NovelToon NovelToon
PONDOK MERTUA

PONDOK MERTUA

Status: sedang berlangsung
Genre:Mengubah Takdir / Identitas Tersembunyi / Fantasi Wanita / Pembaca Pikiran
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Rahmadaniah

Nisa anak sulung dari lima bersaudara, dipersunting oleh pria bernama Akil, Nisa berharap pernikahannya membawa perubahan pada keluarganya, Setelah sah sebagai suami istri, Akil memboyong Istrinya (Nisa) kerumah orangtuanya. Di pondok Mertua Nisa banyak menghadapi problem rumah tangga, kesabarannya runtuh setelah 11 tahun berumah tangga, bahkan Ia merasa rumah tangganya belum terbentuk. Hingga suatu ketika Nisa memutuskan untuk mengalah dan kembali ke rumah orangtuanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rahmadaniah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 10

Pagi itu, Nisa sedang merapikan ruang tamu ketika suara tawa kecil terdengar dari dapur. Ia mengenali suara itu—ibu mertuanya dan kakak iparnya, Sahra. Mereka tampak sedang bercanda dan bercakap-cakap sambil menyiapkan sarapan. Langkah Nisa terhenti, dan tanpa sengaja, ia mendengar percakapan mereka.

“Aduh, Nisa kemarin lucu sekali,” kata Sahra di sela tawanya. “Dia sudah semangat mau masak buat Akil, tapi waktu Ibu minta dia berhenti, mukanya langsung berubah!”

Ibu mertuanya ikut tertawa kecil. “Iya, kasihan juga, tapi… masih baru di sini, ya, jadi belum tahu ritme di rumah. Belum terbiasa saja,” ujar ibunya sambil mengaduk panci. “Akil kan sejak kecil sukanya makan masakan Ibu, jadi ya Ibu masih pengen masak buat anak laki-laki satu-satunya.”

Mendengar itu, Nisa merasa dadanya sedikit sesak. Kata-kata mereka terasa menyentuh hatinya. Ia hanya ingin menjadi istri yang baik bagi Akil, tapi ternyata upayanya justru menjadi bahan candaan. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menyingkirkan perasaan kecewa yang perlahan mengisi hatinya.

Nisa kembali melanjutkan pekerjaannya, berusaha tetap tenang meski hatinya sedikit tersayat. Ia tak ingin menunjukkan perasaannya pada suaminya atau keluarga mertuanya, tak ingin menimbulkan konflik atau kesan buruk. Bagaimanapun juga, mereka adalah keluarga suaminya, dan ia ingin menjalin hubungan baik dengan mereka.

Beberapa saat kemudian, ibu mertuanya keluar dari dapur, melihat Nisa yang sedang sibuk merapikan kursi. “Nisa, kamu sudah sarapan, Nak?” tanyanya ramah.

Nisa tersenyum dan mengangguk sopan. “Sudah, Bu. Terima kasih.” Meski ada sedikit rasa canggung, Nisa tetap berusaha menunjukkan senyuman terbaiknya.

Sahra pun menyusul keluar, tersenyum padanya. “Nisa, nanti kalau ada yang perlu dibantu, jangan sungkan, ya,” ucapnya ringan.

“Iya, Kak,” jawab Nisa dengan senyum kecil. Meskipun hatinya masih terasa berat, ia memutuskan untuk tidak mempermasalahkan percakapan yang tadi didengar,

Sahra keluar dari rumah sambil membawa beberapa kantong belanja. Ia berhenti sejenak di teras dan bertegur sapa dengan salah satu tetangga yang sedang melintas.

“Wah, pagi-pagi sudah sibuk, ya, Mbak Sahra?” sapa tetangganya ramah.

Sahra tersenyum, lalu melirik sekilas ke arah rumah di mana Nisa masih sibuk di ruang tamu. Dengan nada setengah bercanda, ia menjawab, “Iya, Mbak. Sekarang di rumah ada yang sok rajin, jadi semuanya terasa lebih… sibuk.”

Tetangganya tertawa kecil, tak menyadari maksud tersembunyi dalam kata-kata Sahra. Namun, Nisa yang tanpa sengaja mendengar dari dalam rumah, langsung tertegun. Kata-kata "sok rajin" itu bagai duri yang menusuk hati. Meski Sahra mengatakan itu seolah bercanda, Nisa menyadari bahwa mungkin dirinya belum sepenuhnya diterima di rumah ini.

Nisa berpura-pura tetap sibuk dengan pekerjaannya, menyembunyikan perasaan yang mulai bercampur aduk antara canggung dan kecewa. Tak ingin membuat masalah, ia tetap menunduk dan merapikan ruang tamu, mengabaikan kata-kata yang ia dengar.

Tak lama kemudian, ibu mertuanya muncul di ruang tamu, membawa secangkir teh. “Nisa, istirahat dulu, jangan terlalu capek. Biar ibu saja yang melanjutkan.”

Nisa tersenyum tipis, berusaha menghargai kebaikan yang tampak dalam kata-kata ibu mertuanya. “Terima kasih, Bu. Saya tidak apa-apa, hanya ingin memastikan ruang tamu rapi.”

Ibu mertuanya mengangguk sambil mengamati pekerjaan Nisa, namun ada pandangan sekilas yang sulit diartikan. Nisa bisa merasakannya, seperti ada jarak yang belum bisa ia tembus, meskipun ia sudah berusaha sebaik mungkin.

Di dalam hatinya, Nisa bertekad untuk tetap sabar dan berusaha menjaga suasana baik dalam keluarga suaminya. Namun, rasa sakit itu tetap ada, seakan sebuah pengingat bahwa jalan untuk diterima sepenuhnya di sini masih panjang.

___

Akil mengajak Nisa untuk keluar berbelanja kebutuhan bulanan. Mereka bersiap dengan semangat, merencanakan apa saja yang perlu dibeli untuk memenuhi kebutuhan rumah mereka selama sebulan. Nisa merasa senang bisa pergi berdua dengan suaminya lagi, meskipun hanya untuk berbelanja.

Namun, saat mereka hendak melangkah keluar, ibu mertua memanggil mereka dari ruang tengah. Wajahnya terlihat sedikitu. kurang senang.

“Akil, Nisa… mau ke mana lagi?” tanyanya dengan nada halus, namun ada kekhawatiran tersirat di balik suaranya.

Akil tersenyum, menjelaskan dengan tenang, “Kami mau belanja kebutuhan bulanan, Bu. Ada beberapa keperluan yang sudah habis.”

Ibu mertua mengangguk, namun pandangannya tak bisa menyembunyikan perasaan ragu. “Ya, tapi jangan terlalu sering jalan-jalan ke luar, Nak. Baru kemarin kalian sudah pergi, sekarang mau keluar lagi,” ujarnya, seolah menegur dengan halus.

Nisa merasakan teguran itu, dan menunduk diam-diam. Akil, yang menyadari perubahan ekspresi ibunya, mendekati beliau dengan sikap tenang.

“Bu, ini hanya belanja bulanan, kok. Kami tidak akan lama, dan kebutuhannya juga untuk di rumah,” jelasnya dengan lembut, berusaha meyakinkan ibunya.

Ibu mertua akhirnya mengangguk perlahan, meskipun ekspresi wajahnya masih menunjukkan sedikit ketidakpuasan. Akil menepuk tangan Nisa pelan, mengisyaratkan agar mereka tetap pergi.

Di perjalanan menuju toko, Nisa tampak sedikit murung, merasa bahwa keberadaannya mungkin masih harus beradaptasi dengan kebiasaan keluarga Akil. Akil pun menggenggam tangannya erat, memberinya senyuman menenangkan.

“Tidak apa-apa, Sayang. Nanti ibu juga akan mengerti,” ucapnya lembut, membuat Nisa merasa sedikit lebih tenang.

1
Lala lala
bukan halo nisa...baiknya saat nelp..assalamualaikum nisa, apa kabar..
Rahmadaniah: terimakasih kasih saran nya 🫰🏻🙏🏻
total 1 replies
Rahmadaniah
makasih kak🙏🏾.
Rahmadaniah
mkasih kak 🙏🏾.
Rahmadaniah
makasih kak udh mampir baca
Amalia Mirfada
merasakan getaran emosi dalam setiap kata.
Rara Makulua
Terbaik! Worth to read!
Mưa buồn
Karya yang bagus buat dibaca berulang-ulang, makasih author! 😍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!