Kirana, seorang wanita lembut dan penyabar, merelakan hidupnya untuk menjadi istri dari Dion, pria pilihannya. Namun, kebahagiaan yang diharapkan tak kunjung datang. Sejak awal pernikahan, Kirana dibayangi oleh sosok mertuanya, seorang wanita yang keras kepala dan suka mengontrol. Mertuanya tak pernah menganggap Kirana sebagai bagian dari keluarga, selalu merendahkan dan mencampuri setiap keputusan Kirana.
Kirana merasa seperti boneka yang diatur oleh mertuanya. Setiap pendapatnya diabaikan, keputusannya selalu ditolak, dan kehidupannya diatur sesuai keinginan sang mertua. Dion suaminya, tak pernah membela Kirana. Ia terlalu takut pada ibunya dan selalu menuruti segala permintaan sang ibu. Ditengah konflik batinnya, akankah Kirana kuat mengarungi bahtera rumah tangganya? Atau akhirnya ia menyerah dan memilih berpisah dengan suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rose.rossie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Aku sedang duduk di depan kamera, merapikan make-up di wajah. Cahaya dari ring light memantulkan kilau samar di pipiku yang mulai tampak lelah. Sudah tiga hari ini aku sibuk membuat video untuk konten TikTok, rutinitas baru yang jadi pelarian dari segala tekanan yang datang dari Dion dan keluarganya.
Baru saja akan mulai pengambilan gambar, tiba-tiba pintu rumah terbuka keras. Aku menoleh, dan melihat Bu Ningsih, mertuaku, berdiri di ambang pintu dengan wajah yang tak bersahabat.
“Kirana!” serunya, nadanya tajam. “Kamu lagi ngapain di sini?”
Aku langsung menurunkan make-up brush dan ponselku, menghentikan pengambilan video. Napasku terasa berat hanya dengan melihatnya berdiri di situ.
“Sedang kerja, Bu,” jawabku pelan tapi tegas. Aku tahu apapun alasanku, dia tidak akan peduli.
“Kerja? Di depan kamera? Kamu pikir itu kerja?” Bu Ningsih mendengus sambil melangkah lebih dekat. “Itu bukan pekerjaan yang pantas untuk seorang istri!”
Aku menarik napas panjang, mencoba untuk tetap tenang. “Ini pekerjaan yang sah, Bu. Saya menghasilkan uang dari sini. Bahkan lebih dari cukup.”
Dia melambaikan tangannya seolah tak mendengar apa-apa yang kubilang, lalu langsung ke topik utamanya.
“Ibu butuh uang dua juta,” katanya tanpa basa-basi, menatapku dengan tatapan tajam.
Aku tertegun. Sudah sering dia datang meminta uang, tapi kali ini jumlahnya jauh lebih besar.
“Dua juta? Untuk apa, Bu?” tanyaku, berusaha tetap tenang meski hati ini mulai kesal.
“Itu bukan urusanmu. Anak saya yang membiayai rumah tangga ini. Jadi kalau saya minta, kamu tinggal kasih. Bukankah selama ini dia yang kerja, dan kamu cuma duduk manis di rumah?”
Darahku langsung mendidih mendengar ucapannya. “Saya juga kerja, Bu. Saya juga punya penghasilan sendiri,” kataku dengan suara yang mulai meninggi. “Dan kali ini saya tidak bisa memberi Ibu uang, karena saya punya prioritas lain.”
Matanya membelalak, tak percaya dengan jawabanku. “Kamu berani bilang tidak ke Ibu? Kamu lupa siapa yang melahirkan dan membesarkan suamimu?”
Aku menahan napas, tahu bahwa ini akan datang. Tapi kali ini aku tidak ingin menyerah begitu saja. “Saya ingat, Bu. Tapi saya juga punya hak atas uang yang saya hasilkan sendiri. Ini bukan soal tidak menghormati Ibu, tapi saya tidak bisa terus-menerus memberi uang setiap kali Ibu minta.”
Tawa kecil keluar dari mulutnya, tawa yang penuh ejekan. “Jadi, kamu merasa hebat hanya karena punya sedikit uang dari main TikTok itu? Jangan merasa sombong. Uang itu tidak ada apa-apanya dibandingkan apa yang anak saya berikan untukmu.”
Aku merasa kesabaran yang kupunya mulai runtuh. “Dion memang bekerja, Bu. Tapi Ibu tahu sendiri bagaimana kondisi rumah ini. Saya yang harus menjaga semuanya tetap berjalan. Dan saya berhak menggunakan uang saya untuk keperluan saya sendiri.”
Mendengar jawabanku yang tidak mundur, Bu Ningsih semakin marah. “Kalau begitu, aku akan bilang ke Dion! Kamu pikir dia akan tetap ingin bersama wanita yang tidak mau mendengar kata-kata ibunya? Ibu akan pastikan dia menceraikanmu!”
Ancaman itu membuat dadaku terasa sesak. Aku tahu Bu Ningsih selalu mencari cara untuk menghancurkan hubungan kami, tapi ancaman cerai ini adalah sesuatu yang serius.
Namun, kali ini aku sudah sampai pada titik di mana aku tidak takut lagi. “Kalau Dion mau menceraikan saya hanya karena ini, itu pilihannya, Bu. Tapi saya tidak akan tinggal diam saat hak saya diinjak-injak.”
Dia tampak terkejut mendengar kata-kataku. “Kamu… berani menantang saya?” suaranya bergetar antara marah dan tidak percaya.
Aku mengangkat daguku, menatapnya tajam. “Saya tidak menantang, Bu. Saya hanya membela diri. Saya lelah dianggap remeh terus.”
Kami saling menatap. Udara di sekitarku terasa tebal, sulit dihirup. Seakan kami sedang bertarung tanpa kata-kata.
“Kamu akan menyesali ini,” desisnya akhirnya, sebelum berbalik dan menutup pintu keras-keras di belakangnya.
Aku menghela napas panjang setelah kepergiannya, mencoba meredakan degup jantungku yang semakin cepat. Pikiranku langsung melayang pada ancaman yang baru saja ia lontarkan. Meskipun aku sudah siap, tetap saja menghadapi kenyataan bahwa Dion mungkin benar-benar akan menceraikanku membuat hatiku berat.
Aku mengambil ponsel yang tergeletak di meja, melihat layar yang sempat menyala sebelum rekaman tadi terhenti. “Apapun yang terjadi, aku harus terus maju,” gumamku pada diriku sendiri, sebelum kembali merapikan set untuk merekam ulang video yang tertunda tadi.
---
Malam itu, ketika Dion pulang, suasana rumah terasa lebih sunyi dari biasanya. Aku duduk di ruang tamu, menunggu kedatangannya dengan tangan terlipat di dada. Ketika pintu terbuka, Dion tampak lelah seperti biasa setelah pulang kerja. Tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda di tatapannya tersirat penuh kecurigaan, atau mungkin kemarahan yang tertahan.
“Kirana,” panggil Dion tanpa basa-basi. “Ibu tadi cerita. Katanya kamu nggak mau bantu dia?”
Aku menatapnya, berusaha mengendalikan diri. “Bantu apa? Minta uang dua juta?”
Dion menghela napas, nadanya mulai terdengar tegas. “Ya, itu Ibu. Kalau dia butuh, kenapa nggak dibantu? Apa susahnya sih?”
Aku berdiri, menatapnya langsung. “Dion, aku sudah cukup sabar selama ini. Semua yang Ibu minta, aku turuti. Tapi kali ini aku nggak bisa lagi. Uang yang aku punya adalah hasil jerih payahku sendiri. Aku bekerja keras untuk itu. Dan kamu tahu sendiri, kebutuhan kita di rumah juga banyak.”
Dion tertawa kecil, tapi terdengar sinis. “Jerih payah? Kamu merasa kerja keras cuma dengan main HP seharian di depan kamera? Sementara aku yang banting tulang di luar?”
Aku menahan amarah yang mendidih di dadaku. “Ini bukan soal siapa yang kerja lebih keras, Dion. Ini soal hak. Aku punya hak untuk nggak selalu menuruti permintaan Ibumu. Aku punya hak atas uangku sendiri. Dan aku lelah kamu terus menganggap pekerjaanku nggak penting!”
Dion melangkah maju, suaranya meninggi. “Kamu ini istri, Kirana! Ibu adalah prioritas. Dan kalau dia minta sesuatu, kamu harus nurut!”
Aku tak lagi bisa menahan diri. “Dion, kita ini sudah berumah tangga, bukan hidup di bawah kendali Ibumu! Aku istri kamu, bukan pelayan untuk keluargamu. Kalau kamu terus berpikir aku harus mengorbankan semuanya demi mereka, aku nggak bisa hidup seperti ini lagi!”
Ruangan itu tiba-tiba terasa hening. Dion menatapku dalam diam, sementara aku merasakan beban di dadaku mulai terangkat. Aku tahu apa yang kukatakan tadi bisa memperparah keadaan, tetapi kali ini aku tidak peduli lagi.