Di tahun 2145, dunia yang pernah subur berubah menjadi neraka yang tandus. Bumi telah menyerah pada keserakahan manusia, hancur oleh perang nuklir, perubahan iklim yang tak terkendali, dan bencana alam yang merajalela. Langit dipenuhi asap pekat, daratan terbelah oleh gempa, dan peradaban runtuh dalam kekacauan.
Di tengah kehancuran ini, seorang ilmuwan bernama Dr. Elara Wu berjuang untuk menyelamatkan sisa-sisa umat manusia. Dia menemukan petunjuk tentang sebuah koloni rahasia di planet lain, yang dibangun oleh kelompok elite sebelum kehancuran. Namun, akses ke koloni tersebut membutuhkan kunci berupa perangkat kuno yang tersembunyi di jantung kota yang sekarang menjadi reruntuhan.
Elara bergabung dengan Orion, seorang mantan tentara yang kehilangan keluarganya dalam perang terakhir. Bersama, mereka harus melawan kelompok anarkis yang memanfaatkan kekacauan, menghadapi cuaca ekstrem, dan menemukan kembali harapan di dunia yang hampir tanpa masa depan.
Apakah Elara dan Orion mampu m
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7: Perlombaan dengan Maut
Langit malam semakin kelam, dan hutan mati di sekeliling mereka terasa menutup, seperti perangkap yang menunggu untuk menghabisi siapa saja yang berani melewatinya. Elara dan Orion berjalan dengan langkah tergesa-gesa, saling menopang untuk tetap bergerak maju. Di tangan Elara, tablet terus menyala, menunjukkan arah ke Eden, tujuan yang kini terasa seperti garis akhir dalam perlombaan hidup dan mati.
“Berapa jauh lagi?” tanya Orion, suaranya serak karena lelah dan sakit. Luka di bahunya terus berdarah meskipun sudah dibalut seadanya.
“Dua kilometer,” jawab Elara singkat, matanya tidak pernah lepas dari layar tablet. Tapi dia tahu perjalanan itu tidak akan mudah. Dibalik keheningan hutan, bahaya selalu mengintai.
Tiba-tiba, Orion menghentikan langkahnya. “Diam,” bisiknya sambil menegakkan tubuh.
Elara menahan napas, telinganya berusaha menangkap suara yang mengganggu keheningan. Dari arah utara, terdengar gemerisik dedaunan dan langkah-langkah berat yang mendekat. Orion langsung menarik Elara ke balik pohon besar.
“Mutan?” tanya Elara dengan suara rendah.
“Bukan,” jawab Orion sambil mengintip dari balik pohon. “Mereka manusia... para anarkis.”
Elara mengintip dari sela-sela ranting dan melihat sekelompok anarkis bersenjata lengkap. Mereka membawa anjing pelacak dan drone kecil yang berputar-putar di atas kepala mereka. Tidak ada waktu untuk melawan, tidak dalam kondisi seperti ini.
“Kita harus menghindari mereka,” kata Orion pelan.
“Tapi bagaimana?” Elara membalas. “Mereka punya pelacak. Jika kita tetap di sini, mereka akan menemukan kita.”
Orion mengerutkan kening, berpikir cepat. “Ada sungai kecil tidak jauh dari sini. Air bisa menyembunyikan jejak kita dari anjing-anjing itu. Kita harus bergerak sekarang.”
Elara mengangguk, mengikuti Orion yang mulai merangkak dengan hati-hati menjauh dari para anarkis. Setiap langkah terasa berat, dan mereka harus berhenti berkali-kali untuk memastikan tidak ada yang melihat mereka.
---
Suara air akhirnya terdengar, seperti harapan kecil di tengah ancaman yang mengintai. Sungai itu tidak lebar, tapi arusnya cukup deras. Orion memimpin, masuk ke dalam air hingga setinggi pinggang, dan mengisyaratkan Elara untuk mengikutinya.
“Arus ini akan membawa kita menjauh dari jalur mereka,” jelasnya. “Kita hanya perlu mengikuti aliran air tanpa membuat terlalu banyak suara.”
Mereka melangkah pelan, membiarkan arus membawa tubuh mereka. Dinginnya air menusuk tulang, membuat tubuh Elara gemetar hebat. Tapi dia tidak mengeluh. Dia tahu ini satu-satunya cara untuk bertahan.
Beberapa menit berlalu tanpa insiden, tapi ketenangan itu tidak bertahan lama. Dari kejauhan, mereka mendengar suara drone semakin dekat. Orion memandang sekeliling, mencari tempat untuk bersembunyi.
“Di sana,” katanya sambil menunjuk ke tumpukan batu besar di tepi sungai. Mereka segera merapat ke sana, berusaha menghindari sorotan lampu drone yang semakin mendekat.
Namun, tiba-tiba salah satu drone berhenti tepat di atas mereka. Suaranya yang berdengung membuat jantung Elara hampir berhenti.
“Mereka menemukannya,” bisik Orion.
Tanpa banyak bicara, Orion meraih senjata yang dia ambil dari anarkis sebelumnya. Dengan napas tertahan, dia membidik drone itu. Satu tembakan melesat, menghantam bagian mesin drone. Ledakan kecil terjadi, membuat drone itu jatuh ke sungai.
Namun, tembakan itu juga memecah keheningan. Suara itu menarik perhatian kelompok anarkis di dekat sana. Suara teriakan terdengar, diikuti oleh kilatan cahaya senter yang bergerak ke arah mereka.
“Mereka datang,” kata Elara panik.
“Kita harus pergi,” Orion menarik tangan Elara dan mulai berlari mengikuti aliran sungai.
Di belakang mereka, suara langkah-langkah kaki dan gonggongan anjing semakin mendekat. Orion melirik ke belakang, melihat bayangan-bayangan para pengejar yang semakin jelas. Mereka tidak akan bisa menghindar lebih lama lagi.
“Lewat sini!” Orion menarik Elara ke arah sebuah gua kecil di tepi sungai. Mereka bersembunyi di dalamnya, mencoba mengatur napas sambil mendengarkan langkah-langkah musuh di luar.
“Periksa sekeliling! Mereka pasti ada di dekat sini!” suara salah satu anarkis terdengar.
Elara memegang pistolnya erat-erat, jari-jarinya gemetar. “Kita tidak bisa terus seperti ini,” bisiknya.
“Percayalah padaku,” jawab Orion sambil meletakkan tangannya di bahu Elara. “Aku punya rencana.”
---
Di luar gua, para anarkis semakin mendekat. Salah satu dari mereka membawa anjing pelacak yang terus mengendus-endus tanah, semakin mendekati pintu gua. Tapi sebelum mereka bisa mendekat lebih jauh, sebuah ledakan kecil terdengar dari arah lain.
“Apa itu?” salah satu dari mereka berteriak.
“Ke sana! Periksa!” perintah pemimpin mereka.
Ledakan itu cukup untuk mengalihkan perhatian mereka. Sementara itu, Orion dan Elara menggunakan kesempatan itu untuk keluar dari gua dan kembali ke sungai. Orion melemparkan granat asap terakhirnya untuk menutupi jejak mereka.
Mereka berlari sekuat tenaga, tidak peduli lagi pada luka-luka di tubuh mereka. Di depan, mereka melihat dataran yang mulai terbuka. Tablet di tangan Elara berbunyi lagi, menunjukkan bahwa mereka semakin dekat dengan Eden.
Namun, harapan itu tidak berlangsung lama. Dari balik kabut, mereka melihat sesuatu yang besar bergerak—mutan raksasa yang tadi dihindari Elara.
“Ini tidak mungkin terjadi,” gumam Elara dengan suara gemetar.
Mutan itu menggeram, menyadari kehadiran mereka. Dengan langkah besar, makhluk itu mulai mendekat, mengayunkan senjatanya yang berupa puing logam besar.
“Lari!” teriak Orion, menarik Elara menjauh.
Tapi mutan itu lebih cepat dari yang mereka kira. Dengan satu ayunan, senjata raksasanya menghantam tanah, menciptakan gelombang kejut yang membuat keduanya terlempar. Elara jatuh ke tanah, tablet terlepas dari tangannya. Orion dengan susah payah bangkit, mencoba melindungi Elara dengan tubuhnya.
“Kita harus melawannya,” kata Orion sambil mengangkat senjata.
“Bagaimana caranya? Itu terlalu besar!” balas Elara panik.
“Kita tidak punya pilihan.”
Orion menembakkan senjatanya, peluru-peluru menghantam tubuh mutan itu, tapi hanya membuatnya semakin marah. Makhluk itu menggeram, melangkah maju, dan mengayunkan senjatanya lagi. Orion dan Elara berguling ke samping, nyaris menghindari serangan itu.
“Orion!” Elara berteriak ketika mutan itu mulai menyerang lagi.
Namun, sebelum makhluk itu bisa menyerang lebih jauh, suara keras terdengar dari arah lain. Ledakan besar menghantam punggung mutan itu, membuatnya terhuyung. Dari balik kabut, muncul sebuah kendaraan besar yang dipersenjatai lengkap.
“Elara! Orion!” suara seseorang memanggil dari kendaraan itu.
Elara menoleh, matanya membelalak. Itu adalah kelompok dari Eden, yang akhirnya menemukan mereka.
“Kita harus pergi sekarang!” teriak salah satu dari mereka sambil menembaki mutan itu.
Dengan sisa tenaga, Elara dan Orion berlari menuju kendaraan itu. Mereka berhasil masuk, tepat sebelum mutan itu kembali menyerang. Kendaraan itu melaju cepat, meninggalkan makhluk itu di belakang.
Di dalam kendaraan, Elara memegang tablet yang berhasil dia ambil kembali. Matanya bertemu dengan Orion, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa jam terakhir, mereka merasa aman. Tapi di dalam hati, mereka tahu perjuangan ini belum berakhir.
Eden mungkin dekat, tapi bahaya di sekitarnya masih menunggu untuk menyerang kapan saja.