Di sebuah desa kecil bernama Pasir, Fatur, seorang pemuda kutu buku, harus menghadapi kehidupan yang sulit. Sering di bully, di tinggal oleh kedua orang tuanya yang bercerai, harus berpisah dengan adik-adiknya selama bertahun-tahun. Kehidupan di desa Pasir, tidak pernah sederhana. Ada rahasia kelam, yang tersembunyi dibalik ketenangan yang muncul dipermukaan. Fatur terjebak dalam lorong kehidupan yang penuh teka-teki, intrik, kematian, dan penderitaan bathin.
Hasan, ayah Fatur, adalah dalang dari masalah yang terjadi di desa Pasir. Selain beliau seorang pemarah, bikin onar, ternyata dia juga menyimpan rahasia besar yang tidak diketahui oleh keluarganya. Fatur sebagai anak, memendam kebencian terhadap sang ayah, karena berselingkuh dengan pacarnya sendiri bernama Eva. Hubungan Hasan dan Fatur tidak pernah baik-baik saja, saat Fatur memutuskan untuk tidak mau lagi menjadi anak Hasan Bahri. Baginya, Hasan adalah sosok ayah yang gagal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miftahur Rahmi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Harapan Baru
"Lihat lah As, pria bajingan ini setelah di tinggalkan dirimu..." ujar Fatur getir berlutut di tengah jalan. Orang-orang yang melewatinya menatapnya aneh, dan ada juga yang mengangapnya gila. Sungguh miris, emang.
"Apa jadinya aku tanpa dirimu As! Aku di tinggalkan oleh umi, adik-adikku, ayahku, bahkan pacarku sendiri... Menyedihkan sekali hidup pria bajingan ini As..." Fatur memukul-mukul jalan berbatu berkali-kali. Nampak dari wajahnya keputusasaan.
"As, aku ingin bersamamu! Aku ingin mati saja As! Untuk apa aku hidup, jika hidupku tidak berguna bagiku dan orang lain! Kenapa orang-orang sepertiku hidupnya selalu lama, dan terus dihinggapi masalah? Sesayang itu Tuhan padaku sehingga terus memberiku duka..." Fatur nampak frustasi.
Tangannya bergetar menahan amarah. Dadanya sesak. Dia ingin menangis! Dia ingin pundak seseorang untuk dia bersandar. Tapi kapan? Kapan akan ada pundak yang bersedia untuk tempat dirinya bersandar. Dia merasa tidak berguna. Hidup menyusahkan orang, mati menyusahkan Tuhan.
Flashback
Fatur sangat terpukul kehilangan Astuti. Airmatanya sudah tidak lagi bisa dibendung saat jenazah Astuti diturunkan ke liang lahat. Matanya tak berpaling, fokus memandang jenazah Astuti.
Setelah pemakaman selesai. Saat semua orang sudah meninggalkan makam. Ayah dan ibu Astuti juga Fatur masih duduk di samping makam. Mereka membaca surah yassin. Fatur mengusap-usap batu nisan yang bertulisan nama Astuti. Menciumnya dalam diam.
"Aku akan membuat perhitungan dengan Vino! Dan aku akan membunuhnya As. Itu janjiku!" bisik Fatur. Fatur dengan tenang menyelesaikan membaca surah yassin nya.
"Terima kasih sudah selalu berbuat baik pada pria bajingan ini. Maaf aku selalu membuatmu terlibat dalam masalahku. Aku akan menebus kematianmu. Aku bersumpah, akan membuat dia merasakan apa yang kamu rasakan. Kematian harus dibayar kematian juga." Fatur mengusap air matanya, dengan cepat. Terdengar isakan tangis yang tertahan. Bu Milla mengusap-usap pundak Fatur perlahan.
"Sabar ya nak. Lepaskan kepergian As dengan ikhlas." ujar ibunya Astuti menenangkan Fatur. Fatur berdiri dengan sempoyongan.
"Aku tidak akan membiarkan siapapun pembunuhnya hidup dengan tenang." Fatur menunjuk kearah makam Astuti.
"Dan aku bersumpah. Besok akan ada pemakaman lagi..." jawab Fatur tegas. Setelah berkata-katan seperti itu, dia segera meninggalkan makam. Dia mengusap airmatanya, yang terus mengalir di pipinya.
"Entah kutukan apa lagi yang sekarang ku hadapi. Kedua orang tua ku bercerai, adik-adikku menghilang dan belum ditemukan, dan sekarang aku harus kehilangan sahabat yang baik seperti mu As. Sahabat yang selalu berbuat baik padaku. Saking baiknya, kau rela terbunuh oleh tangan biadab Vino." lirih Fatur. Dia menghela napas panjang. Airmatanya membanjiri wajahnya. Dia berlutut dengan pasrah.
"Tuhan. Aku ingin sedikit kebaikanmu. Berikan aku sedikit pencerahan dalam hidupku, Tuhan. Ku mohon..." dalam diam dia meninju jalan berbatu. Membuat tangannya mengeluarkan darah. Dia melirik tangannya yang pecah-pecah mengeluarkan darah itu. Dia menyeringai.
"Rasa sakit ini tidak berarti sama sekali jika dibandingakan rasa sakit yang kuhadapi selama ini. Kau pantas mendapatkannya Fatur. Kau pantas mendapatkan derita yang tak pernah usai ini." Fatur tertunduk lemas meratapi masalah yang tak berujung.
Di sekolah Sma 2 yang ada di Bagan Siapi-Api, sebelum kematian Vino dan Astuti.
Setelah kejadian orang-orang selalu membullynya dan perceraian orang tuanya, Fatur bertekad akan membuat orang-orang berpikir dua kali jika ingin membullynya lagi.
Fatur berjalan keluar dari kelas, langkahnya terasa berat, namun ada perasaan aneh yang mengisi dadanya.
Saat Fatur bergelut dengan pikirannya, ia melihat Riko berdiri tak jauh darinya. Riko tampak ketakutan, matanya berkilat-kilat, dan ia terlihat ragu untuk melarikan diri. Namun, sebelum Riko sempat berbuat apa-apa, Fatur dengan cepat menarik ujung baju Riko dari belakang.
"Mana uangmu?" suara Fatur terdengar tegas, dengan nada yang sengaja dibuat mengintimidasi.
"Fatur, kamu nggak seharusnya mengambil uang Riko. Itu salah." ujar Astuti memperingati Fatur.
"Jangan ikut campur, Astuti. Ini bukan urusanmu." jawab Fatur dengan nada mengintimidasi.
"Aku harus ikut campur kalau ini menyangkut ketenangan di sekolah ni." jawab Astuti tegas.
"Kamu pikir aku takut dengamu? Kalau aku mau, aku bisa bikin kamu nggak pernah berani buka mulut lagi."
"Coba saja! Kalau perlu, aku akan laporkan ini ke dosen sekarang juga!" jawab Astuti.
Fatur mendekat dengan tatapan tajam "Kamu mau cari masalah, ya?"
"Aku serius, Astuti. Jangan buat aku melakukan sesuatu yang kamu sesali." tatapan tajam Fatur membuat Astuti sedikit gemetar, tapi dia tetap berdiri tegak. Dia menolak untuk mundur, meski tahu risikonya. Di sudut ruangan, beberapa siswa lain mulai memperhatikan, tapi tak satu pun yang berani mendekat.
"Aku nggak peduli, Fat. Kamu salah, dan kamu harus berhenti!"
Riko menarik tangan Astuti "Astuti, sudah cukup. Jangan buat keadaan makin buruk. Aku nggak apa-apa kehilangan uang itu."
"Tapi ini bukan soal uang, Riko. Ini soal benar atau salah!" jawab Astuti
"Cepat! Mana uangnya, jangan buang waktuku..." bentak Fatur kemudian.
Riko, yang sebelumnya tampak takut dan enggan, akhirnya memberikan uang itu. Fatur bisa merasakan kegelisahan dalam hati Riko, tapi entah kenapa, ia merasa seperti tidak punya pilihan lain. Uang itu bukan hanya tentang kebutuhan, tetapi tentang keinginan untuk mendapatkan sesuatu yang lebih dari sekadar kehidupan yang penuh penghakiman dan penindasan.
Riko dengan cepat menarik tangan Astuti, menjauhkannya dari Fatur.
"Kamu jahat, Fatur..." suara Astuti terdengar penuh kemarahan. Lalu mereka meninggalkan Fatur.
Di sepanjang jalan menuju rumah, pikirannya terus terputar. "Kenapa aku harus seperti ini?" batinnya. "Kenapa aku selalu merasa terjebak antara kebenaran dan kebutuhan? Aku hanya ingin hidup yang lebih baik."
Saat ia sampai di rumah, Fatur melemparkan tasnya ke sudut ruangan dan duduk di kursi kayu tua. Ia menatap uang yang ada di tangannya, selembar uang yang ia ambil dengan cara yang tidak seharusnya. Sejenak, ia merasa cemas. Tetapi kemudian, rasa cemas itu berubah menjadi sebuah perasaan yang lebih besar, lebih dalam. Seperti ada kekuatan yang mendorongnya untuk terus maju, untuk tidak menyerah pada keadaan.
"Uang ini... apakah ini berarti kesempatan baru? Ataukah hanya akan membawa lebih banyak masalah?" pikirnya, menatap uang itu lebih lama.
Fatur meraih ponselnya yang sudah mulai usang dan menghubungi Agus.“Agus, aku butuh bantuanmu. Ada sesuatu yang harus aku selesaikan.”
Agus yang selalu menjadi teman baiknya di masa lalu, tidak langsung menjawab. Terdengar suara Agus yang agak bingung, “Fatur, ada apa? Apa yang terjadi?”
"Ini bukan hal besar, cuma... aku harus pastikan semuanya beres," jawab Fatur ragu.
"Aku butuh kamu untuk membantu menulis sebuah cerita. Aku ingin menunjukkan bahwa aku bisa, walaupun dengan cara yang... tidak biasa."
Agus terdiam sejenak. "Kamu yakin?" tanya Agus, sedikit khawatir.
"Ya, aku yakin," jawab Fatur tegas. "Aku akan gunakan kesempatan ini untuk sesuatu yang lebih besar. Aku akan buktikan, aku bukan orang yang mudah dihancurkan."
Fatur memutuskan sambungan telepon itu dan menyandarkan tubuhnya pada kursi. Ia merasa seolah ada sebuah langkah baru yang mulai ia ambil, meski masih penuh ketidakpastian. Di dalam hatinya, ia tahu ini mungkin hanya awal dari sesuatu yang lebih rumit. Namun, satu hal yang pasti: Fatur tak akan membiarkan dirinya dihancurkan begitu saja. Dia akan melawan.
Fatur duduk di pojok ruangannya, matanya tertuju pada selembar kertas kosong yang tergeletak di depannya. Dia merasa ada banyak cerita yang ingin ditulis, tetapi kata-kata terasa begitu sulit untuk disusun. Ia menghela napas, menatap pena di tangannya sejenak sebelum kembali menatap kertas tersebut dengan perasaan kosong.
Saat itu, Agus datang menghampiri. Melihat Fatur yang tampak bingung, Agus langsung bertanya,“Kenapa, Fat? Lagi berpikir keras ya?”
Fatur mengangguk pelan.“Aku ingin menulis, Agus. Tapi aku bingung harus mulai dari mana. Rasanya semua ide yang ada di kepala jadi berantakan.”
Agus tersenyum, mengerti perasaan sahabatnya.“Gampang kok, Fat. Coba aja tulis apa yang kamu rasakan. Jangan terlalu mikirin struktur atau tata bahasa dulu. Kita bisa rapikan nanti.”
Fatur sedikit tersenyum, merasa sedikit lega mendengar kata-kata Agus.“Tapi… aku nggak pede kalau tulisan tanganku. Nanti kelihatan jelek.”
“Eh, itu kan cuma tulisan. Aku bisa bantu nulis ulang, kok. Yang penting kamu mulai dulu aja. Kalau sudah jadi, kita bisa rapikan bersama.”
Fatur memandang Agus dengan ragu. Namun, mendengar keyakinan dalam suara Agus, dia akhirnya setuju. “Oke, aku coba dulu. Tapi kamu bantu ya?”
“Siap, Fat! Aku bantu. Coba aja, jangan takut. Semua penulis besar juga mulai dari langkah pertama.”
Dengan semangat baru, Fatur mulai menulis kalimat pertama. Meskipun masih terasa canggung, namun sedikit demi sedikit, kata-kata itu mulai mengalir. Agus duduk di sampingnya, sesekali memberikan semangat dan saran. Fatur merasa ada harapan baru, dan mungkin, ini adalah awal dari impian besar yang akan dia kejar.