Terlahir dari orang tua yang membenci dirinya sejak kecil, Embun Sanubari tumbuh menjadi laki-laki yang pendiam. Di balik sifat lembut dan wajah tampannya, tersimpan begitu banyak rasa sakit di hatinya.
Ia tak pernah bisa mengambil pilihannya sendiri sepanjang hidup lantaran belenggu sang ayah. Hingga saat ia memasuki usia dewasa, sang ayah menjodohkannya dengan gadis yang tak pernah ia temui sebelumnya.
Ia tak akan pernah menyangka bahwa Rembulan Saraswati Sanasesa, istrinya yang angkuh dan misterius itu akan memberikan begitu banyak kejutan di sepanjang hidupnya. Embun Sanubari yang sebelumnya menjalani hidup layaknya boneka, mulai merasakan gelenyar perasaan aneh yang dinamakan cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dzataasabrn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Her Secret
---- Saras Pov ----
Aku tercekat, nyaris menjerit saat menyadari si bodoh itu menciumku dengan amat tiba-tiba. Dengan gerakan cepat, aku mendorong bahunya untuk menjauh dan mengelap bibirku dengan kasar.
"Apa yang kau pikirkan, bodoh!" hardikku dengan kesal. Aku membetulkan anak rambut dengan pelan dan menatap tajam ke arah kerumunan di belakang kami.
"Kau kan pacarku!" Lelaki berjambul di hadapanku itu memasang senyum nakal, bibirnya lantas mengerucut seolah ia sedang menunjukkan bahwa dirinya kesal.
Aku memutar bolah mata. Karena tak tahan melihat ekspresi jeleknya itu aku menginjak kakinya dengan kesal. "Kita sudah putus Dany! Lagipula, kau tau aku akan segera menikah." ujarku lirih, mengusap bibirku sekali lagi.
"Jangan pernah melakukan itu lagi. Aku tidak ingin ada masalah lagi," lanjutku, kembali menoleh ke belakang saat mendengar gadis-gadis itu bergumam rendah, saling berbisik satu sama lain.
Aku menaikkan sebelah alis tak mengerti. Baru saja aku hendak kembali menatap ke depan saat mataku bertemu dengan mata itu. Mata indah berwarna hazel dengan sorot lembut itu kini menatap datar ke arahku. Ia membuang muka kemudian menarik tasnya dengan kasar dan berjalan melaluiku tanpa sedikitpun menyapa. Ia membelah barisan gadis-gadis di belakangku dengan terburu-buru.
Samar-samar kudengar gadis-gadis itu berkata, "Hei, bukankah dia putera Sandika Adyatama? Gila! Dia pria paling tampan yang pernah kulihat!"
"Oh God! Can't he just be mine? Dia wangi banget!"
"Kalian lihat urat di lengannya tadi? Siapapun tolong sadarkan aku sekarang juga!"
Aku memejamkan mata. Entah kenapa aku merasa kesal mendengar gadis lain memuja-muja Embun. Maksudku, Sanu.
Dia memang sangat tampan dengan tubuh yang sangat bagus. Dia tinggi dan meski ia sering memakai baju-baju yang kebesaran, otot-ototnya dapat terlihat dari balik bajunya itu. Apalagi barusan dia menggulung lengan kemejanya hingga ke siku seperti tadi. Benar-benar memperlihatkan otot dan urat tangannya dengan jelas di balik kulitnya yang kekuningan dan mulus itu.
Aku menggeleng pelan. Kenapa juga aku jadi membahas otot Sanu?
Dany menjentikkan jarinya di depan wajahku, "Cantik, mikirin apa sih?" Aku meliriknya. Dany membuat ekspresi heran sembari menaikkan sebelah alisnya.
Tanpa mempedulikannya, aku hanya membuang napas pelan kemudian berjalan dan duduk di salah satu kursi yang ada di kantin. Dany duduk di sebelahku sembari memainkan gadgetnya. Memainkan sebuah game bodoh yang entah kenapa sangat disukainya itu.
Aku menghela napas sekali lagi saat mengingat ekspresi Sanu beberapa waktu lalu. Apakah dia marah? Apakah dia melihat Dany menciumku barusan? Duh, dasar Dany idiot!
Semoga laki-laki itu tidak akan menelpon ayahnya dan meminta ayahnya membatalkan pernikahan kami. Meski akupun enggan menikah dengan orang asing di usia semuda ini, tetapi Sanu adalah kunci agar aku bisa terbebas dari kehidupan mengerikanku di rumah. Hanya dia satu-satunya alasan kuat agar aku bisa secepatnya meninggalkan rumah.
Aku melirik Dany sekali lagi. Sebenarnya, aku masih menyukai Dany. Kami sudah berpacaran sejak SMP dan sejak saat itu aku terbiasa menghabiskan hari-hariku dengannya. Meski dia sedikit bodoh, narsis, tidak terlalu tampan, dan kurang bisa merawat diri sendiri aku tetap menyukainya. Setidaknya dia adalah orang yang jujur dan pekerja keras. Meski ia berasal dari keluarga yang cukup berada, ia bukan anak yang hanya mengandalkan harta orang tuanya. Karena kemampuan basketnya, dia berhasil dilirik club profesional sejak SMA dan mendapatkan penghasilan yang tidak sedikit untuk mencukupi kebutuhannya. Meski tentu masih banyak hal yang dibiayai orang tuanya, setidaknya ia sudah berusaha.
Kebanyakan orang di kalangan kami adalah mereka yang terlahir dengan bergelimang harta. Bahkan hingga dewasa pun banyak di antara kami yang hanya tinggal melanjutkan apa yang sudah dibangun orang tua kami. Oleh karena itu, aku merasa Dany cukup berbeda dengan orang-orang di sekitarku yang hanya bermanja-manja pada harta orang tuanya.
Sejujurnya Dany menolak untuk mengakhiri hubungan denganku pada awalnya, tetapi setelah ayahku memarahinya beserta orang tuanya, Dany pun memutuskan untuk mundur. Dia bahkan tidak berbicara padaku selama lebih dari sebulan karena mengetahui aku akan menikah dengan orang lain. Tetapi apa boleh buat. Hanya pernikahan ini satu-satunya cara untuk bisa menyelamatkan diriku sendiri. Mungkin jika aku sudah bisa berdiri di atas kakiku sendiri, aku akan segera menceraikan Sanu dan kembali pada Dany. Yang pasti aku juga tidak ingin menghabiskan seluruh hidupku bersama dengan orang yang tidak aku cintai.
Dari apa yang aku lihat, Sanu pastilah tidak jauh berbeda dari anak orang kaya lainnya. Apalagi ia anak dari seorang Sandika Adyatama. Salah satu pebisnis terkaya di negara ini bahkan mungkin di Asia. Dan kerennya lagi, Sandika mendapatkan semua itu di usia yang tergolong masih muda. Kudengar ia baru akan menginjak 41 tahun. Sanu pasti digelimangi harta sejak kecil dan tidak menutup kemungkinan itu membuatnya menjadi anak yang manja dan sombong seperti yang lain.
Aku tidak berharap banyak dari pernikahan ini. Lagipula aku sama sekali tidak menyukai Sanu. Tidak sekarang ataupun nanti. Tapi setidaknya, aku berharap pernikahan ini benar-benar bisa membantuku terbebas dari rumah itu. Kumohon. Semoga pernikahan ini benar-benar akan segera terlaksana.
...****************...
---- Author's Pov ----
TW/Trigger Warning (Kekerasan/Pelecehan)⛔️
Dua minggu telah berlalu sejak kejadian di kantin itu. Setiap hari Saras terus berdoa agar ia tidak mendengar kabar pembatalan pernikahan. Setiap hari ia berusaha menguatkan diri dengan pikiran bahwa sebentar lagi ia akan segera keluar dari rumahnya.
Malam itu, Saras sedang mengerjakan tugas saat alarm di ponselnya mulai berbunyi. Ia mematikan alarm tersebut dengan buru-buru seraya menghela napas gusar. Sudah pukul tujuh kurang lima menit. Sebentar lagi dia kan datang, batin Saras.
Tubuhnya yang ramping mulai gemetar hanya dengan membayangkan kehadiran orang itu. Keringat dingin mulai bercucuran dari dahinya yang mulus. Tanpa sadar, ia mulai menggigiti ujung jarinya dengan panik. Perasaan takut dan kalut segera menguasai dirinya. Berapa lama lagi ia harus menahan ini semua? Kapan pernikahan itu akan dilaksanakan? Saras memejamkan mata saat melihat jam tujuh hanya kurang semenit lagi.
Saras menjatuhkan diri ke lantai tanpa sengaja saat ia hendak berjalan untuk duduk di kasur. Ia terjerembab gaun tidurnya dan terduduk di lantai dengan air mata yang telah menggenangi mata.
Belum sempat ia berdiri, terdengar suara *cklek* dari arah pintu. Saras semakin gemetar. Akhirnya orang itu telah tiba. Pria gempal itu menyunggingkan seringai yang setiap malam selalu ia pamerkan dengan kejamnya. Ia mengenakan setelan jas seperti biasanya. Kali ini ia mengenakan sebuah high hat yang membuat laki-laki itu tampak semakin mengerikan di mata Saras.
Gadis itu menundukkan wajahnya, seolah ingin menyembunyikan diri di antara lututnya. Meski pada akhirnya ia tahu bahwa dirinya tak akan pernah bisa bersembunyi.
cr : pinterest.
"Kenapa kamu duduk di lantai?" Suara berat pria itu seketika menggema di kamar Saras.
Gadis itu mengangkat wajahnya dan hanya menggeleng tertahan.
"Hari ini moodku hilang karena aku harus mengatakan bahwa besok adalah hari pernikahanmu. Sebetulnya aku sudah tau ini sejak satu minggu lalu tapi aku sangat enggan mengatakannya." ujar pria itu, meletakkan topinya di salah satu meja reyot milik Saras dan mendekati gadis itu dengan langkah pelan.
Ia menarik dagu Saras yang sedang menunduk dan memaksanya untuk melihat wajah tuanya itu.
"Meski kau sudah menikah sekalipun, kau selamanya adalah milik ayah! Hanya aku aku dan aku yang memilikimu!" pria itu berteriak kencang, membuat Saras tersentak berlinang air mata.
Tangan Saras mengepal, ia menggigit bibir bawahnya untuk menahan isakannya saat Danendra menyentuh lehernya dengan telapak tangan kasarnya itu.
"Jika bukan karena Sandika yang membeli hampir semua saham bisnisku, aku tidak akan sudi membiarkan anaknya yang bodoh itu menyentuhmu!" Sandika menarik rambut Saras dan membenturkannya ke lemari yang ada di dekat mereka.
"Jika kondisi bisnisku sudah kembali stabil, kau akan kubawa kembali ke rumah ini. Tenang saja, kau akan aman bersama ayah." Danendra menyeringai dan lantas mulai melancarkan aksi bejatnya.
Saras menutup mulutnya rapat-rapat saat pria bejat itu mulai menggerayai tubuhnya dan sesekali menyiksanya dengan sebuah tongkat besi.
Sejak Saras duduk di bangku SMP, ayahnya mulai melecehkan gadis tersebut. Ayah kandungnya sendiri, adalah alasan dari penderitaannya. Bahkan Nawang ibunya, kini hanya bisa terduduk lemah di lantai bawah sembari meneguk segelas anggur saat medengar jeritan-jeritan Saras yang menggema di hampir seluruh penjuru rumah mereka.
Malam itu adalah malam yang sangat panjang bagi Saras. Tubuhnya babak belur penuh luka, hatinya teriris hingga menjadi serpihan-serpihan tak kasat mata. Hanya wajahnya yang selamat karena Danendra tidak ingin orang lain mengetahui bahwa Saras telah disiksanya.
Dengan air mata berlinang, Saras mulai membasuh lukanya. Ia memejamkan mata menahan perih di sekujur tubuhnya. Dalam hati kecilnya, ia menanti agar hari esok segera tiba. Agar hari dimana ia menikah dan bisa meninggalkan rumah itu segera tiba.