NovelToon NovelToon
Jerat Cinta Sang Billionaire

Jerat Cinta Sang Billionaire

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikah Kontrak / Menjual Anak Perempuan untuk Melunasi Hutang
Popularitas:2.4k
Nilai: 5
Nama Author: DENAMZKIN

Sekar Arum (27) ikut andil dalam perjanjian kontrak yang melibatkan ibunya dengan seorang pengusaha muda yang arogan dan penuh daya tarik bernama Panji Raksa Pradipta (30). Demi menyelamatkan restoran peninggalan mendiang suaminya, Ratna, ibu Sekar, terpaksa meminta bantuan Panji. Pemuda itu setuju memberikan bantuan finansial, tetapi dengan beberapa syarat salah satunya adalah Sekar harus menikah dengannya dalam sebuah pernikahan kontrak selama dua tahun.
Sekar awalnya menganggap pernikahan ini sebagai formalitas, tetapi ia mulai merasakan sesuatu yang membingungkan terhadap Panji. Di sisi lain, ia masih dihantui kenangan masa lalunya bersama Damar, mantan kekasih yang meninggalkan perasaan sedih yang mendalam.
Keadaan semakin rumit saat rahasia besar yang disembunyikan Panji dan adik Sekar muncul kepermukaan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DENAMZKIN, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

RASA YANG MASIH TERSISA

Saat Sekar sudah masuk ke ruang belakang, Panji lalu duduk di kursi Sekar dan menyandarkan tubuhnya ke meja.

“Jadi, Damar?” tanyanya sambil tersenyum.

“Kamu tukang masak yang baru itu?” tanya Damar sambil melirik apron yang dikenakan Panji.

“Bukan,” jawab Panji dengan senyum lebar. Dia menunduk dan melihat tumpukan kecil foto di meja. Dia mengambilnya, lalu menatap foto Sekar dan ayahnya. Foto berikutnya menunjukkan Sekar kecil berdiri di atas kursi, memegang sendok, di samping ayahnya. Panji tersenyum kecil saat melihatnya.

“Aku rasa itu hal pribadi,” kata Damar dengan nada tegas, melihat Panji membolak-balik foto-foto itu dengan alis berkerut.

Panji menatap Damar sambil mengangkat alis.

“Kamu pikir Sekar tidak ingin aku melihat ini?” tanyanya, mengangkat setumpuk foto di tangannya.

“Aku hanya bilang, mungkin kamu harus memiliki sedikit rasa hormat terhadap privasinya,” jawab Damar hati-hati.

Panji meletakkan foto-foto itu kembali di meja dan mengangguk.

“Kamu benar, aku yakin dia akan membagikannya denganku nanti,” katanya dengan senyum kecil. “Terima kasih atas peringatannya.”

“Maaf, sebenarnya kamu itu siapa?” Damar bertanya dengan alis terangkat, tatapannya mulai tidak sabar.

“Kenapa kamu datang ke sini, Damar?” Panji balik bertanya sambil menarik napas panjang.

“Aku ke sini untuk berbicara dengan Sekar,” jawab Damar dengan nada sedikit kesal. “Siapa kamu? Apa kamu pacar barunya yang sedang cemburu?”

Panji tetap diam, menatap Damar yang kini mulai memandang sekeliling restoran dengan rasa frustrasi, lalu melirik ke arah dapur tempat Sekar menghilang.

“Tidak, aku bukan pacarnya,” jawab Panji akhirnya, sambil menunduk kembali pada foto-foto itu.

Damar menatap Panji dan tersenyum sinis. “Aku dan Sekar berpacaran selama empat tahun, dan kami hampir menikah.”

Panji mengangguk pelan, menyilangkan lengannya di atas meja sambil terus menatap Damar tanpa mengatakan apa-apa. Ada sesuatu tentang Damar yang membuat Panji merasa tidak nyaman. Dari cara Damar berbicara pada Sekar, jelas ada alasan lain mengapa dia ada di sini. Sambil menghela napas, Panji kembali melihat foto-foto itu. Tidak ada pria yang bersusah payah mengembalikan beberapa foto tanpa ada agenda tersembunyi. Panji hanya belum bisa memastikan apa itu, meskipun dia tahu Sekar pada akhirnya akan menyadari bahwa dialah yang mematikan daya pendingin itu.

“Aku pikir kamu harus pergi,” kata Panji akhirnya.

“Aku pikir Sekar ingin aku tetap di sini saat dia kembali,” balas Damar dengan nada arogan. “Aku tidak ingin dia kecewa.”

“Jika kamu meninggalkan pesan, aku pastikan pesan itu tersampaikan padanya,” kata Panji dengan senyum tipis.

“Dengar,” kata Damar sambil mendekatkan tubuhnya ke Panji, tetap menjaga tatapannya pada pintu tempat Sekar menghilang. “Aku tidak tahu apa urusanmu di sini, tapi aku yakin pesan apa pun yang kumiliki, kamu tidak akan mampu menyampaikannya dengan benar.”

“Pasti pesan yang sangat penting,” kata Panji sambil menyandarkan kepalanya di tangannya.

Saat itu juga Sekar muncul dari pintu dapur dan berjalan menuju meja. Damar tersenyum dan mengangkat bahu, “Kamu sebaiknya pergi sekarang, tuan yang suka bertanya.”

Panji berdiri tepat ketika Sekar tiba di meja. “Panji, apakah kamu menyentuh tombol power tadi?” tanyanya dengan nada curiga.

“Tidak,” jawab Panji dengan nada polos, mengangkat bahunya. “Ada masalah?”

“Tidak juga,” Sekar menjawab dengan dahi sedikit berkerut. “Mungkin hanya gangguan teknis atau semacamnya.”

“Mau aku panggilkan orang untuk memeriksanya?” tanya Panji dengan tulus. “Aku memang sudah berencana memanggil teknisi listrik bersama dengan tukang ledeng.”

“Bolehkah?” Sekar bertanya dengan nada lega.

“Tentu saja, kamu hanya perlu meminta,” jawab Panji sambil mengangkat tangannya dan dengan lembut menyentuh pipinya.

“Terima kasih, Panji,” katanya dengan senyum kecil.

“Bukan masalah,” kata Panji sambil bergerak ke belakang kursi Sekar dan menariknya agar dia bisa duduk. Begitu Sekar duduk, Panji meletakkan tangannya di bahunya dan memberinya sedikit tepukan yang menenangkan. Sebelum pergi kembali ke dapur, Panji menyempatkan diri melirik Damar dan memberinya kedipan santai.

Sekar, yang merasa lega karena masalah pendingin sudah teratasi, sempat melupakan Damar yang masih duduk di depannya, menatapnya dengan pandangan penasaran.

“Sekar, aku rasa pria itu mungkin menguntitmu,” kata Damar pelan, memperhatikan Panji yang tampak melakukan sesuatu di dapur, tapi masih terus memantau mereka dari balik jendela dapur.

Sekar menoleh, melihat Panji sedang mencelupkan pisang ke dalam adonan, lalu kembali menatap Damar.

“Dia suamiku,” jawabnya datar.

Damar terdorong ke belakang di kursinya dengan mata terbelalak.

“Kamu sudah menikah!”

Sekar tersenyum kaku sambil mengangkat tangannya yang dihiasi cincin pernikahan, wajahnya menunjukkan ekspresi yang sulit.

"Baru empat minggu," katanya dengan nada datar, disertai anggukan kecil. Dia menghembuskan napas panjang, menatap foto-foto di depannya, lalu tersenyum samar.

"Sekali lagi terima kasih sudah mengembalikan foto-foto ini. Berapa lama kamu di Jogja?" tanyanya dengan rasa ingin tahu.

“Aku sedang mengajar kursus di perguruan tinggi dekat sini,” jawab Damar dengan ekspresi muram. “Saat ini aku tinggal di motel, tapi aku berharap bisa segera menemukan apartemen.”

“Benarkah?” Sekar terlihat terkejut. “Jadi, kamu benar-benar akan menetap di sini?”

“Ya,” jawab Damar pelan sambil menatapnya. “Kamu sudah menikah?”

Sekar mengangguk. “Iya,” katanya sambil melihat ke arah cincin di jarinya, lalu kembali menatap Damar.

“Ceritanya panjang, dan—” dia menggelengkan kepala, “semuanya terasa begitu gila.”

Damar menunduk, tampak tidak benar-benar mendengarkan. Sekar berhenti berbicara, memperhatikannya dengan hati-hati saat dia perlahan memandang sekeliling restoran.

“Aku senang untukmu,” katanya akhirnya, meskipun tatapannya beralih kembali ke arah Panji di dapur.

“Aku pikir kita bisa membicarakan tentang kita,” lanjutnya dengan nada bingung. “Tapi kurasa aku sudah kehilangan kesempatan itu,” tambahnya dengan setengah tertawa, menatap Sekar lagi.

Sekar merasakan sesuatu di dalam dirinya seolah berhenti. Ia menatap Damar, yang tampak bingung dan terluka. Dia ingin Sekar kembali?. Dia datang sejauh ini hanya untuk melihatnya, berbicara denganya, ingin bersamnya. Dan di sini dia—sudah menikah.

“Aku seharusnya tahu lebih baik,” kata Damar, suaranya pelan, sambil tersenyum kecil. “Kamu memang cantik.”

Sekar tidak bisa berkata apa-apa. Rasanya seperti jantungnya berhenti berdetak, dan tangannya mendadak dingin.

“Aku rasa lebih baik aku pergi,” kata Damar akhirnya, berdiri perlahan dari kursinya.

Sekar masih tidak bisa menemukan kekuatan untuk berbicara. Tatapannya tertuju pada foto-foto di atas meja, kemudian ke tangannya—pada cincin pernikahan yang tiba-tiba terasa begitu sempit dan membuatnya mati rasa.

“Mungkin kita bisa pergi minum kopi dan berbicara? Suatu hari nanti,” kata Damar dengan suara pelan.

Sekar tersenyum tipis dan mengangguk. Saat dia mendongak, dia melihat Damar mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja, seperti yang biasa dia lakukan ketika sedang gugup, ketika ada hal lain yang ingin dia katakan tetapi enggan memulai perdebatan. Tanpa sepatah kata lagi, Damar berbalik dan pergi.

1
sSabila
ceritanya keren, semangat kak
jangan lupa mampir di novel baru aku
'bertahan luka'
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!