(Siapkan kanebo kering untuk menyeka air mata juga mental yang kuat untuk marah-marah!)
Sheila, seorang gadis culun harus rela dinikahi secara diam-diam oleh seorang dokter yang merupakan tunangan mendiang kakaknya.
Penampilannya yang culun dan kampungan membuatnya mendapat pembullyan dari orang-orang di sekitarnya, sehingga menimbulkan kebencian di hatinya.
Hingga suatu hari, Sheila si gadis culun kembali untuk membalas orang-orang yang telah menyakitinya di masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kolom langit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kemarahan Marchel Part 2
Marchel terburu-buru menuju gudang belakang tempat ibu dan Audry mengurung Sheila. Setibanya di sana, Marchel mengetuk pintu ruangan itu beberapa kali sambil memanggil nama Sheila. Namun, Sheila tak juga menyahut.
Marchel tahu betul gadis kecil yang menjadi istrinya itu sangat takut dengan kegelapan. Laki-laki itu mulai menebak jika sang istri pingsan di dalam sana. Bibi Yum yang sejak tadi mengekor di belakang Marchel hanya dapat terdiam dengan raut wajah khawatir.
Sheila belum pulih sepenuhnya dari sakitnya, namun harus mengalami kekerasan yang dilakukan ibu dan Audry.
"Dimana kuncinya, Bibi?" tanya Marchel pada wanita paruh baya itu.
"Sepertinya kunci gudang, nyonya yang menyimpannya," jawab Bibi Yum.
Dengan panik, Marchel segera melangkah menuju kamar sang ibu yang berada di lantai bawah. Lalu mengetuk pintu kamar itu dengan keras membuat Audry dan ibu seketika menghentikan kegiatannya.
"Siapa yang berani mengetuk pintu sekeras itu? tanya ibu menatap Audry.
"Ibu... Buka pintunya," teriak Marchel dari luar. Ibu dan Audry pun bangkit dari posisi duduknya, kemudian membuka pintu kamar.
"Marchel... Ada apa?" tanya ibu.
Sejenak, Marchel menatap tajam Audry. Laki-laki itu sudah menebak, bahwa Audry pasti melakukan sesuatu untuk membuat ibu marah pada Sheila. Marchel kemudian mengalihkan pandangannya pada ibu. "Bu... apa yang ibu lakukan? Kenapa ibu mengurung Sheila di gudang?"
"Dia sengaja menumpahkan minyak di dapur untuk membuat ibu atau Audry terjatuh. Lihat, kening ibu sampai memar begini karena terjatuh. Untung ada Audry yang menolong ibu," sahut ibu dengan wajah yang terlihat jelas begitu marah.
"Apa Ibu melihat Sheila yang menumpahkan minyak?"
Ibu langsung terdiam mendengar pertanyaan itu. Lalu melirik Audry.
"Kalau bukan Sheila siapa lagi? Dia marah karena ibu menghukumnya. Ibu hanya menyuruhnya membersihkan dapur. Dan tidak ada yang masuk ke dapur selain dia."
"Apa? Ibu menyuruh istriku membersihkan dapur?" Marchel sudah mengepalkan tangannya. "Di rumah ini banyak pelayan, Bu! Kalau masih kurang akan aku tambah. Lalu kenapa Ibu malah menyuruh Sheila yang melakukan semua itu? Ibu lupa Sheila masih belum sepenuhnya pulih dari sakitnya? Apa Ibu sengaja mau menyiksa Sheila?"
Ibu kembali seperti terjebak oleh ucapannya sendiri. Wanita paruh baya itu tidak pernah menyangka jika anak yang selama ini begitu patuh padanya bisa membentaknya, hanya untuk membela seorang gadis seperti Sheila. Sedangkan Audry sudah tidak dapat berkata-kata. Nyalinya menciut hanya dengan menatap wajah Marchel yang sedang dikuasai emosi.
"Kenapa kau malah membela gadis itu? Kau tidak pernah berkata keras seperti ini pada ibu sebelumnya. Sekarang kau pilih ibu atau dia?" teriak ibu menggelegar.
Marchel memejamkan matanya, kemudian menghela napas panjang. Berharap masih bisa bersabar dengan perlakuan ibu pada Sheila.
"Bu, Sheila adalah istriku!" Marchel menaikkan suaranya. "Jangan memintaku untuk memilih antara ibu atau istriku! Aku tahu bahwa seharusnya bagi seorang anak laki-laki nilai ibunya berada di atas istri. Tapi kalau ibu memintaku memilih, maka aku akan memilih istriku!"
Ibu terdiam, sangat jelas di wajahnya raut kemarahan mendengar ucapan anak semata wayangnya itu. Ia beberapa kali mencoba meredam emosinya.
"Aku yang berhak sepenuhnya atas diri Sheila, Bu! Aku suaminya! Sebelum memberinya hukuman seperti ini, seharusnya ibu tanyakan padaku dulu."
"Marchel, ibu hanya..."
"Jangan membela diri, Bu! Cukup! Sekarang berikan kunci gudang padaku!" Marchel menengadahkan tangannya di hadapan ibu dengan tatapan yang masih menggeram. Dengan terpaksa, ibu memberi kode pada Audry agar mengambilkan kunci gudang yang disimpannya di atas meja rias.
Marchel merebut kunci dari tangan Audry dengan kasar, "Dan kau Audry, aku mengizinkanmu tinggal di rumahku hanya karena ibuku. Tapi kalau kau tidak bisa menjaga sikapmu pada istriku, lebih baik kau keluar dari rumah ini sekarang juga!"
Setelah mengucapkan itu, Marchel bergegas menuju gudang, sedangkan ibu dan Audry mengekor di belakangnya dengan raut wajah cemas. Cemas, karena takut Marchel akan kembali murka.
Marchel kemudian membuka pintu gudang dengan kunci itu. Saat memasuki ruangan yang penuh barang bekas itu, dia mengibaskan tangan di depan wajahnya karena gudang itu terasa sesak dan penuh debu. Marchel mengedarkan pandangannya pada setiap sudut ruangan itu, sambil menajamkan penglihatannya akibat gudang yang sangat gelap. Lalu, sesaat kemudian, matanya menangkap tubuh Sheila yang terbaring di lantai.
Seketika sendi-sendinya terasa lemas melihat Sheila terbaring di sana.
"Sheila..." Marchel segera mendekat dan meraih tubuh Sheila. Dia menepuk wajah Sheila beberapa kali, namun Sheila tak bergeming sedikit pun. "Maafkan aku, Sheila... Ini salahku," ucap Marchel seraya memeluk tubuh lemah itu.
Dengan cepat, Marchel menggendong tubuh Sheila keluar dari ruangan itu. Di luar sana, Audry dan ibu hanya saling tatap tanpa berani mengeluarkan suara. Sesekali mereka melirik Bibi Yum dengan tatapan mengintimidasi. Tatapan yang sangat geram pada sang asisten rumah tangga yang sudah mengadukan perbuatan mereka pada Marchel.
"Jangan coba-coba melakukan ini pada istriku lagi!" Marchel menatap tajam pada ibu dan Audry. "Bibi Yum, tolong ikut aku," ucap Marchel, kemudian membawa Sheila menuju kamarnya yang berada di lantai atas.
Sementara itu, Audry sudah terlihat ketakutan, sedangkan ibu masih terlihat kesal karena Marchel terus membentaknya. Mereka kemudian ikut naik ke lantai atas, hendak memastikan keadaan. Namun, ibu dan Audry kembali terkejut, karena Marchel membawa Sheila ke kamarnya, bukan ke kamar Sheila.
Marchel membaringkan Sheila di tempat tidur, lalu mengambil stetoskop dan tensimeter untuk memeriksa keadaan Sheila. Marchel yang terlihat khawatir terus berusaha menyadarkan Sheila dari pingsannya. Sementara Bibi Yum berdiri di belakang sana dengan raut wajah yang sama khawatirnya.
"Bibi, tolong gantikan pakaian Sheila. Aku akan ke bawah mengambil minyak angin," pintanya pada sang asisten
Di depan kamar Marchel, ibu dan Audry saling berbisik, "Ibu, kenapa Marchel membawa Sheila ke kamarnya, kamar Sheila kan di sana," Audry menunjuk kamar Sheila yang tak jauh dari kamar Marchel.
"Karena mulai malam ini, Sheila akan tidur di kamarku!" Marchel tiba-tiba muncul dari balik pintu, membuat ibu dan Audry terkejut.
"Apa?" Ibu dan Audry membelalakkan matanya.
"Kenapa kalian terkejut? Sheila istriku. Bukankah wajar kalau dia tinggal di kamarku?"
Ibu dan Audry kembali tidak dapat berkata-kata. Sedangkan Marchel meninggalkan dua orang jahat itu menuju lantai bawah dimana kotak obat berada.
"Ayo, Audry kita ke kamar ibu saja," ajak ibu.
"Tapi, Bu... Apa ibu akan membiarkan Marchel dan gadis kampungan itu sekamar?" tanya Audry.
"Kau tenanglah dulu. Ibu akan memikirkan bagaimana cara memisahkan mereka. Marchel tidak akan melakukan apa-apa pada Sheila."
"Bagaimana mungkin, Bu! Marchel itu laki-laki normal."
Ibu menggandeng tangan Audry menuju kamarnya yang ada di lantai bawah. "Marchel masih dalam keadaan emosi. Begitu keadaannya membaik, dia pasti meminta Sheila kembali ke kamarnya sendiri."
***
Setelah mengambil kotak obat, Marchel bergegas kembali ke kamarnya. Bibi Yum telah selesai mengganti pakaian Sheila dengan piyama. Marchel langsung mengoles setetes minyak angin dan mengusap di pelipis sang istri.
"Bibi, tolong minta seseorang membawakan makan malam untuk Sheila kemari. Dia pasti belum makan."
"Baiklah," ucap Bibi Yum, kemudian keluar dari kamar itu.
Tidak lama kemudian, kelopak mata Sheila mulai bergerak, tubuhnya pun menggeliat pelan. Perlahan, Sheila mulai membuka matanya. Marchel pun bernapas lega.
Marchel membelai wajah Sheila yang memucat itu dengan perasaan bersalah. "Mana yang sakit? Kau pingsan di gudang tadi?" ucap Marchel lembut.
"Kak Marchel..."
Marchel meraih tubuh Sheila dan memeluknya. Dia membelai puncak kepala sang istri dengan penuh kasih sayang. "Maafkan aku, Sheila... Semua ini salahku. Seandainya saja sejak awal aku tidak mengabaikanmu, mungkin mereka tidak akan berani melakukan ini padamu."
Sheila tidak dapat berkata-kata. Gadis kecil itu hanya dapat membenamkan wajahnya di dada Marchel.
****