"Rumah Tanpa Atap" mengisahkan tentang kehidupan seorang remaja bernama Zilfi, yang tumbuh dalam keluarga yang terlihat sempurna dari luar, namun di dalamnya penuh ketidakharmonisan dan konflik yang membuatnya merasa seperti tidak memiliki tempat untuk berlindung. Setelah perceraian orang tuanya, Zilfi harus tinggal bersama ibunya, yang terjebak dalam rasa sakit emosional dan kesulitan finansial. Ayahnya yang Berselingkuh Dengan Tante nya hanya memperburuk luka batin Zilfi, membuatnya merasa tak pernah benar-benar memiliki "rumah" dalam arti sebenarnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yiva Adilla, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TERIAKAN SUNYI YANG TAK TERDENGAR
Seorang santri Bernama Riya,lari memeluk dan menghentikan Zilfi...Zilfi pun langsung tenang...Riya langsung membawa Zilfi ke kamar...
Setelah merasa tenang,,Rena bertanya kepada Zilfi,,,Sebenarnya apa yang dia inginkan..
Zilfi pun memberanikan diri untuk berkata jujur pada Rena ..ia berkata...
"Di antara semua santri di pesantren ini, hanya satu orang yang selalu menarik perhatiannya Zilfi, senior yang penuh wibawa namun sikapnya lembut.RIYA... selalu menjadi sosok yang tenang dan tampak bijaksana di mata Zilfi, seseorang yang ia harap bisa memahami, bahkan mungkin bisa menyelamatkannya dari kehampaan yang terus menghantui.."
Zilfi sering kali mencuri pandang saat Riya lewat, berharap dia akan menyadari ada sesuatu yang salah. Namun, setiap hari, harapannya selalu pupus. Riya tetap memiliki kesan biasa, ramah dan hangat kepada semua orang, namun tidak pernah memberikan perhatian lebih kepada Zilfi. Dan itulah yang paling menyakitkan.
Suatu malam, setelah shalat Isya, Zilfi duduk sendirian di sudut mushola, menunggu saat ketika Riya melintas. Perasaan terasing dan tak berharga terus menghantuinya. Ia sudah mencoba banyak hal untuk menarik perhatian, dari sengaja menjauhkan diri hingga memunculkan ekspresi sedih yang diharapkan orang lain akan menyadarinya. Tapi dunia di sekitarnya tetap berjalan seperti biasa, seolah-olah tidak ada yang peduli pada beban yang ia hadapi.
Akhirnya, tanpa bisa menahan diri, Zilfi memutuskan untuk berbicara dengan Riya secara langsung. Setelah semua orang berangkat, ia memberanikan diri mendekati seniornya itu yang sedang bersiap meninggalkan mushola.
“Kak Riya,” panggil Zilfi pelan, terdengar terdengar lemah, nyaris tenggelam di antara desiran nafas nya...
Zilfi terdiam sejenak, menundukkan kepala, lalu menatap lantai di depannya. Ada gumpalan besar di tenggorokannya, sulit baginya untuk mengeluarkan kata-kata. Namun di dalam hati, ia sangat berharap bahwa Riya bisa membaca apa yang tak mampu ia utarakan.
“Aku... aku merasa... berat,” bisiknya, suara serak, hampir tak terdengar. Ia berharap Riya akan mengerti, akan melihat ke dalam dirinya yang terluka, dan akan menyelamatkannya dirinya.
Riya menghentikan langkahnya, menatap Zilfi dengan penuh perhatian. “Apa maksudmu, Zilfi? Kau bisa ceritakan p**adaku "
Zilfi mengangkat kepalanya sedikit, melihat langsung ke mata Riya. “Aku… aku merasa tidak ada yang peduli. Aku merasa... hilang. Dan aku..."
Kata- katanya menggantung di udara, mengandung beban yang begitu besar. Dalam hatinya, Zilfi ingin Riya segera merangkulnya, memberi kata-kata penghiburan, atau bahkan sekadar duduk di dekatnya dan mendengarkannya berbicara. Namun, pada saat itu juga, Zilfi sadar bahwa ia mungkin sedang mencari perhatian lebih dari sekedar solusi. Dia membutuhkan seseorang yang bisa memikirkan hal penting, seseorang yang akan memperhatikannya di tengah laut
Riya menatap Zilfi dalam-dalam, lalu letakkan tangan di bahunya dengan lembut. “Zilfi, setiap orang punya masa sulit. Kau tidak sendirian dalam hal ini, dan aku di sini jika kau membutuhkan seseorang untuk mendengarkan.."
Namun, jawaban itu terasa datar bagi Zilfi. Ia menginginkan lebih. Ia ingin Riya melihat betapa rusaknya dirinya di dalam. Ia ingin seniornya mengerti bahwa perasaan terasing yang ia alami lebih dari sekadar “masa sulit”. Tapi, bagaimana mungkin ia bisa menjelaskan hal itu.
"Aku... aku butuh lebih dari itu," kata Zilfi dengan suara bergetar, matanya mulai basah. "Aku tidak tahu bagaimana caranya menjelaskan. Tapi aku ingin kau... melihatku, benar-benar melihatku."
Air mata yang sudah lama tertahan akhirnya jatuh. Zilfi menatap lantai lagi, berharap Riya akan paham bahwa ini lebih dari sekedar kesedihan biasa. Ini adalah teriakan putus asa yang terselubung dalam diam. Ia tidak hanya mencari solusi ia mencari makna, mencari perhatian, mencari rasa bahwa ia ada di dunia ini untuk sesuatu.
Riya, meskipun sedikit terkejut, tidak bergerak. Ia tetap berdiri di tempatnya, memberikan ruang bagi Zilfi untuk mengungkapkan apa yang ia rasakan. “Aku mengerti, Zilfi. Mungkin aku belum cukup memahami kedalaman apa yang kau rasakan, tapi percayalah, aku di sini milikmu. Kita bisa membicarakan ini, kapan saja kau butuh. Kau penting, Zilfi. Jangan pernah berpikir sebaliknya.”
Malam itu, meskipun jawaban Riya tidak seperti yang diharapkan Zilfi, ada sedikit kehangatan yang tumbuh di dalam dirinya. Untuk pertama kalinya, dia merasa didengar, meski hanya oleh satu orang. Mungkin, itu awal yang cukup untuk membuatnya merasa sedikit lebih terlihat.