SMA Rimba Sakti terletak di pinggiran Kota Malang. Menjadi tempat di mana misteri dan intrik berkembang. Di tengah-tengah kehidupan sekolah yang sibuk, penculikan misterius hingga kasus pembunuhan yang tidak terduga terjadi membuat sekelompok detektif amatir yang merupakan anak-anak SMA Rimba Sakti menemukan kejanggalan sehingga mereka ikut terlibat di dalamnya.
Mereka bekerja sama memecahkan teka-teki yang semakin rumit dengan menjaga persahabatan tetap kuat, tetapi ketika mereka mengungkap jaringan kejahatan yang lebih dalam justru lebih membingungkan.
Pertanyaannya bukan lagi siapa yang bersalah, melainkan siapa yang bisa dipercaya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moon Fairy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10
Semua orang terkejut saat melihat sosok ayah Aisyah, IPTU Bima Sastroamodjo, muncul di pintu ruangan. Kehadiran polisi yang menyertai ayah Aisyah membawa rasa lega dan kelegaan bagi semua orang yang terkurung di dalam ruangan tersebut. IPTU Bima segera menurunkan pistolnya, diikuti oleh para polisi lainnya, yang juga mengikuti jejaknya.
IPTU Bima memandang situasi di sekitar dengan tatapan serius. “Apa yang sudah terjadi di sini? Di mana penculiknya?”
Rian dan Arga secara bersamaan mengangkat Pak Ruslan, yang kini tampak terikat dan tidak berdaya. “Ini dia, Pak Ruslan, guru TIK SMA Rimba Sakti. Dia pelaku penculikan ini,” kata Arga dengan nada tegas.
Pak Ruslan diangkut oleh para polisi dengan hati-hati, dan Aisyah segera mendekat dengan membawa buku catatan yang telah dibuktikan sebagai barang bukti. “Ini buku catatan punya Pak Ruslan. Di dalamnya ada semua alasan di balik penculikan dan kejahatan lainnya,” ujar Aisyah sambil menyerahkan buku tersebut kepada ayahnya.
IPTU Bima menerima buku itu dengan tangan mantap. “Baiklah, terima kasih atas bukti ini. Namun, sebelum kalian pulang, kami memerlukan keterangan dari kalian sebagai saksi.”
Awalnya, Nadya tampak khawatir dengan kondisi para korban, terutama Cika yang tampak ketakutan dan trauma. Namun, sebelum ia bisa mengungkapkan kekhawatirannya lebih lanjut, Syifa tiba-tiba bersuara. “Baiklah, saya setuju, Pak,” katanya dengan nada tegas namun tenang.
Gea segera mengangguk setuju, “Saya juga setuju untuk memberikan kesaksian saya,” katanya menunjukkan dukungannya terhadap keputusan tersebut. Nadya, meskipun masih cemas, mulai merasa sedikit lebih tenang. Namun, saat melihat Cika yang masih tampak ketakutan, ia merasa sangat khawatir.
Riska, dengan empati yang mendalam, juga ikut bersuara. “Oke, saya dan Cika juga setuju, tapi kepolisian harus perlakuin Cika dengan baik selama proses ini. Dia perlu merasa aman dan nyaman,” ujar Riska sambil menggenggam tangan Cika dengan lembut, berusaha memberikan ketenangan.
IPTU Bima mengangguk dengan penuh pengertian. “Kami berkomitmen untuk membantu korban dalam proses penyidikan. Identitas dan keamanan kalian akan kami jaga. Kami akan memastikan kalian diperlakukan dengan baik dan diberikan dukungan yang dibutuhkan.”
Salah satu polisi kemudian menghampiri mereka dan memandu semua orang untuk segera keluar dari tempat itu. “Mari kita keluar dari sini dan memastikan kalian mendapatkan bantuan yang diperlukan.”
Dengan langkah yang masih penuh kekhawatiran namun penuh harapan, Arga, Rian, Nadya, Dimas, Aisyah, Syifa, Gea, Riska, dan Cika mengikuti petunjuk polisi, meninggalkan tempat yang penuh trauma itu dan menuju ke tempat yang lebih aman untuk memberikan kesaksian mereka.
...—o0o—...
Malam semakin larut saat mereka semua keluar dari rumah yang penuh kekacauan itu yang kini sudah memakai police line. Langit sudah gelap, dengan hanya cahaya lampu jalan yang redup saja menerangi jalan desa kecil itu. Para lansia yang penasaran mulai keluar satu-persatu ingin tahu apa yang tengah terjadi di salah satu rumah desa mereka. Aisyah merogoh saku bajunya dan mengeluarkan jam saku, yang kini menunjukkan pukul 19.00.
Arga, Rian, dan Dimas menghampiri Aisyah. Tak lama Nadya datang sambil tersenyum usai memberikan kesaksiannya pada polisi.
“Gimana, Nad? Kamu beneran kasih tahu diculik karena rencana kita?” tanya Rian penasaran.
“Ya nggak lah! Aku gak mau kita diselidiki lebih lanjut cuman gara-gara rencana bodoh Arga kemarin,” jawab Nadya jengkel.
Awalnya hening setelah Nadya mengatakan itu, tapi kemudian mereka saling bertatapan sejenak dan akhirnya tersenyum bersama. Mereka berlima merentangkan satu tangan ke depan dan saling bertumpukkan lalu bersorak pelan, merayakan keberhasilan mereka.
Dalam suasana yang lebih ringan itu, Nadya mulai mengejek Arga dan Rian. “Kalian berdua, nih! Berharap dibebasin, eh kalian malah ikutan ketangkap. Jago banget deh! Benar-benar udah pro!”
Rian, tidak mau kalah, membalas dengan nada main-main. “Anggap aja semua bagian dari rencana. Buat bikin Nadya kerepotan.”
Nadya hanya memutar bola matanya malas sambil tertawa. “Yah, asal kalian tau aja, itu cuman bikin aku tambah khawatir.”
Arga kemudian bertanya pada Aisyah dan Dimas, penasaran tentang bagaimana mereka bisa menemukan ruangan itu dan tiba di sana bersama Syifa. Saat Aisyah ingin menjelaskan, Syifa menghampiri mereka dengan wajah penuh syukur. “Makasih banyak atas semuanya,” ujarnya dengan tulus. “Setelah ini, aku berniat buat lanjut sekolah, ndak bolos lagi.”
Riska kemudian muncul, juga mengucapkan terima kasih dan meminta maaf jika selama ini mungkin pernah membuat kesalahan atau merundung mereka secara tidak sadar. “Maaf kalau aku pernah salah atau mungkin ada yang nggak nyaman,” katanya dengan penuh penyesalan.
Mereka semua hanya menjawabnya dengan anggukan dan senyuman santai, menunjukkan bahwa mereka tidak menyimpan dendam. Nadya, yang masih merasa penasaran, bertanya kepada Riska. “Riska, kenapa kamu bisa diculik?”
Riska menjawab dengan santai, “Waktu itu lagi apes aja, sih. Ketemu Pak Ruslan di belakang sekolah waktu aku ngerokok. Pas pulang, dia ngajakin pulang bareng. Kebetulan aku gak punya kuota buat mesen ojek online, jadi aku bareng dia. Eh, malah diculik.”
Belum lama setelah itu, IPTU Bima datang dan memberi tahu mereka bahwa mereka sudah boleh pulang. “Terima kasih atas kerja sama kalian dalam membantu membebaskan korban dan menangkap pelaku penculikan ini,” katanya dengan nada menghargai.
Arga, dengan sikap yang rendah hati, berkata, “Pak Lek, anggap aja kalau yang nemuin pelakunya polisi dan semua penyelidikan dilakukan sama kalian.”
IPDA Arya, salah satu bawahan IPTU Bima, terlihat ragu. “Tapi, semua itu berkat kerja keras kalian juga.”
“Iya, Arga. Pak Lek juga kurang setuju kalau kerja kalian jadi dianggap sebagai kerja kami,” balas IPTU Bima menolak.
Rian, yang merasa sedikit tidak puas, menambahkan, “Kalau dipikir-pikir, kerja keras kita jadi sia-sia kalau semuanya dianggap hanya kerja polisi.”
Arga menegaskan, “Yang penting kita udah bantu teman kita. Apalagi Nadya juga ikut diculik.”
Ya, walaupun diculiknya Nadya juga termasuk bagian dari rencana mereka.
Dimas tiba-tiba nyeletuk, “Benar juga. Soalnya kita kan bantuinnya dengan cara ilegal, kayak—”
Seketika, Nadya menginjak kaki Dimas, berusaha menghentikannya berbicara. Rian dengan gagap mengatakan, “Ilegal yang dimaksud Dimas itu, langsung masuk ke rumah tanpa izin. Ya, memang benar sih, lebih baik nama kita dirahasiakan saja.”
Kelima orang tersebut tertawa canggung, membuat IPTU Bima, IPDA Arya, Syifa, dan Riska bingung dengan reaksi mereka. Suasana menjadi lebih ringan, meski sedikit membingungkan bagi mereka yang baru pertama kali melihat dinamika grup ini.
Akhirnya, kasus penculikan yang telah berlangsung selama empat hari berturut-turut berakhir dengan ditangkapnya Pak Ruslan—guru TIK di SMA Rimba Sakti—yang ternyata menjadi dalang di balik semua kejadian mengerikan tersebut. Ironisnya, penculikan Nadya, yang semula tampak seperti insiden yang tidak diinginkan, ternyata merupakan bagian dari rencana yang lebih besar oleh para detektif amatir dari SMA Rimba Sakti. Meski penyelidikan mereka tampak tidak terstruktur dan penuh improvisasi, mereka berhasil mengungkap kebenaran.
Pertemanan antara Arga Adiwijaya, Rian Pamungkas, Dimas Biantara, Nadya Cahyani Soekardjo, dan Aisyah Sastroamodjo mulai terbentuk, mengukuhkan ikatan yang kuat di antara mereka. Melalui berbagai permainan, tantangan, dan kecerdikan mereka, kelima sahabat ini akan membawa perubahan signifikan di SMA Rimba Sakti. Setiap rahasia dan misteri yang tersembunyi dalam sekolah tersebut kini berada dalam jangkauan mereka, menunggu untuk diungkap.
Dengan kehadiran mereka, SMA Rimba Sakti akan mengalami perubahan drastis, dan segala sesuatu yang selama ini disembunyikan dengan rapat akan segera terkuak. Kehadiran mereka membawa angin segar dan kemungkinan baru.
Ini belum berakhir.
Perjalanan mereka baru saja dimulai.
...—o0o—...