NovelToon NovelToon
Di Antara 2 Hati

Di Antara 2 Hati

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Cinta Terlarang / Pelakor / Pelakor jahat
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: cocopa

Amara adalah seorang wanita muda yang bekerja di sebuah kafe kecil dan bertemu dengan Adrian, seorang pria sukses yang sudah menikah. Meski Adrian memiliki pernikahan yang tampak bahagia, ia mulai merasakan ketertarikan yang kuat pada Amara. Sementara itu, Bima, teman dekat Adrian, selalu ada untuk mendukung Adrian, namun tidak tahu mengenai perasaan yang berkembang antara Adrian dan Amara.

Di tengah dilema cinta dan tanggung jawab, Amara dan Adrian terjebak dalam perasaan yang sulit diungkapkan. Keputusan yang mereka buat akan mengubah hidup mereka selamanya, dan berpotensi menghancurkan hubungan mereka dengan Bima. Dalam kisah ini, ketiganya harus menghadapi perasaan yang saling bertautan dan mencari tahu apa yang sebenarnya mereka inginkan dalam hidup.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cocopa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Jejak Yang Tersisa *2

Mereka berdua terdiam, duduk bersama dalam keheningan yang penuh makna. Amara tahu bahwa ini bukan akhir yang pernah ia bayangkan ketika pertama kali jatuh cinta pada Satria. Harapan-harapan, impian-impian yang pernah mereka jalin bersama, kini terasa seperti potongan gambar yang memudar, perlahan menghilang bersama kepastian yang dulu terasa kuat. Namun, di balik semua rasa sakit ini, ia mulai menyadari bahwa mungkin ada pelajaran yang perlu ia pahami dari semua ini.

"Kamu nggak sendiri, Mara," Bima mengulangi dengan lembut, menggenggam tangannya lebih erat. Tatapannya mengandung ketulusan yang mendalam, seolah ingin meyakinkan Amara bahwa ia bisa melalui semua ini. "Kamu punya aku, teman-teman, dan keluargamu. Dan, siapa tahu, mungkin ini adalah cara semesta mengajarkan kita sesuatu."

Amara menatap Bima dengan pandangan nanar, berusaha mengumpulkan kekuatan dari kata-kata temannya itu. Meski luka di hatinya belum sembuh, entah bagaimana, kata-kata Bima sedikit demi sedikit menenangkannya. Mungkin benar bahwa ia tidak sepenuhnya sendirian dalam perjalanannya ini.

"Aku akan mencoba," jawabnya dengan nada pelan, tapi terdengar lebih mantap dari sebelumnya. "Aku nggak janji kalau aku bisa melupakan semua ini dengan cepat, tapi aku akan mencoba."

Bima tersenyum tipis, meremas lembut tangan Amara sebagai tanda dukungan. "Itu yang paling penting, Mara. Yang penting kamu terus mencoba. Waktu yang akan membantu sisanya."

Mereka melanjutkan percakapan dalam suasana yang lebih ringan, mencoba meninggalkan topik-topik yang menyakitkan untuk sejenak. Bima menceritakan beberapa hal lucu yang ia alami di kantor, dari kecerobohannya yang tak sengaja menumpahkan kopi di ruang meeting hingga salah memanggil klien dengan nama yang salah. Sesekali, Amara tertawa kecil, merasa sedikit beban di pundaknya mulai terangkat. Ia tersenyum, merasa bersyukur memiliki teman seperti Bima yang selalu ada di sisinya tanpa pamrih.

Saat malam semakin larut dan kafe mulai sepi, Amara merasa ada sedikit ketenangan yang mulai menyusup ke dalam hatinya. Meski ia tahu perjalanannya masih panjang dan penuh tantangan, ia tidak lagi merasa harus menghadapi semuanya seorang diri. Bima adalah sosok yang dengan sabar menemaninya, dan ia tahu bahwa setidaknya ada seseorang yang siap mendukungnya di setiap langkahnya.

Dengan berat hati, mereka berdua akhirnya beranjak dari kafe. Saat hendak berpisah di depan kafe, Bima menatapnya dengan senyum hangat, seolah memastikan bahwa ia benar-benar baik-baik saja.

"Kalau kamu butuh apa pun, ingat, aku hanya sejauh satu panggilan telepon," ujar Bima dengan nada menggoda, berusaha meringankan suasana.

---

Saat malam semakin larut dan kafe mulai sepi, Amara merasakan keheningan yang seolah-olah mulai mengisi ruang di hatinya yang kosong. Ia melihat ke luar jendela kafe, menyaksikan kerlip lampu-lampu kota yang menari di kejauhan. Di antara semua keramaian ini, ia merasa begitu kecil, namun ada kenyamanan yang pelan-pelan hadir. Keheningan itu memberinya kesempatan untuk memproses segala yang ia rasakan, seolah-olah membiarkannya merangkul rasa sakit dan perlahan melepaskannya.

"Mara," suara Bima membuyarkan lamunannya. Ia menatapnya dengan lembut, menyiratkan kepedulian yang tak pernah berkurang sejak awal percakapan mereka tadi. "Aku tahu ini bukan hal yang mudah, dan aku juga nggak akan memaksa kamu untuk cepat-cepat menghadapinya. Yang aku inginkan hanyalah kamu tahu kalau aku selalu ada di sini. Kita mungkin nggak bisa selalu memahami setiap keputusan orang lain, tapi setidaknya kita bisa menerima bahwa itu juga bagian dari hidup."

Amara menatap Bima, matanya berkaca-kaca. Dalam keheningan itu, ia menyadari bahwa semua perasaan ini, semua kerumitan yang dialaminya, adalah bagian dari hidupnya sendiri—bagian yang mungkin akan membentuknya menjadi seseorang yang lebih kuat. Ia mengambil napas dalam, mencoba menerima kata-kata Bima sebagai pengingat bahwa ia tidak harus memaksakan diri untuk mengerti semua jawaban sekaligus. Beberapa hal mungkin memang hanya bisa diterima seiring berjalannya waktu.

"Aku... Aku akan berusaha, Bima," ucap Amara dengan suara lembut yang hampir berbisik, namun penuh dengan ketulusan. "Mungkin aku nggak bisa melupakan Satria dengan cepat, dan mungkin aku masih akan merindukannya setiap hari. Tapi setidaknya aku ingin mencoba untuk terus melangkah, meskipun perlahan."

Bima tersenyum, mengangguk dengan penuh pengertian. "Itu yang paling penting, Mara. Perjalanan ini nggak harus cepat. Yang penting adalah kamu tahu kalau kamu bisa melewatinya, meskipun satu langkah demi satu langkah. Dan aku akan selalu ada di sini, mendukungmu."

Mereka berdua duduk dalam keheningan lagi, menikmati sisa-sisa waktu mereka di kafe yang hampir kosong. Di antara suara musik lembut yang terdengar sayup-sayup, Amara merasa bahwa ada semacam kelegaan yang muncul, meski samar. Ia tahu, ini bukan akhir dari perasaannya terhadap Satria, tapi mungkin ini adalah awal dari sebuah penerimaan. Perlahan, ia mulai menerima kenyataan bahwa tidak semua yang ia inginkan akan terwujud seperti yang ia bayangkan.

Sebelum mereka meninggalkan kafe, Bima mengambil kesempatan untuk menceritakan beberapa kisah lucu tentang teman-temannya di kantor, membuat Amara tertawa kecil. Amara merasa bahwa untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu, ia bisa tertawa dengan tulus, meskipun rasa sakit di hatinya masih terasa. Di momen itu, ia merasa bahwa dirinya kembali mendapatkan sepotong kecil kebahagiaan yang hilang.

Malam semakin larut ketika mereka keluar dari kafe, dan udara dingin mulai menyelimuti kota. Amara mengeratkan jaketnya, sementara Bima mengiringinya menuju taksi yang akan membawanya pulang.

"Kalau ada apa-apa, kamu tahu aku cuma sejauh satu pesan, kan?" Bima tersenyum, berusaha memberi dukungan terakhir untuk malam itu.

Amara membalas senyum itu, matanya penuh rasa syukur. "Aku tahu, Bima. Terima kasih banyak untuk malam ini. Kamu nggak tahu seberapa besar bantuanmu buat aku."

Bima mengangguk pelan, tampak ragu sejenak sebelum akhirnya berkata, "Aku nggak butuh terima kasih, Mara. Yang penting, kamu baik-baik aja." Dengan satu anggukan terakhir, ia melepas Amara yang naik ke dalam taksi.

Di perjalanan pulang, Amara menatap keluar jendela, membiarkan pikirannya melayang pada momen-momen yang baru saja ia alami. Sejenak, ia teringat pada Satria lagi, namun kali ini tanpa rasa pedih yang menusuk. Alih-alih, ia hanya merasakan kerinduan yang lebih tenang, seolah-olah mulai berdamai dengan semua yang terjadi.

Ia menarik napas panjang, mencoba menerima bahwa jalan hidupnya mungkin harus berubah. Meski sulit, ia mulai melihat bahwa mungkin keputusan Satria bukan sepenuhnya tentang dirinya. Mungkin ada alasan yang jauh lebih besar, lebih dalam, yang selama ini belum bisa ia pahami. Namun, kini ia merasa tidak harus segera menemukan jawabannya. Ia punya waktu, dan ia punya teman-teman seperti Bima yang selalu siap mendukungnya.

"Aku akan mencoba," ia berbisik pada dirinya sendiri, suara lembutnya hampir tenggelam di tengah suara mesin taksi yang melaju di jalanan sepi. "Aku akan terus berjalan, meski pelan-pelan."

Dan malam itu, Amara merasakan bahwa ia mungkin telah memulai perjalanan barunya—perjalanan menuju penerimaan, menuju kekuatan yang selama ini tersembunyi dalam dirinya.

1
Zein Shion
Gemesin banget sih tokoh utamanya, bikin hati meleleh😍
ANDERSON AGUDELO SALAZAR
Sekali baca, rasanya nggak cukup! Update dong, thor! 👀
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!