Naura, seorang gadis desa, terjerat cinta pria kaya raya—Bimo Raharja, saat memulai pekerjaan pertama di kota.
Pada suatu hari, ia harus menahan luka karena janji palsu akan dinikahi secara resmi harus kandas di tengah jalan, padahal ke-dua belah pihak keluarga saling mengetahui mereka telah terikat secara pernikahan agama.
"Mas Bimo, tolong jangan seperti ini ...." Naura berbicara dengan tangis tertahan.
"Aku menceraikan kamu, Naura. Maaf, tapi aku telah jatuh cinta pada wanita lain."
Baru saja dinikahi secara agama, tapi tak lama berselang Naura ditinggalkan. Masalah semakin besar ketika orang tua Naura tahu jika Bimo menghamili wanita lainnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lintang Lia Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9. Pilihan yang Menyesakkan
Suara hujan kembali terdengar di luar jendela, seakan menjadi latar musik untuk hati Naura yang semakin berkecamuk.
Setelah percakapannya dengan Bimo kemarin, ia tidak bisa tidur semalaman.
Pikirannya dipenuhi oleh pertanyaan yang tidak punya jawaban.
Apakah ia harus tetap bertahan dengan pernikahan ini, atau pergi dan memulai segalanya dari awal?
Namun, meninggalkan Bimo bukanlah keputusan yang mudah.
Meski banyak luka yang ia terima, hatinya masih menyimpan cinta untuk pria itu.
Tapi cinta saja tidak cukup, terutama ketika ia dihadapkan pada kenyataan bahwa hidupnya penuh dengan kebohongan dan pengkhianatan.
Pagi itu, Naura duduk di meja makan dengan secangkir teh yang sudah dingin.
Matanya memandangi kosong ke arah dinding, sementara pikirannya terus berputar.
Tiba-tiba, suara derit langsung kaki terdengar semakin dekat.
Lalu kemudian aroma bunga seketika memenuhi ruangan.
"Surprise!" seru Bimo membuat Naura terkejut.
Rupanya Bimo datang sambil membawa seikat bunga mawar segar berwarna merah. Seketika seulas senyuman mengembang di bibir Naura.
"Mas mencoba merayuku?" tanya Naura penuh selidik.
Belum sempat Bimo membela diri, tapi gadis itu sudah menghujani dengan kalimat lainnya.
"Bukan hal seperti ini yang kumaksud dengan keseriusan, Mas," cetusnya.
Suara Naura bahkan berubah samar. Entah apa yang dia pikirkan.
"Aku tahu, itu sebabnya aku perbaiki satu demi satu." Bimo mengeluarkan dari balik jas yang ia kenakan setelah berbicara.
Naura tercekat menatap setumpuk uang teronggok di atas meja.
"Maaf karena aku sempat berbohong kemarin. Alasan tidak ada uang. Lagipula mana ada direktur perusahaan tidak memiliki uang simpanan kecuali perusahaannya bangkrut 'kan? Aku hanya mengujimu," terangnya.
Dan jujur saja ucapan Bimo kali ini benar-benar membuat sakit di ulu hati. Rasanya seperti tertancap belati.
Naura masih diam mendengarkan. Tak ada kalimat sepatah katapun yang terucap dari bibirnya.
"Apa kamu masih menganggapku sebagai suami kamu? Pernikahan kita terjadi bukan sekedar karena aku memberikan pertolongan atas masalah keluargamu. Tapi karena Ayahku menginginkan adanya keturunan penerus generasinya. Aku ingin ketegasan, Naura." Bimo berbicara serius.
Bahkan ia tidak berkedip dalam jarak yang lumayan dekat ketika berbicara.
Rasanya, saat itu Naura seperti wanita jalang yang rela menjual harga diri demi kesembuhan ayahnya. Menyedihkan.
Namun, nasi sudah menjadi bubur.
"Apa maksudnya, Mas? Tentu saja aku masih istrimu," jawab Naura pada akhirnya.
Bimo mengesah berat sejenak, lalu ia menatap Naura dengan tatapan teduh.
"Jangan hiraukan kicauan burung di luar sana. Adanya tak lebih dari sekadar merusak hubungan kita, Nau. Kirimkan saja uangnya pada ibu, besok sore kita jenguk Ayahmu lagi," cetus Bimo sambil menggenggam tangan Naura.
Gadis itu tidak menjawab, seperti sedang menimbang pikirannya.
"Aku mandi dulu, pakaianku basah. Nanti kita bicara lagi," kata Bimo.
Pria bertubuh tegap itu akhirnya meninggalkan Naura dalam kesendiriannya.
Memang benar semua kesalahan tidak sepenuhnya terletak pada Bimo. Sudah seharusnya sejak setelah menikah Naura tinggal dan menurut terhadap suaminya.
Siang itu, Naura memutuskan untuk keluar rumah.
Ia berjalan tanpa arah, membiarkan kakinya membawa ke mana saja. Saat melewati taman kota, ia duduk di salah satu bangku dan memandangi anak-anak yang bermain di bawah sinar matahari.
Tiba-tiba, suara familiar memanggil namanya. Naura menoleh dan melihat seorang pria berdiri tidak jauh darinya.
Itu Raka, teman Bimo yang beberapa kali ia temui sebelumnya.
“Naura?” Raka berjalan mendekat dengan ekspresi prihatin.
“Apa yang kamu lakukan di sini sendirian?”
Naura tersenyum lemah. “Hanya butuh udara segar.”
Raka duduk di bangku sebelahnya.
“Kamu kelihatan tidak baik. Apa ada masalah?”
Naura terdiam, tidak tahu apakah ia harus menceritakan semuanya kepada Raka. Tapi ada sesuatu dalam cara pria itu berbicara yang membuatnya merasa nyaman.
“Raka, menurutmu... apa yang harus dilakukan seseorang ketika hidupnya penuh dengan kebohongan?” tanya Naura akhirnya.
“Aku tidak tahu detail masalahmu, tapi menurutku, tidak ada yang berhak hidup dalam kebohongan. Kalau kamu merasa tidak bisa lagi mempercayai seseorang, mungkin saatnya kamu mengambil langkah mundur dan memikirkan apa yang benar-benar kamu inginkan.”Raka menatapnya dengan serius saat berbicara.
Kata-kata itu menusuk hati Naura. Apa yang ia inginkan? Apakah ia masih ingin mempertahankan pernikahannya dengan Bimo, ataukah ia harus pergi dan mencari jalan lain?
Malam itu, Naura memutuskan untuk menghadapi Bimo sekali lagi.
Ia tidak ingin terus hidup dalam ketidakpastian.
Ketika Bimo pulang, Naura sudah menunggunya di ruang tamu.
“Mas, kita perlu bicara,” kata Naura dengan tegas.
Bimo mengangguk, meski jelas terlihat bahwa ia enggan.
“Apa yang ingin kamu bicarakan?”
Naura menatapnya dengan mata yang penuh luka.
“Mas, aku tahu semua tentang Rina dan hubungan kalian. Aku tahu tentang kebohongan yang Mas sembunyikan dariku.”
Bimo terdiam, wajahnya memucat.
“Aku hanya ingin tahu satu hal,” lanjut Naura.
“Kenapa? Kenapa Mas menikahiku kalau Mas tidak pernah benar-benar mencintaiku?”
Bimo menghela napas berat.
“Naura, aku tidak tahu harus mulai dari mana. Aku memang membuat kesalahan, tapi aku tidak pernah berniat menyakitimu. Aku hanya... terlalu takut untuk menghadapi kenyataan.”
Naura menggelengkan kepala, air mata mulai mengalir di pipinya.
“Mas, itu bukan alasan. Aku sudah memberikan segalanya untuk pernikahan ini, tapi apa yang aku dapatkan? Hanya rasa sakit.”
Bimo mencoba meraih tangan Naura, tapi gadis itu menariknya.
“Naura, aku minta maaf. Aku benar-benar ingin memperbaiki semuanya.”
“Terlambat, Mas,” jawab Naura dengan suara bergetar.
“Aku tidak tahu apakah aku bisa mempercayai Mas lagi.”
"Ada apa denganmu? Bukankah sebelum ini kita sudah mencapai kata sepakat? Siapa yang baru saja kamu temui, Naura? Siapa yang menebar racun di pikiranmu?" Kening Bimo berkerut ketika berbicara.
Ia terlihat begitu marah dengan pertanyaan Naura. Bagaimana tidak? Gadis itu terkesan mengungkit-ungkit kesalahan masa lalu Bimo.
"Tidak ada aku hanya sedang kesal. Baik, aku beri Mas Bimo kesempatan. Tapi aku mau, Mas nikahi aku secara resmi setelah ini," pinta Naura.
Bimo tersenyum tipis.
"Setelah menjenguk Ayahmu, kupertemukan kamu dengan keluarga besarku," ungkap Bimo.
Lalu pria itu meminta Naura segera berkemas.
Keesokan paginya, Naura kembali ke desa untuk menjenguk ayahnya.
Namun, saat ia tiba, kondisinya semakin memburuk. Dokter yang datang memeriksa mengatakan bahwa ayahnya harus segera dibawa ke rumah sakit jika ingin selamat.
“Ayah tidak apa-apa, Nak,” kata ayahnya dengan suara lemah.
“Jangan memaksakan diri.”
Naura menggenggam tangan ayahnya erat, air mata mengalir di pipinya.
“Aku tidak akan membiarkan Ayah pergi. Aku akan melakukan apa saja untuk menyelamatkan Ayah.”
Ia merasa seperti sedang berjalan di atas tali tipis, dengan jurang di kedua sisinya. Tapi ia tahu, ini adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan ayahnya.
(Bersambung)
si Naura pun bodoh juga Uda di ingatkan