Anson adalah putra tunggal dari pemilik rumah sakit tempat Aerin bekerja. Mereka bertemu kembali setelah tiga belas tahun. Namun Anson masih membenci Aerin karena dendam masa lalu.
Tapi... Akankah hati lelaki itu tersentuh ketika mengetahui Aerin tidak bahagia? Dan kenapa hatinya ikut terluka saat tanpa sengaja melihat Aerin menangis diam-diam di atap rumah sakit?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mae_jer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
"Aerin, kenapa denganmu? Kau sakit?" tanya Andrea saat melihat Aerin memasuki ruangan kerja mereka dengan wajah kusutnya. Seluruh badannya memang letih-letih karena harus jalan kaki dan menangis semalaman dalam kamarnya, ia sakit hati. Hanya Andrea yang khawatir melihatnya sementara yang lain tetap cuek tidak peduli.
Aerin mau menjawab namun ia merasakan seseorang berjalan melewatinya dari belakang. Gadis itu tersenyum jengkel begitu melihat siapa yang melewatinya. Anson sialan, pria brengsek!
"Seorang sopir taksi menurunkanku begitu saja di jalanan semalam, jadi aku harus berjalan sekitar tiga ratus meter sampai ke rumahku." ucapnya sengaja bersuara kencang biar Anson, lelaki yang melewatinya tadi dengar. Ia sangat kesal pada pria itu.
Aerin tersenyum miring ketika Anson membalikan tubuh dan menatapnya datar, meski begitu Aerin bisa lihat di dalam mata lelaki itu seperti terpancing dengan perkataannya. Mungkin ia tidak suka Aerin mengatakan sopir taksi.
Mau main-main dengannya? Huh, jangan harap. Aerin malah membalas tatapan Anson dengan wajah menantang. Saling tatap-tatapan mereka hanya sebentar sampai Anson memutuskan berbalik masuk.
"Astaga Aerin, tapi kau tidak apa-apa kan?" heboh Andrea sambil berlari kecil ke Aerin, memeriksa bagian-bagian tubuhnya berulang kali. Yang lain memasang tampang aneh pada mereka berdua. Memang sih sikap Andrea ini agak berlebihan, Aerin sendirilah yang merasa malu.
"Andrea, aku tidak apa-apa." kekeh Aerin kemudian berjalan ke meja kerjanya.
"Tapi kalau kau merasa tidak sehat, sebaiknya kau ijin saja." imbuh Andrea. Melihat Aerin dari dekat, ternyata gadis itu sangat pucat. Ia tambah khawatir.
"Ijin? Kerjanya cuma santai-santai begitu tapi masih mau ijin dengan alasan capek? Hellow, jangan makan gaji buta." sinis Laras saat mendengar perkataan Andrea ke Aerin.
Andrea menatap Laras tidak suka. Gadis itu suka sekali mencari cara untuk menjatuhkan Aerin. Andrea ingin membalas perkataannya namun Aerin menahannya. Ia tidak mau terus menerus berdebat, ia sudah capek.
"Aku akan memeriksa pasien di kamar 201." ucap Aerin bersiap-siap balik keluar. Ia memberi kode ke Andrea saat gadis itu mau menahannya.
Di dalam ruangannya, Anson duduk dengan kasar di kursi putar. Matanya sempat melirik Aerin dari balik kaca sebelum gadis itu keluar.
Sopir taksi?
Huh!
Pria itu membuang nafas kesal. Bisa-bisanya Aerin menyamakan dirinya dengan sopir taksi. Enak saja. Ia tidak terima.
"Anson, ada apa? Wajahmu tampak kesal." Anson menaikkan wajah menatap Logan yang telah duduk dihadapannya.
Logan meletakkan sebuah map di atas meja kerjanya. Pria itu mengambil dan membacanya masih dengan raut wajah kesal. Ia tidak habis pikir kenapa perkataan Aerin tadi bisa mempengaruhinya sebesar ini. Gadis itu memang biang masalah dalam hidupnya. Lihatkan, dirinya jadi tidak fokus.
"Siapa yang membuatmu kesal?" Logan bertanya heran. Tidak biasanya pria setenang Anson tidak bisa menutupi kekesalannya. Ia penasaran siapa yang bisa membuat pria itu jadi sekesal ini bahkan tidak bisa fokus pada pekerjaannya.
"Ada, kucingku." Anson tertawa dalam hati. Yah, karena Aerin berani bilang dia seorang sopir taksi, ia akan membalasnya.
"Hah?" Logan melongo. Kucing? Ia pikir pria itu kesal karena orang lain, tapi apa katanya, kucing? Ada-ada saja.
"Memangnya kau punya kucing? Sejak kapan?" setahunya Anson tidak pernah memelihara kucing.
"Tadi pagi." sahut Anson tersenyum. Logan malah merasa aneh. Sepertinya karena terlalu sendiri, otak sahabatnya ini mulai rada-rada bermasalah.
"Pasien dikamar 203 akan di operasi besok?" tanya Anson dengan mata terus membaca berkas ditangannya. Logan mengangguk.
"Seperti yang kau lihat, walinya sudah tanda tangan persetujuan."
Anson mengembalikan berkas itu ke Logan setelah menandatanganinya. Pria itu lalu bangkit dari kursi dan berbalik pergi.
___________
Di tempat lain, Aerin berhenti sebentar dan menahan tubuhnya yang hampir jatuh di tembok. Badannya sangat lemah dan kepalanya terasa pening. Gadis itu mencoba sekuat tenaga untuk melanjutkan langkahnya tapi matanya tiba-tiba menjadi buram, sedetik kemudian ia jatuh pingsan. Ia masih sempat mendengar seseorang memanggil namanya sebelum akhirnya betul-betul tak sadarkan diri.
Cukup lama Aerin pingsan. Kira-kira hampir sejam sampai akhirnya ia membuka matanya perlahan. Pandangannya menatap sekeliling ruangan. Oh, ini adalah ruang istirahat khusus bagi para staf rumah sakit yang merasa tidak enak badan. Tapi, siapa yang membawanya ke sini?
Aerin memijit-mijit pelan punggungnya yang terasa tegang. Kepalanya masih sedikit pusing.
"Kau sudah bangun?"
Gadis itu mendongak ke sang pemilik suara. Ternyata dokter Bion. Satu-satunya dokter pria di rumah sakit ini yang mau berteman dan menghormatinya sebagai perempuan.
Sikap dokter Bion lembut dan baik hati. Ia tidak terpengaruh dengan gosip-gosip miring yang beredar di RS tentang Aerin dan mau berteman dengannya. Aerin juga nyaman didekat pria itu, tapi mereka murni hanya berteman. Dokter Bion sudah punya tunangan, seorang Chef.
"Aku memeriksa keadaanmu tadi, kau terlalu kelelahan dan butuh istirahat Aerin." ujar pria itu. Aerin tidak menghiraukan perkataan sang dokter. Ia ingat sebelum pingsan tadi ia berencana memeriksa salah satu pasiennya, oh ya ampun. Gadis cepat-cepat bergerak turun dari tempat tidur.
"Mau kemana?" Bion menahan Aerin.
"Aku harus memeriksa pasienku." sela Aerin cepat. Raut wajahnya khawatir, Bion mendesah pelan kemudian membiarkan gadis itu pergi. Sudah tugas mereka sebagai dokter untuk mengutamakan pasien.
Ketika Aerin masuk ke kamar pasien 201, ternyata sudah ada Anson dan dua perawat di sana yang mendampinginya. Anson sedang memeriksa kondisi pasien itu namun matanya sesekali melirik Aerin tajam.
Ada kemarahan di dalam mata pria itu, Aerin bisa merasakannya. Kali ini ia benar-benar lalai melakukan tugasnya. Gadis itu menggigit bibirnya lirih. Pingsan sialan. Kalau saja tadi ia tidak pingsan, pasti Anson tidak akan ada di sini. Ia hanya pasrah menunggu dimarahi pria itu nanti.
"Periksa terus keadaannya setiap tiga jam." perintah Anson setelah memeriksa keadaan pasien. Dua perawat itu mengangguk. Anson lalu melangkah dan berhenti di depan Aerin.
"Ikut aku." katanya dingin. Aerin mengikuti langkah pria itu dari belakang dengan harap-harap cemas. Sepanjang perjalanan ia merapalkan doa. Anson membawanya ke dekat gudang. Mungkin pria itu pikir tempat ini yang paling aman untuk memarahinya.
"Kau kemana saja satu jam ini?" tanya pria itu datar namun penuh penekanan.
"A ... aku tadi k ... ke," Aerin ingin menjelaskan tapi takutnya Anson akan mengira ia hanya membuat alasan. Gadis itu jadi bingung mau jawab apa.
"Dimana otakmu itu? Kalau para perawat itu tidak segera memberitahuku, kau pikir pasien itu masih baik-baik saja, hah?!" suara pria itu meninggi. Aerin terdiam menunduk.
"Kalau kau tidak serius kerja di sini, lebih baik mengundurkan diri saja. Ingat, kau sedang dalam pengawasanku sekarang. Sekali lagi kau membuat kesalahan, silahkan angkat kaki dari sini." kali ini suara Anson merendah namun tetap dingin dan penuh ancaman. Ia lalu berbalik meninggalkan Aerin.
Aerin berdecak menatapi kepergian Anson dari belakang. Kenapa aku harus pingsan segala sih, ckck