"Kisah cinta di antara rentetan kasus pembunuhan."
Sebelum Mekdi bertemu dengan seorang gadis bercadar yang bernama Aghnia Humaira, ada kasus pembunuhan yang membuat mereka akhirnya saling bertemu hingga saling jatuh cinta, namun ada hati yang harus dipatahkan, dan ada dilema yang harus diputuskan.
Mekdi saat itu bertugas menyelidiki kasus pembunuhan seorang pria kaya bernama Arfan Dinata. Ia menemukan sebuah buku lama di gudang rumah mewah tempat kediaman Bapak Arfan. Buku itu berisi tentang perjalanan kisah cinta pertama Bapak Arfan.
Semakin jauh Mekdi membaca buku yang ia temukan, semakin terasa kecocokan kisah di dalam buku itu dengan kejanggalan yang ia temukan di tempat kejadian perkara.
Mekdi mulai meyakini bahwa pembunuh Bapak Arfan Dinata ada kaitannya dengan masa lalu Pria kaya raya itu sendiri.
Penyelidikan di lakukan berdasarkan buku yang ditemukan hingga akhirnya Mekdi bertemu dengan Aghnia. Dan ternyata Aghnia ialah bagian dari...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R M Affandi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bekas Jahitan di Alis Sebelah Kiri
Mekdi berpikir sejenak setelah membaca tulisan bagian terakhir di chapter ketujuh buku itu. Ia kembali mengingat-ingat wajah Bapak Arfan Dinata. “Ada bekas jahitan di alis sebelah kiri Bapak Arfan Dinata. Sepertinya, Fan dalam cerita ini memang Bapak Arfan Dinata itu sendiri?” bisiknya mengambil kesimpulan.
“Kerabat Bapak Arfan yang datang di hari kematian beliau waktu itu, juga berasal dari kota Pekanbaru. Sesuai dengan yang diceritakan buku ini, keluarga orang tua Bapak Arfan semuanya memang tinggal di Pekanbaru.
“Apa mungkin kisah dalam cerita ini memang nyata? Tapi jika Ini memang kisah cinta Bapak Arfan Dinata dengan istrinya Vika Aediva, lalu siapa Rani Permata Sari dalam cerita ini? Wanita yang bernama Rani lebih menonjol dalam cerita ini dibandikan Almarhum Bu Vika!” Mekdi kembali berpikir dengan beberapa pertanyaan yang muncul di benaknya.
Kemudian tangan kanan Mekdi menjangkau air mineral yang terhidang di hadapannya, mengangkatnya ke bibir, dan perlahan-lahan meneguk air yang ada di dalam botol kemasan yang terbuat dari plastik. Tenggorokannya yang telah basah, menjernihkan kembali pikirannya yang keruh memahami isi cerita yang baru ia baca.
Mekdi melihat ke ajudannya yang telah duduk tepat di depannya, dengan sebuah laptop di atas meja. “Apa kamu sudah menemukan data-data Jarvis Lionel?” tanya Mekdi kemudian pada ajudan itu.
“Sudah Pak! Tapi yang bernama Jarvis Lionel di daerah Lengayang ada banyak Pak,” ungkap ajudan Mekdi sambil terus fokus pada layar laptop Asus berwarna silver di depannya.
“Berapa orang?
“Ada lima orang Pak! Rentang usia mereka dari enam tahun sampai dua puluh tahun.
“Berapa orang yang berusia di atas delapan belas tahun?
“Cuma satu orang yang berusia diatas delapan belas tahun Pak, selebihnya di bawah dua belas tahun.
“Berapa usia orang itu?” tanya Mekdi, tubuhnya tampak condong ke depan, tertarik ingin tahu lebih jelas.
“Dua puluh tahun Pak!
“Catat alamat orang itu, kemudian hubungi kantor kepolisian terdekat yang ada di daerah Lengayang, dan..,
“Tapi orang yang bernama Jarvis itu telah meninggal setahun yang lalu Pak,” potong Ajudan Mekdi menjelaskan.
Mekdi meletakkan kembali botol air mineral di atas meja, kemudian menyandarkan punggungnya di sofa. Titik terang yang baru saja ia pikirkan masih samar-samar. “Bagaimana mungkin orang itu menggunakan KTP orang yang telah meninggal?” keluhnya melepas topi di kepalanya, dan menyibak rambut lurusnya ke samping kiri.
“Cari tahu informasi tentang keluarga Jarvis Lionel! ujar Mekdi kembali memberi perintah pada ajudannya.
“Dia anak pertama dari pasangan suami istri yang bernama Supardi dan Nurdesni Pak!” terang ajudan Mekdi, tak butuh waktu lama.
“Kirim datanya ke rekan kepolisian yang ada di daerah itu. Minta mereka mendatangi keluarga Jarvis Lionel dan mencari tahu kenapa KTP Jarvis ada pada orang lain?
“Siap Pak!” Ajudan Mekdi mengerjakan sesuai perintah.
Mekdi membalik-balikan halaman buku lama, merapikan beberapa sudut kertas yang terlipat, sambil menunggu ajudannya menyelesaikan tugas yang ia perintahkan.
“Apa masih ada data-data sipil yang perlu di cari lagi Pak?” tanya ajudan Mekdi setelah menyelesaikan tugasnya.
“Sekarang periksa nama Rani Permata Sari yang juga tinggal di daerah itu!” ujar Mekdi menyebut satu nama yang sejak tadi menimbulkan tanda tanya di benaknya.
Ajudan Mekdi kembali mengetik keyboard laptopnya. ”Nama Rani Permata Sari di daerah itu ada…,” Ajudan itu menghitung tulisan yang tertera di layar laptopnya. “Sembilan belas orang Pak!” urainya.
Mekdi kembali berpikir. “Jika ia setahun di bawah Bapak Arfan, berarti usianya saat ini empat puluh satu tahun,” gumam Mekdi memperkirakan. “Di antara mereka, berapa orang yang berusia diatas empat puluh tahun?” tanya Mekdi kemudian.
“Hanya satu orang Pak. Dia berusia empat puluh dua tahun.
“Empat puluh dua tahun? Nama Rani Permata Sari dalam cerita ini, sekolahnya berbeda satu tingkat dengan Bapak Arfan. Harusnya usianya saat ini empat puluh satu tahun! Apa hanya tingkatan sekolah saja yang berbeda, sedangkan umur mereka sama?”pikir Mekdi berbisik dalam hatinya.
“Coba periksa riwayat pendidikan orang itu. Apa dia bersekolah di SMA 2 Lengayang?” kata Mekdi kemudian pada ajudan.
Ajudan Mekdi kembali mengutak-atik keyboard laptopnya. Cukup lama ajudan polisi itu mencari informasi yang Mekdi minta. “Tidak Pak! orang itu bersekolah di SMA 3 Lengayang,” ungkapnya setelah menemukan data yang ia cari.
“Sepertinya Rani Permata Sari dalam cerita ini hanya khayalan?” pikir Mekdi melihat kembali buku lama yang ada di tangannya.
“Apa Rani yang berusia empat puluh dua tahun itu orangnya masih ada?” tanya Mekdi kembali pada ajudannya.
“Masih Pak! Di antara yang bernama Rani Permata Sari, hanya satu orang yang telah meninggal Pak.
“Di usia berapa orang itu meninggal?
“Usia dua puluh enam tahun. Meninggalnya tahun dua ribu sembilan Pak!
“Tahun dua ribu sembilan?” tanya Mekdi lagi dengan mata yang terbuka lebar, memastikan apa yang ia dengar.
“Benar Pak!” jawab ajudan sangat yakin.
“Jika tahun dua ribu sembilan umurnya dua puluh enam tahun, berarti orang itu kelahiran tahun sembilan belas delapan tiga?” pikir Mekdi sambil berbicara pada ajudannya.
“Iya Pak! Di keterangannya, orang yang berjenis kelamin wanita itu yang memang lahir tahun sembilan belas delapan tiga.
“Dimana sekolahnya?
“SMA 2 Lengayang Pak!” jawab ajudan memastikan data yang dilihatnya benar.
“Apa wanita itu yang di maksud dalam cerita ini? sekolah dan kelahirannya memang sama dengan yang disebutkan dalam cerita ini.” Mekdi kembali berpikir sendiri. “Wanita itu telah meninggal. Apa itu yang dimaksud dengan cara Tuhan memisahkan kita?”
Mekdi terus berpikir. Wajahnya menunjukkan ekspresi serius, dengan alis sedikit berkerut. Matanya terfokus menatap punggung laptop yang ada di atas meja, namun pikirannya merenungkan sesuatu yang mendalam.
“Cerita dalam buku ini sepertinya memang nyata dan sejalan dengan kehidupan Bapak Arfan!” Mekdi mengalihkan pandangannya pada buku lama yang ada di tangannya. “Orang yang datang menemui Bapak Arfan pada malam kejadian itu memakai KTP dari daerah Lengayang. Namun pemilik KTP itu telah meninggal setahun yang lalu. Apa maksud orang itu memakai KTP orang yang sudah meninggal? Apakah orang itu memang berasal dari masa lalunya Bapak Arfan?
Peristiwa pembunuhan Bapak Arfan Dinata terasa semakin rumit dalam pikiran Mekdi. Ia kembali melanjutkan membaca buku lama yang ditemukannya, berharap ada petunjuk yang bisa ia dapatkan dalam buku itu.
Bersambung.
zaman dulu mah pokonya kalau punya nokia udh keren bangetlah,,,
😅😅😅
biasanya cinta dr mata turun ke hati, kayaknya dr telinga turun ke hati nih ..
meluncur vote,