bertahan dalam pernikahan itu. Dia sudah merasa terperangkap, menderita. Ini bukan sekadar soal masalah kecil, ini soal kebahagiaan hidupnya."
Ibunda Ayana berdiri dan berjalan ke jendela, seolah mencari sesuatu yang tidak dapat ditemukan. "Kebahagiaan? Apakah itu berarti kalau dia meninggalkan suaminya, ia akan bahagia? Ayana tidak tahu apa yang terbaik untuk dirinya. Aku yang lebih tahu."
Raka berdiri dan menatap ibunya dengan tegas. "Ibu, jangan berpura-pura peduli. ibu tidak pernah peduli pada perasaan Ayana. ibu hanya peduli pada apa yang orang lain pikirkan. Selama ini Ayana selalu dipaksa mengikuti kehendakmu, sampai dia merasa tak punya pilihan lagi."
Ibunda Ayana menoleh tajam. "Aku hanya ingin yang terbaik untuk keluarga ini, Raka! Apa yang akan dikatakan orang kalau Ayana bercerai? Kita akan dipandang rendah!"
"Dan apa yang akan terjadi pada Ayana jika dia terus terperangkap dalam pernikahan ini? Apakah itu yang terbaik untuknya?" sergah Raka. "Ibu, hidup Ayana bukan untuk dijadikan bahan pembicaraan orang lain. Dia berhak bahagia dengan pilihannya sendiri."
Ibunda Ayana tersenyum sinis. "Kebahagiaan? Ini semua tentang kebanggaan, Raka. Ayana harus belajar menerima kenyataan, karena hidup ini tidak selalu tentang keinginan pribadi."
Raka menatap ibunya dengan penuh kekecewaan. "Ibu tidak mengerti. ibu lebih peduli pada harga diri keluarga daripada kebahagiaan anak itu."
Ibunda Ayana tidak bisa lagi menahan emosinya. "Aku tidak akan membiarkan keluarga ini runtuh hanya karena keputusan sepihak Ayana. Dia harus kembali pada suaminya, dan jika kamu tidak bisa mendukung itu, maka aku akan berjuang sendirian."
Raka menatap ibunya dengan berat hati. "Aku selalu mendukung Ayana. ibu sudah tahu di pihak siapa aku. Kalau ibu benar-benar peduli padanya, biarkan dia memilih jalan hidupnya sendiri."
Ayana berdiri di balik pintu kamarnya, mendengarkan percakapan yang semakin memanas antara ibunya dan kakaknya, Raka. Setiap kata yang keluar dari mulut ibunya terasa seperti pisau yang menorehkan luka di hatinya. Tidak ada lagi kebohongan atau rasa belas kasihan—ibunya benar-benar menegaskan keinginannya untuk membatalkan perceraian itu.
Dengan hati yang semakin berat, Ayana merasakan kepalanya semakin pusing. Telinganya terfokus pada setiap kata yang terdengar, bahkan ketika ia berusaha untuk menenangkan dirinya sendiri. Ia tahu, ini adalah pertarungan besar, namun perasaan bingung dan takut masih terus menghantuinya. Mengapa ibunya tak peduli pada perasaannya? Mengapa ia terus dipaksa mengikuti keinginan orang lain?
Ayana memejamkan matanya sejenak, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang. Ia merasa terperangkap antara dua dunia—dunia yang dipaksakan oleh keluarganya, dan dunia yang ia inginkan. Namun, saat mendengar kata-kata ibunya, ia merasa semakin dikhianati. Seharusnya, sebagai seorang ibu, ibunya harusnya mendukung pilihannya, bukan terus-menerus menekan dan mencoba mengendalikan hidupnya.
Kata-kata Raka yang mendukungnya, meski penuh dengan rasa kecewa, memberi sedikit kekuatan. Namun, itu tidak mengubah kenyataan bahwa ibunya tetap tak akan berhenti menekan. Ayana menundukkan kepalanya, merasakan beban yang semakin berat. Dalam hatinya, ia mulai merasa semakin lelah dengan semua ini—dengan pengorbanan, dengan tuntutan, dengan rasa bersalah yang tak kunjung hilang.
Ketika percakapan itu selesai, Ayana tetap berdiri di balik pintu, mencerna segala yang baru saja didengarnya. Ia merasa hancur, seolah-olah ada dua dunia yang saling berbenturan di dalam dirinya. Satu sisi, ia ingin bebas dan menjalani hidup sesuai keinginannya, tetapi di sisi lain, ia tidak bisa menutup mata terhadap rasa tanggung jawab dan tekanan dari keluarganya.
Ayana perlahan-lahan berjalan mundur, meninggalkan pintu yang masih tertutup rapat, dan duduk di tepi tempat tidurnya. Di ruang itu, kesendirian terasa begitu mencekam. Ia memikirkan kembali Biantara, seseorang yang telah memberi rasa nyaman dan kebahagiaan meski dalam waktu yang singkat. Namun, ia juga memikirkan Devano, suaminya, yang terus berjuang untuk mempertahankan pernikahan yang sudah lama terasa tidak ada cinta di dalamnya.
Keputusan semakin berat, dan perasaan semakin kacau. Ayana merasa semakin terjepit, antara dua pria yang mencintai dengan cara yang berbeda, dan seorang ibu yang tak pernah berhenti mengendalikan hidupnya. Saat itu, Ayana merasa bingung lebih dari sebelumnya—apakah ia cukup kuat untuk memilih jalan yang benar bagi dirinya sendiri, atau akankah ia terus terperangkap dalam jerat yang telah dibangun oleh keluarganya?
Di luar kamar, ketegangan masih terasa. Ayana tahu, apapun yang terjadi ke depan, perjalanannya untuk menemukan kebahagiaan akan penuh dengan pengorbanan dan konflik batin. Namun, satu hal yang ia yakini adalah, ia tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang orang lain.
Ibunda Ayana berbalik dan berjalan keluar, meninggalkan Raka yang masih terdiam di ruang tamu. Sebelum keluar, ia berkata dengan nada penuh tekad, "Aku akan terus berjuang, Raka. Tidak peduli apa yang kamu pikirkan."