Mira adalah seorang IRT kere, memiliki suami yang tidak bisa diandalkan, ditambah keluarganya yang hanya jadi beban. Suatu hari, ia terbangun dan mendapati dirinya berada di tubuh wanita lain.
Dalam sekejap saja, hidup Mira berubah seratus delapan puluh derajat.
Mira seorang IRT kere berubah menjadi nyonya sosialita. Tiba-tiba, ia memiliki suami tampan dan kaya raya, lengkap dengan mertua serta ipar yang perhatian.
Hidup yang selama ini ia impikan menjadi nyata. Ia tidak ingin kembali menjadi Mira yang dulu. Tapi...
Sepertinya hidup di keluarga ini tak seindah yang Mira kira, atau bahkan lebih buruk.
Ada seseorang yang sangat menginginkan kematiannya.
Siapakah dia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rina Kartomisastro, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 9
Ida membukakan pintu mobil, Mira muncul dari balik Audi putih itu.
"Nyonya bisa tunggu di lobi, saya akan ke dalam tanya tentang Tuan Ben dulu."
Mira mengangguk.
Alih-alih menunggu di dalam lobi seperti ucapan Ida, Mira malah melangkah mundur untuk melihat bangunan pencakar langit yang baru saja ia datangi itu.
Bangunan tinggi dengan jumlah lantai puluhan itu, di atasnya terdapat tulisan Bratadikara Grup.
Selama ini, Mira hanya mendengar tentang Bratadikara lewat media. Tak disangka, ternyata keluarga ini jauh lebih kaya dari yang ia duga.
Pemilik tubuh asli yang ia terjebak di dalamnya itu, benar-benar seorang nyonya sosialita.
Tak ada seujung kuku Ben, jika dibandingkan dengan suami aslinya.
"Aduh!" Mira yang terlalu terpana memerhatikan perusahaan Ben itu, tak sengaja menabrak seseorang yang berjalan di belakangnya.
"Maaf, Bu."
Suara itu...
Mira menoleh, matanya terbelalak dan refleks memekik.
"Mas Pram?!"
Pria berseragam petugas keamanan itu, menoleh kaget ke arah Mira.
"Maaf, anda kenal saya?"
Mira segera melipat mulutnya rapat-rapat, sambil menyesali kebodohan yang tak sengaja ia lakukan itu.
"Itu. Saya baca di situ."
Pram melihat ke arah telunjuk Mira, ada nametag yang bertuliskan namanya di sana.
"Oh, hampir aja saya kaget, ada orang kayak anda kenal sama saya. Perkenalkan, nama saya Pram, gak pake Muka. Anda bisa panggil saya Pram saja, karena kalau pake 'mas' saya jadi teringat almarhumah istri. Hehe."
Jantung Mira berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia benar-benar tak menyangka bisa bertemu Pram di tempat ini.
"Kebetulan ini adalah hari pertama saya kerja di sini, Bu... Maaf, dengan Ibu siapa?"
"M-mira."
Pram tertegun sesaat, "Maaf kalau lancang, Bu. Nama anda sama dengan nama istri saya."
Deg.
"Kalau boleh tau, istrinya meninggal karena apa?"
"Kecelakaan kerja, Bu."
Kecelakaan? Aku mengalami kecelakaan kerja? Kapan? Dimana? Bagaimana? Kenapa aku tidak bisa mengingatnya sama sekali?
"Ya sudah, saya pamit dulu, Bu."
"Tunggu, Mas eh maaf. Keadaan anaknya gimana? "
"Anak saya?"
"Iya, dari tampang sepertinya sudah punya anak, kan? Betul, dong? Setelah kehilangan ibu, keadaan anaknya gimana sekarang?" Mira berusaha berkilah sebelum Pram curiga.
"Awalnya dia sempat sedih, tapi sekarang sudah terlihat biasa saja. Apalagi dia tinggal di asrama sekolah, jadi dia bisa cepat melupakan kesedihan bersama teman-temannya."
"Syukurlah," ceplos Mira tanpa sadar.
"Terima kasih atas perhatian kepada anak saya, Bu."
Mira mengangguk sambil tersenyum kecil.
Wanita itu lantas memilih masuk ke gedung perusahaannya, untuk menunggu Ida di lobi. Tak mau terlalu lama mengobrol dengan Pram.
Bagaimanapun bertemu Pram tidak termasuk dalam rencananya sama sekali. Mira merasa seperti mendapat shock therapy.
"Hey, lihat siapa yang datang kemari."
Baru saja memasuki gedung, Mira berpapasan dengan Virgo.
Sejak kejadian arisan kemarin, Mira jadi merasa waspada bertemu dengan Mona dan keluarganya. Terlebih Ben sudah mewanti-wanti untuk menjaga jarak dari keluarga adik iparnya itu.
"Apa ingatanmu sudah kembali? Makanya kamu sekarang ada di sini?"
Melihat ekspresi kebingungan Mira, Virgo menarik sebelah bibirnya ke atas.
Pria itu lantas memperpendek jarak antara dia dan Mira. Ia mencondongkan kepalanya ke telinga Mira, kemudian berbisik...
"Aku tidak sabar mencari tahu siapa kamu sebenarnya."
Hah? Virgo tahu aku bukan Mira yang asli?
"A-apa maksud kamu?!"
"Nyonya Mira."
Kehadiran Ida membuat Virgo memilih tidak melanjutkan percakapan mereka. Tanpa pamit, pria itu berlalu begitu saja.
"Tuan Ben ternyata sedang tidak di kantor. Beliau sedang hadiri pertemuan di luar," jelas Ida.
Mira berdecak kecewa.
Harusnya sekarang ia bertemu Ben untuk berdiskusi tentang agenda 'anu' nanti malam. Mira harus mengulur waktu selama mungkin, dengan cara apapun juga.
Bagaimana pun, Mira bukanlah Mira. Setidaknya Ben harus melakukan ritual suami istri itu dengan istri aslinya. Bukan cuma fisik, jiwanya juga.
Entah bagaimana caranya, Mira belum tau. Yang jelas, bukan ia yang melakukan dengan tubuh orang lain itu.
Yang benar saja. Suaminya yang baik jelas-jelas sedang bekerja keras demi menghidupi anak mereka, di depan mata Mira sendiri.
Masak Mira malah enak-enakan melakukannya dengan pria lain? Sekalipun tidak memakai tubuh aslinya yang semok itu, tetap saja terhitung selingkuh, bukan?
"Bagaimana, Nyonya? Kita bisa pulang sekarang?"
Perkataan Ida membuyarkan pikiran Mira.
Wanita itu hanya mengangguk pelan.
Keduanya lantas berjalan ke luar gedung.
Lalu dari kejauhan, tanpa sengaja Mira menangkap sosok si petugas keamanan baru itu.
Pram tampak berbincang dengan seorang wanita dengan sangat akrab. Mereka duduk begitu dekat.
Mira pun kaget saat mendapati Pram tengah membelai rambut si wanita yang tidak ia kenal itu.
"Mbak Ida."
"Ya, Nyonya?"
"Selingkuh itu boleh gak?"
"Tentu tidak, Nyonya."
"Kalau suaminya selingkuh lebih dulu, istrinya balas selingkuh?"
"Manusiawi, Nyonya."
"Oke, deal."
***