Di tengah hiruk pikuk dunia persilatan. Sekte aliran hitam semakin gencar ingin menaklukkan berbagai sekte aliran putih guna menguasai dunia persilatan. Setiap yang dilakukan pasti ada tujuan.
Ada warisan kitab dari nenek moyang mereka yang sekarang diperebutkan oleh semua para pendekar demi meningkatkan kekuatan.
Di sebuah desa kecil, hiduplah seorang anak yang masih berusia 7 tahun. Dia menjadi saksi bisu kejahatan para pemberontak dari sekte aliran hitam yang membantai habis semua penduduk desa termasuk kedua orang tuannya.
Anak kecil yang sama sekali tidak tau apa apa, harus jadi yatim piatu sejak dini. Belum lagi sepanjang hidupnya mengalami banyak penindasan dari orang-orang.
Jika hanya menggantungkan diri dengan nasib, dia mungkin akan menjadi sosok yang dianggap sampah oleh orang lain.
Demi mengangkat harkat dan martabatnya serta menuntut balas atas kematian orang tuanya, apakah dia harus tetap menunggu sebuah keajaiban? atau menjemput keajaiban itu sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aleta. shy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tantangan
Keesokan harinya seperti yang sudah dijanjikan nenek Ling kepada Yuan, dua orang manusia beda generasi itu mulai bersiap berangkat menuju Desa Bunga air.
Nenek Ling dan Yuan sudah keluar dari rumah dengan bawaan seadanya. Tidak lupa sebilah pedang yang sengaja nenek Ling taruh dipunggung nya.
"Nenek bisa bermain pedang?" tanya Yuan yang sampai sekarang belum tau siapa nenek Ling sebenarnya.
"Hanya sedikit saja nak. Ini buat jaga jaga saja" balas nenek Ling seraya memeriksa kembali perbekalan takut ada yang ketinggalan.
Selain ingin membantu anak kecil itu untuk menguburkan jasad orangtuanya dengan layak, nenek Ling juga berniat membalaskan dendamnya atas kematian adiknya, Chow. Siapa tau mereka para pemberontak itu masih berada di desa itu.
Setelah sekian lama menahan rasa rindu yang bergejolak. Berharap suatu hari nanti dapat bertemu kembali dengan adiknya. Namun berita buruk malam tadi memupuskan harapan dirinya. Hati siapa yang tidak sakit mendengarkan berita buruk itu. Harapannya yang selama ini terkubur oleh pemisah yang disebut dengan kematian.
Sedangkan Yuan merasa agak bimbang dengan perjalanan balik menuju desanya saat ini.
"Nenek, apa sebaiknya kita batalkan saja perjalanan ini?" Yuan berbicara dengan nada keraguan.
Nenek Ling menyipitkan matanya. "Apakah kamu tidak ingin menguburkan jasad orangtuamu dengan layak nak?" Nenek Ling bertanya balik. Dia berusaha meyakinkan anak kecil itu terhadap keputusannya tadi malam.
"A..itu.. Aku" Yuan bingung.
Yuan sangat ingin kembali ke desanya itu karena kerinduannya yang sudah tak terbendung lagi. Walaupun hanya bisa melihat jasad ibu dan ayahnya saja, itu lebih dari cukup. Belum lagi tekad dalam hatinya yang Ingin memberikan tempat peristirahatan terakhir yang layak buat kedua orangtuanya.
Tetapi disisi lain, Yuan juga takut ini akan menjadi petaka bagi orang lain. Nyawa jadi bayaran jika salah dalam melangkah.
Rasa trauma atas kejadian semalam belum sepenuhnya hilang. Dia tidak sanggup jika harus mengulang meminum pil pahit kalau kalau nenek nenek disampingnya ini juga pergi meninggalkannya.
Sebentar waktu perkenalan mereka, namun Yuan sudah mulai nyaman dengan sosok nenek itu. Dia ingin sekali balas dendam, tapi tidak dengan melibatkan orang lain. Semua ini menjadi dilema bagi anak kecil itu.
Tak berselang lama, seseorang muncul di tengah keraguan hati Yuan. Datang secara tiba-tiba membuat Yuan sedikit kaget. Orang tersebut adalah Bai Feng.
Reflek Yuan langsung memberikan salam penghormatan dengan sedikit membungkukkan badannya.
"Selamat pagi Tetua Bai" hal yang sama dilakukan pengawal penjaga gerbang, Yuan juga mengikutinya.
Sapaan Yuan tidak di gubris. Bai Feng malah mendekat ke arah nenek Ling.
"Kakak apakah hari ini kakak sibuk" tanya Bai Feng sambil matanya melihat bungkusan ditangan Nenek Ling begitu juga sebilah pedang di punggungnya. Seperti orang mau bertempur saja, pikir Bai Feng
"Aku tidak sibuk Feng, tapi aku sedang ada kegiatan" balas nenek Ling.
"Orang ini saling mengenal? Kalaupun kenal kenapa seakan dekat sekali?" hati Yuan mulai bertanya-tanya.
Seperti yang kita ketahui jika Tetua Chow dan Bai Feng adalah saudara dari jalur orang tuanya yang merupakan saudara kandung atau sepupu, berarti nenek Ling merupakan sepupunya juga.
Walaupun seluruh desa tidak menganggap perempuan tua ini dan mengabaikannya, tapi tidak dengan Bai Feng. Dia sangat menghormati dan menyayangi sepupunya ini.
"Kalau boleh tau kakak ada kegiatan apa?" tanya Bai Feng.
"Aku berencana mengundang kakak supaya datang kerumahku karena ada sedikit acara" Sambung Bai Feng mengundang nenek Ling berharap perempuan tua itu bisa menghadirinya.
Nenek Ling menghela nafas. "Sudahlah Feng, kau tidak perlu mempersulit hidupmu"
Nenek Ling tau jika adik sepupunya ini mengundang dirinya atas kemauan dirinya sendiri tanpa kemauan dari pihak keluarganya.
Nyatanya, semua orang didesa ini sangat membenci dirinya karena dianggap sebagai penghianat. Apapun yang dilakukannya pasti salah di mata mereka.
"Tidak kakak, aku mohon tolong hadirlah" Bai Feng memohon. Mengatupkan kedua tangannya berharap nenek Ling simpatik kali ini.
"Sudah kesekian kalinya kakak menolak undangan dariku, tapi untuk kali ini aku mohon datanglah kak" ucapnya bersungguh-sungguh.
"Sebenarnya ada hubungan apa antara paman Bai Feng dengan nenek Ling?"
"Kenapa paman memanggil nenek dengan sebutan kakak?"
"Bukankah Paman Bai adalah orang yang dihormati didesa ini, tapi kenapa..."
Pertanyaan demi pertanyaan menari-nari didalam otak Yuan. Kening anak kecil itu berkerut dengan mata bergerilya bergantian memandang Bai Feng dan nenek Ling.
"Aku mau ke desa Chow, aku mau melakukan apa yang seharusnya aku lakukan" ucap nenek Ling serius.
"Dan aku sangat kecewa denganmu. Kenapa kau tidak mengatakan yang sesungguhnya kepadaku tentang Chow!" Nada bicara nenek Ling sedikit meninggi.
Bai Feng melirik sekilas ke arah Yuan dan anak kecil itu langsung menundukkan pandangannya. Dia menghela nafas panjang dan melihat sorot mata nenek Ling tajam kepadanya.
Bai Feng memang tidak mengatakan sepenuhnya kepada nenek Ling saat dia menitipkan anak kecil itu tadi malam.
"Maafkan aku kak, jujur saja aku juga terpukul atas kejadian ini. Aku tidak mau membebani pikiran kakak, cuma itu saja." Jawab Bai Feng merasa bersalah.
Disini Yuan menjadi orang yang paling bingung diantara perdebatan dua orang berumur di hadapannya.
Tetua Chow?
Kakak?
Bukankah?
Bai Feng menceritakan sedikit kejadian yang sempat dialaminya semalam yang tentu sudah diceritakan oleh Yuan malam tadi dengan lebih detail.
"Cukup, aku sudah tau semuanya!" nenek Ling berkomentar. Dia memutarkan bola matanya malas.
"Kau tidak mengerti bagaimana perasaanku" jawab nenek Ling lirih. Berubah sedikit sendu.
Bai Feng cukup tau pasti anak kecil itu sudah banyak bercerita dengan kakaknya tersebut. Dia juga tau bagaimana perasaan kakaknya ini sekarang.
"Aku hanya tidak ingin membuat kakak bersedih." Bai Feng menunjukkan wajah penyesalan.
"Tapi kakak, untuk pergi ke desa kakak Chow, bukankah sebuah keputusan yang tepat"
"Mereka dari kelompok sekte yang berbahaya" Bai Feng mencoba menjelaskan.
"Racun" satu kata yang di ucapkan Bai Feng sebelum menghela nafas.
"Kakak Chow tidak mungkin ditundukkan begitu saja jika terkena racun biasa. Apakah kakak tidak memikirkannya" Panjang lebar Bai Feng berusaha melarang Nenek Chow yang berniat pergi ke desa Bunga air.
Pikiran nenek Ling mulai terbuka. Mungkin dirinya terlalu gegabah.
"Benar juga" batin nenek Chow. Memijit sedikit kepalanya yang sudah terasa sangat pusing merasa dilema akan keputusannya.
Panas matahari mulai sedikit naik dari posisi sebelumnya. Waktu berjalan seperti biasanya. Yuan mencerna ucapan dari Bai Feng. Tiba-tiba anak kecil itu memberanikan diri mengeluarkan suaranya.
"Nenek, paman Bai Feng benar. Lebih baik kita jangan gegabah"
"Keselamatan nenek lebih penting" sambung Yuan lagi.
Yuan tidak mau melibatkan nenek Ling dalam masalahnya. Tanpa ia tau jika semua itu pasti ada kaitannya dengan Nenek Ling jika berkaitan dengan Tetua Chow.
...
Setelah memutuskan untuk tidak jadi pergi ke Desa bunga air, nenek Ling terpaksa menerima undangan dari Bai Feng untuk datang menghadiri acara dirumahnya.
Alasan yang di lontarkan oleh Bai Feng tadi sungguh masuk akal. Jika memang dia ingin balas dendam, jangan sampai dendam itu juga membinasakan dirinya sendiri dengan keputusan yang tergesa-gesa. Jika tidak dengan pertimbangan yang matang, semuanya akan sia-sia.
Adapun mengapa nenek Ling bersedia memenuhi undangan Bai Feng adalah karena sepupunya itu berjanji akan ikut membantu mengatur strategi.
Diantara semua tertua, hanya Bai Feng lah yang dijuluki sebagai Tetua dengan ahli strategi. Dia memang tipe pendekar penuh dengan pertimbangan sebelum bergerak.
Jadi mau tidak mau nenek Ling terpaksa terlebih dahulu menerima permintaan Bai Feng supaya datang di acaranya itu.
Nenek Ling juga akan mengajak Yuan datang di acara jamuan Bai Feng kepadanya yang tentu awalnya anak kecil itu menolak. Namun karena paksaan Nenek Ling akhirnya Yuan mengiyakan ajakan itu.
Mereka berdua akhirnya berangkat menuju kediamannya Bai Feng dengan sebuah tongkat ditangan nenek Ling.
"Nenek" Ucap Yuan ditengah perjalanan.
"Hmmm Kenapa nak?" balas nenek Ling sambil melangkahkan kakinya lebih lambat dari sebelumnya.
"Bolehkah aku bertanya?"
"Tentu saja boleh nak" jawab Nenek Ling sambil mengusap rambut anak kecil itu.
"Memangnya kenapa?" tanya nenek Ling.
"Hmmm kenapa mereka memandang nenek seperti itu?" tanya Yuan mengisyaratkan bibirnya sebagai arah tunjuk.
Memonyongkan bibir
Nenek Ling sudah biasa dengan pandangan orang terhadapnya. Sebab itu dia jarang sekali keluar rumah jika tidak ada keperluan penting. Bahkan Nenek Ling yang ingin terus mengasah kemampuan beladiri nya harus pergi ke hutan terlebih dahulu. Ya walaupun ilmu beladiri Nenek Ling pada dasarnya memang sudah tinggi.
"Abaikan saja nak" balas Nenek Ling kemudian merangkul Yuan.
Sedangkan Yuan hanya mengangguk dan kembali fokus melangkahkan kakinya.
Setelah cukup lama berjalan, mereka berdua sampai di kediamannya Bai Feng.
"Mewah sekali" batin Yuan.
"Bukankah itu Ling, penghianat desa kita?"
"Lihatlah itu Ling bukan?"
"Sudah lama sekali penghianat itu tidak menampakkan diri"
"Rupa-rupanya masih punya muka untuk datang ditempat umum seperti ini"
Berbagai jenis umpatan dan cacian dari orang orang kepada Nenek Ling. Tapi orang yang mereka caci tidak menunjukkan reaksi apa-apa.
Bai Feng yang melihat kedatangan nenek Ling, segera menghampirinya.
"Aku senang sekali kakak benar-benar datang kesini" ucap Bai Feng sumringah.
"Hmmm" balas nenek Ling.
Bai Feng mengantarkan nenek Ling di kursi yang sudah disiapkan olehnya.
"Aku membawa dia, siapkan juga kursi untuknya" Ucap nenek Ling dingin.
Acara yang dimaksud Bai Feng adalah acara yang dibalutkan sebuah pertunjukan pada umumnya dan nenek Ling dengan mudah menebak acara apa ini.
...
"Jurus dasar pedang!" seru seorang anak yang sedari tadi terus melancarkan serangannya. Jurusnya itu menimbulkan efek kecepatan yang lebih tinggi dari sebelumnya.
Sedangkan lawannya terus-menerus membuat pertahanan tanpa mampu memberikan serangan balik.
Tiga hampir empat gerakan pedang sudah dilancarkan anak itu namun masih belum bisa membuat lawannya keluar dari garis lingkaran yang dibuat sebagai tanda batas kalahnya seseorang dalam pertarungan itu.
Suara teriakan dan riuh penonton mulai memberikan dukungan terhadap jagoan mereka.
Sampai pada akhirnya pada serangan yang terakhir saat menggunakan jurus dasar pedang sekali lagi, mampu membuat lawannya terpental jauh meninggalkan area pertarungan.
"Pemenang pertama kita, adalah dari perguruan yang dipimpin oleh Tetua Bai Feng.."
Prok prok prok prok....
Bunyi tepuk tangan berlangsung meriah.
Yuan, anak kecil itu ternganga melihat gerakan anak-anak seumuran dirinya tadi saat memainkan pedang. Yuan bahkan juga ikut memberikan tepuk tangannya.
"Ayo nenek tepuk tangan, ini hebat sekali"
Nenek Ling justru malah mengacak-acak rambut anak kecil itu karena saking lucunya ekspresi itu.
"Aku senang sekali dengan anak kecil, tapi aku tidak ingin menikah. Lucu sekali aku ini" batin Nenek Ling. Fokusnya bukan kearah pertarungan, tetapi kearah Yuan yang sedang kegirangan.
Pertarungan demi pertarungan sudah berlalu.
Sampai pada akhirnya seorang anak kecil yang berusia 8 tahun menjadi pemenang dalam pertandingan tersebut.
Acara ini memang dikhususkan anak yang dibawah berusia 10 tahun.
Yuan kagum sekali dengan anak tersebut. Sampai sampai dia tidak berkedip pada saat melihat gerakan lincah anak itu.
"Dia hebat sekali nenek" ucap Yuan kagum. Matanya tak bergeming melihat kearah anak tersebut.
"Baiklah, kita sudah mendapatkan pemenangnya" ucap wasit pertandingan tersebut.
Wasit pertandingan itu menggandeng tangan anak kecil yang berhasil bertahan sampai akhir babak dan dinyatakan sebagai pemenang setelah semua lawannya sudah dikalahkan.
Bai Feng sebagai penyelenggara turnamen kecil ini membawa hadiah yang sebelumnya sudah disiapkan.
Suara tepuk tangan semakin bergemuruh. Satu pedang dipersembahkan Bai Feng kepada anak itu yang diketahui bernama Xingcho tersebut. Bukan hanya itu, satu kantong koin emas dan perak juga diberikan Bai Feng kepada anak tersebut.
Xingcho, seorang anak kecil yang berusia 8 tahun. Dia merupakan cucu kandung dari Bai Feng itu sendiri. Bakat bawaan lahir serta diasah terus oleh Bai Feng sendiri membuat anak tersebut digadang-gadang menjadi pendekar hebat diusia remajanya.
"Selamat ya nak" ucap Bai Feng.
"Makasih kakek" balas Xingcho.
"Baiklah, aku akan mengabulkan satu permintaan anak ini!!" ucap Bai Feng sedikit berteriak sehingga semua orang mendengarkannya.
Bai Feng memang menjanjikan sebuah permintaan yang akan dikabulkannya kepada pemenang turnamen kecil yang dibuatnya ini.
"Apa yang kau minta nak?" tanya Bai Feng dengan sedikit mengeraskan suara supaya para penonton yang di undangnya bisa mendengar.
"Benarkah kakek akan mengabulkannya?" Xingcho bertanya balik.
"Tentu saja, kenapa tidak"
"Kalau begitu aku mau bertarung dengan anak itu!!" Xingcho berteriak dengan jari telunjuknya mengarah kepada salah satu penonton.
Deg.
"Kenapa jarinya mengarah ke sini?" batin Yuan.
Semua mata mengikuti arah jari Xingcho yang mengarah kepada Yuan.
Yuan malah melihat dibelakangnya, takut-takut salah orang.
"Hei!! Kamu!!!" Teriak Xingcho.
Melihat mata itu mengarah kepadanya.
"Aku?" tunjuk Yuan pada dirinya sendiri.
"Iya kamu" jawab Xingcho tersenyum menantang.
"Kenapa aku?" batin Yuan.