Di sebuah taman kecil di sudut kota, Sierra dan Arka pertama kali bertemu. Dari obrolan sederhana, tumbuhlah persahabatan yang hangat. Setiap momen di taman itu menjadi kenangan, mempererat hubungan mereka seiring waktu berjalan. Namun, saat mereka beranjak remaja, Sierra mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Perasaan cemburu tak terduga muncul setiap kali Arka terlihat akrab dengan gadis lain. Akankah persahabatan mereka tetap utuh, ataukah perasaan yang tumbuh diam-diam akan mengubah segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon winsmoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Siera akhirnya menoleh, menatap Arka dengan mata yang dingin, namun ada kilatan emosi yang tidak bisa ia sembunyikan. "Jadi itu alasan lo diemin gue dan pergi gitu aja?" tanyanya lirih, suaranya bergetar meskipun ia berusaha terdengar tegas.
Arka menelan ludah, merasa hatinya semakin berat. "Iya, Sie. Tapi aku nggak pernah bermaksud ninggalin kamu sepenuhnya. Aku cuma..." Kalimatnya menggantung di udara, seolah menunggu pengampunan yang mungkin tidak akan datang.
Siera menghela napas panjang, matanya kembali menatap tanah. "Lo nggak pernah kasih gue pilihan, Ka. Lo langsung buat jarak dan pergi, terus gue harus belajar menerima semuanya sendirian."
Kata-kata itu menusuk hati Arka lebih dalam daripada yang ia duga. Ia tahu tidak ada permintaan maaf yang cukup untuk memperbaiki semua luka yang telah ia sebabkan. Namun, ia tetap mencoba. "Sie, aku sadar cara aku dulu itu salah banget. Aku minta maaf, Sie. Aku bener-bener menyesal."
"Ka..." Siera menggantungkan ucapannya. Arka menatapnya dengan intens, mencoba menangkap apapun yang ingin Siera ungkapkan.
"Lo tau nggak, waktu itu kita bertengkar cuma karena hal yang lo anggap sepele. Terus lo diemin gue, menjauh dari gue, dan pergi menghilang tanpa jejak. Lo nggak mikirin perasaan gue gimana waktu itu?" Suara Siera meninggi, penuh dengan amarah dan kekecewaan yang telah ia pendam selama ini.
Arka hanya diam, membiarkan Siera meluapkan semua yang ada di hatinya.
"Ka, gue marah banget. Gue kesel sama lo. Lo nyepelein gue. Apa susahnya sih buat komunikasi?!" lanjut Siera, kini matanya berkaca-kaca. "Kenapa lo nggak langsung ngomong ke gue dulu? Mungkin maksud lo baik, tapi cara lo salah, Ka. Salah banget."
Arka menghela napas dalam-dalam, suaranya lirih saat ia mulai berbicara lagi. "Aku tau, Sie. Aku tau aku salah. Aku takut waktu itu. Aku takut kalau aku ngomong langsung, aku malah bikin lo lebih sakit. aku pikir menjauh itu jalan terbaik. Tapi ternyata aku salah besar."
Siera menatapnya tajam, meski air mata mulai menggenang di sudut matanya. Suaranya bergetar, namun tak kehilangan ketegasan. "Lo tahu nggak, Ka? Jarak yang lo buat itu nggak bikin gue mandiri. Itu cuma bikin gue ngerasa sendirian. Gue belajar bertahan bukan karena gue kuat, tapi karena gue nggak punya pilihan lain."
Air mata pertama akhirnya jatuh, namun ia tak berhenti. "Lo tau nggak rasanya pulang sekolah sendirian? Berdiri di pinggir jalan, nyetop angkot sambil ngerasa kangen sama sahabat yang selalu ada buat gue, tapi tiba-tiba menjauh? Gue ngerasa kehilangan lo, Ka. Nggak cuma sahabat, tapi bagian dari hidup gue."
Siera menggeleng pelan, mencoba menahan sesak di dadanya. "Waktu gue nangis sendirian di kamar karena gue takut salah pilih jurusan kuliah, gue berharap lo ada buat dengerin. Waktu gue jatuh pas belajar naik motor karena nggak ada yang nganterin gue lagi, gue pengen lo datang, meski cuma buat bilang gue bisa. Waktu gue bangun bisnis gue, Ka, dan gagal berkali-kali... gue cuma butuh satu kalimat, ‘Lo bisa, Sie.’ Tapi lo dimana?"
Tangisnya pecah, dan ia mulai terisak. "Lo ninggalin gue, Ka... saat gue lagi butuh lo. Lo bilang lo takut nyakitin gue? Tapi tau nggak? Jarak itu yang paling nyakitin. Gue marah, gue kecewa, tapi lebih dari itu... gue ngerasa nggak berarti buat lo."
Arka tertunduk, seolah setiap kata dari Siera adalah beban yang menghujam dadanya. Ia mengangguk pelan, menerima setiap kalimat yang keluar dari mulut Siera. "Nggak Sie, kamu sangat berarti buat aku. Maaf Sie, aku nggak bisa ubah apa yang udah aku lakuin dulu. Tapi aku di sini sekarang. Aku cuma pengin kamu tahu kalau aku masih peduli sama kamu. Selalu."
Siera mengusap air matanya, mencoba menenangkan dirinya. "Arka, gue nggak tau gue bisa maafin lo atau nggak. Tapi gue cuma butuh waktu. Lo kasih gue waktu buat ngerti semuanya, buat ngerti diri gue sendiri."
Arka mengangguk lagi, kali ini lebih tegas. "Gue akan tunggu, Sie. Seberapa lama pun itu, gue akan tunggu."
Malam itu, meskipun masih ada jarak di antara mereka, setidaknya percakapan ini menjadi awal untuk memperbaiki sesuatu yang pernah rusak. Udara taman yang dingin terasa sedikit lebih hangat, seiring perasaan Siera yang mulai mereda.
Setelah berbicara dengan Arka, ada sedikit perasaan lega yang menyelinap dalam hati Siera. Sebagian besar pertanyaan yang menghantuinya selama ini kini terjawab. Meski demikian, ia tahu dirinya belum sepenuhnya siap untuk memaafkan dan melupakan. Luka itu masih ada, dan waktu adalah satu-satunya cara untuk mengobatinya.
Siera memejamkan mata sejenak, membiarkan pikirannya berputar pada semua hal yang telah mereka bicarakan. Bagaimanapun, Arka tidak seharusnya meninggalkannya begitu saja tanpa penjelasan. Ia bisa saja memberi tahu Siera tentang rencananya sejak awal. Jika itu terjadi, mungkin Siera akan lebih mudah memahami, mungkin ia bisa lebih siap menerima kenyataan.
Namun kini, semua sudah berlalu. Tidak ada gunanya terus mengutuk masa lalu. Keputusan-keputusan yang mereka buat waktu itu, benar atau salah, telah membawa mereka pada momen ini. Momen di mana mereka mencoba memahami satu sama lain meskipun semuanya tidak lagi seperti dulu.
Siera baru saja merebahkan tubuhnya di atas kasur ketika sebuah notifikasi muncul di layar ponselnya. Pesan dari Arka.
"Sie, aku udah sampai di rumah."
Pesan singkat itu membuat Siera menghela napas panjang. Setelah mengantarnya pulang tadi, Arka langsung bergegas kembali ke rumahnya. Sikapnya malam ini terasa berbeda, lebih lembut, lebih perhatian. Namun, Siera tahu bahwa semua itu tidak cukup untuk menghapus rasa kecewa yang telah tertanam begitu dalam selama ini.
Ia menatap layar ponselnya sejenak, membaca pesan dari Arka dengan hati yang masih ragu. Namun, tidak ada dorongan untuk membalas. Siera hanya membaca pesan itu, lalu meletakkan ponselnya kembali di meja samping tempat tidur.
Pikirannya berkecamuk. Sebagian dirinya ingin mempercayai Arka lagi, tetapi sebagian lainnya masih terjebak dalam luka yang belum sepenuhnya sembuh. "Apakah sikap perhatian ini akan bertahan, atau hanya sementara? Atau ini hanya salah satu cara yang Arka lakukan agar perjodohan itu terjadi?" pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar dalam pikirannya.
Malam itu, perasaan lega bercampur dengan rasa gamang yang sulit ia definisikan. Ia mencoba menenangkan dirinya, menyadari bahwa memaafkan tidak akan semudah membalikkan telapak tangan.
Di sisi lain, ponsel Arka bergetar di atas meja kecil di ruang tamu rumahnya. Ia sempat mengecek layar, berharap balasan dari Siera. Namun, tidak ada pesan masuk. Hanya notifikasi lain yang tidak begitu penting.
Arka menyandarkan tubuhnya, menghela napas berat. "Mungkin memang butuh waktu," pikirnya, mencoba memahami situasi dari sisi Siera. Ia tidak ingin memaksakan apa pun. Yang ia tahu, malam ini adalah awal dari sebuah perjalanan panjang untuk memperbaiki kesalahan yang pernah ia buat.
Di bawah langit malam yang sunyi, keduanya berada di tempat yang berbeda, namun dengan perasaan yang sama, terjebak di antara harapan untuk memperbaiki dan kenyataan yang sulit diabaikan.