Karie yang ingin menjadi Sikerei kesatria Maya demi mendapatkan kehidupan yang lebih baik semua halangan ia lewati, namun kakaknya selalu menghalangi jalannya dalam Menjadi Sikerei pilihan merelakan atau menggapainya akan memberikan bayaran yang berbeda, jalan mana yang ia pilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Io Ahmad, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Check point
Karie membuka matanya perlahan. Cahaya redup menyambutnya. “Dimana ini?” bisiknya, suaranya serak. Orang-orang dewasa di sekitarnya tampak gelisah, wajah mereka penuh kekhawatiran. Saat Karie mencoba bangkit dari tempat tidur, wajah mereka berubah senang, namun tiba-tiba sebuah tamparan keras mendarat di pipinya.
Seorang wanita paruh baya berdiri di depannya, matanya menyala marah. “Apa yang kamu pikirkan sebelumnya, hah?!” bentaknya. Karie merasakan pipinya berdenyut sakit, kebingungan melingkupi pikirannya.
Wanita itu mendekat, suaranya rendah namun penuh ancaman. “Mencoba menggantung diri di ruanganku? Kamu ingin merusak tempat ini dan membuat semua kehilangan tempat tinggal? Sekali lagi melakukan hal bodoh, kau akan merasakan hal yang lebih sengsara dari kematian, Erhu.” Dengan gerakan cepat, ia memerintahkan bawahannya untuk membawa Karie kembali ke ruangannya.
Dengan rambut berantakan, Karie dituntun oleh seorang wanita yang tampak sangat bertanggung jawab. Wanita itu menggenggam tangannya dengan lembut namun tegas, membawanya menyusuri lorong panjang yang diterangi cahaya lilin. Mereka berhenti di depan sebuah pintu kayu besar yang berderit saat dibuka.
“Siapa yang menyuruhmu melakukan hal itu? Aku tahu kamu gadis baik, Erhu,” tanya wanita itu, suaranya lembut namun penuh perhatian.
“Aku tidak tahu, Bibi… aku sama sekali tidak ingat apa-apa,” jawab Karie dengan suara gemetar.
“Sepertinya kepalamu terbentur atau apalah.” Wanita itu melihat ada memar di kepala Karie. “Jika kamu mengingat sesuatu, beri tahu kami, ya.”
Di dalam kamar, suara bising anak-anak memenuhi udara. Namun saat Karie dan wanita itu memasuki ruangan, matanya menangkap pemandangan kasur-kasur kecil dengan bermacam noda kotor menghiasinya berjajar tak beraturan. Bau apek dan lembab menyeruak, membuat Karie mual. Anak-anak, baik perempuan maupun laki-laki, duduk di atas kasur mereka dengan pakaian lusuh, menatapnya dengan tatapan aneh, penuh rasa ingin tahu dan ketakutan. Dinding-dinding ruangan penuh coretan tak beraturan.
“Jangan coba-coba membuat kekacauan lagi, ingat ini terakhir kalinya aku dapat membantumu. Gunakan ini sebaik mungkin, Erhu.”
Wanita itu menuntun Karie ke salah satu kasur di sudut ruangan. Karie duduk perlahan, merasakan kasurnya yang keras di bawahnya. Meski tempat ini asing baginya, ada sesuatu yang membuat hatinya berdebar kencang, seolah-olah ia telah lama berada di tempat ini. Ia memandang sekeliling, mencoba mengenali wajah-wajah baru di sekitarnya. Perlahan, senyum kecil mulai muncul di wajahnya, meski ia tidak tahu harus berbuat apa.
Saat yang lain kembali dengan urusan mereka sendiri atau tidur kembali, seorang anak laki-laki dan perempuan menghampiri Karie. Lagi-lagi, orang-orang memanggil dirinya Erhu.
“Kau masih hidup, Erhu?” tanya anak lelaki itu sambil mencolek pipi Karie, memastikan yang dihadapannya bukan hantu.
Karie mengerjap, kebingungan. “Iya…? Kenapa semua orang memanggilku Erhu, seperti kalian semua salah orang, dan bagaimana cara keluar dari sini?”
Anak lelaki itu menghela napas, menyodorkan sebuah cermin. “Lah? Itu kan nama mu, lihat ini. Kamu tidak ingat nama mu sendiri?” Dia menepuk dahinya, “Kenapa aku selalu dikelilingi oleh orang rusak.”
Karie menatap bayangan di cermin, wajah yang asing namun akrab. Rambut abu keperakan terurai di bahunya, mata yang penuh teka-teki memantulkan cahaya samar. Denyut di kepalanya semakin kuat, seolah ada bagian dari dirinya yang hilang, terjebak di balik kabut ingatan.
Sintra, seorang anak laki-laki dengan tinggi sedang dan rambut hitam, melangkah mendekat. “Aku Sintra, dan ini Aileen,” katanya, memperkenalkan teman wanitanya yang berkulit coklat dan berambut putih. Sintra mengangkat Aileen dengan lembut, seolah melindungi sesuatu yang rapuh.
Aileen tersenyum lemah, matanya berkabut. “Syukurlah kamu baik-baik saja. Jika ada masalah, ceritakan pada kami. Kami akan mendengarkan dan mungkin dapat membantu,” ucapnya dengan suara lembut yang menenangkan.
“Sudahlah Aileen, biarkan ia istirahat. Kita bicara lagi besok dengannya. Selamat malam, Erhu,” kata Sintra sambil menarik Aileen pergi.
Karie duduk di kasurnya, memandangi cermin di tangannya. Wajah yang ia lihat di sana adalah wajah baru, namun ada sesuatu yang familiar. Ia tahu bahwa perjalanan ini baru saja dimulai, dan ia harus menemukan jawaban atas semua pertanyaan yang membanjiri pikirannya.
Namun, saat ia melihat sekali lagi refleksi dirinya sendiri di cermin, bayangan dirinya malah tiba-tiba berbicara dengannya. “Apakah tubuh ini cocok untukmu?”
Karie terkejut dan melempar cermin itu, membuat semua mata tertuju padanya. “Eh, maaf,” katanya sambil mengambil kembali cermin itu dan menghampiri Sintra hampir terlelap dalam tidur. “Sintra, toilet ada di mana, ya?” Sintra menunjukkan jalannya dengan tatapan bingung, tetapi tidak ia tidak terlalu memikirkan nya.
Di dalam toilet, Karie ingin memastikan lagi apakah cermin tadi benar-benar berbicara dengannya. “Apa cuma perasaanku saja,” gumamnya, mencoba menenangkan diri. Ia menunggu beberapa saat, dan ternyata refleksi dirinya di cermin kembali berbicara dengannya. Namun kali ini, reaksinya tidak terkejut, malah penasaran yang ada di benaknya. “Siapa di sana?” tanyanya, menjauhkan cermin itu dari wajahnya.
“Ini aku yang menghidupkanmu kembali, jangan takut,” jawab bayangan itu dengan suara yang lembut namun tegas.
“Kau Elinalis yang menemuiku? Tubuh ini, apakah aku mencurinya? Apakah aku membunuh seseorang?” Karie bertanya dengan suara bergetar, penuh kekhawatiran.
“Tidak usah terlalu dipikirkan. Ini diluar kemampuanmu. Yang harus kamu pikirkan adalah bagaimana kamu bisa cepat keluar dari sini, untuk saat ini,” lanjut bayangan itu, memberikan peringatan yang mendesak.
Beberapa saat mereka merenung dalam diam. Karie menggigit bibirnya, matanya melirik ke arah pintu. “Apa aku kabur saja dari sini, bagaimana menurutmu?” pikirnya, menyadari bahwa di sini pengawasannya tidak terlalu ketat, hanya ada penjaga penampungan di gerbang depan.
Bayangan di cermin menatapnya dengan serius. “Tapi jika kamu melarikan diri, kamu tidak punya badge atau tanda pengenal bahwa kamu bukan pengungsi ilegal atau budak tak bertuan. Badge itu dipegang oleh pengurus penampungan,” jawabnya dengan nada tegas.
Karie mengerutkan kening, lalu mengangguk pelan. “Kalau begitu kita ambil saja badge-nya terus lari dari sini. Pasti disembunyikan tidak jauh dari sini,” usulnya dengan mata berbinar dan tekad.
Bayangan itu menghela napas panjang. “Itu juga ide buruk. Mereka bisa saja melaporkan itu, dan kamu malah akan berakhir jadi buronan,” katanya, mengingatkan Karie akan risiko yang lebih besar. “Mengingat beberapa kejadian sebelumnya, Elinalis tertarik pada satu cara. Ide dari Sintra untuk membayar seseorang agar mengadopsimu terdengar lebih baik. Ya, walaupun akan memakan waktu lebih lama, tapi itu lebih realistis untuk saat ini. Lagi pula, kamu punya pekerjaan? Tabung saja uangmu itu untuk itu.”
“Pekerjaan, apa pekerjaanku?” tanya Karie, kebingungan mulai merayapi wajahnya. Sebelum Elinalis sempat menjawab, terdengar ketukan di pintu toilet. Karie tersentak, menyadari bahwa ia sudah terlalu lama di dalam.
“Erhu, apa masih lama? Kalau masih lama, aku duluan kembali ke kamar,” kata Sintra dari luar pintu.
“Kamu akan tahu besok,” jawab Elinalis dengan nada misterius, sebelum menghilang dari cermin.
Karie menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Ia membuka pintu toilet dan melihat Sintra berdiri di sana, menatapnya dengan cemas. “Maaf, aku terlalu lama,” katanya sambil tersenyum canggung, mereka kembali ke kamar mereka untuk tidur.
Dalam keheningan malam, mereka terlelap dalam mimpi. Walaupun mimpi terkesan hanya sekilas, proses tersebut terjadi dalam beberapa fase yang lama. Seorang sister membunyikan lonceng, membangunkan mereka semua untuk bersiap-siap dengan tugas masing-masing. Dalam pandangan yang masih samar-samar, rasanya Karie baru tidur beberapa jam dan kini harus dipaksa bangun.
“Ada apa ini?” tanya Karie dengan suara serak, matanya masih setengah tertutup. Ia melihat Sintra yang sedang merapikan tempat tidur.
“Untuk bekerja, membayar tempat tidur, makan, dan minum di sini. Kamu ikut bersama kami, kita satu kelompok,” jawab Sintra sambil memalingkan tatapan ke arah Aileen yang masih tertidur. “Erhu, bisa bangunkan Aileen sebelum kita terlambat?”
Karie menghela napas panjang, lalu menggoyang-goyangkan bahu Aileen. “Kak Aileen, ayo bangun. Sintra sudah menunggu,” katanya dengan nada memohon. Aileen hanya bergeming, seperti guling yang melekat erat.
Sintra mendekat dan membisikkan sesuatu di telinga Aileen. “Aileen, sebelum kamu bilang ingin menjadi kakak yang baik untuk Erhu jika bertemu sekali lagi, apa itu cuma omong kosong!?” bisiknya.
Aileen membuka matanya seketika, lalu bangkit dengan cepat. “Tentu aku serius. Ayo, Erhu, rapikan semua ini,” katanya sambil merapikan selimutnya. Karie yang kebingungan hanya mengangguk saja.
“Ini handuk, apa kamu mau mandi, Erhu?” tanya Aileen sambil meraba-raba barang-barang yang dibawa temannya.
“Kak Aileen tidak ikut mandi bersama?” tanya Karie, masih setengah mengantuk.
“Tidak usah mandi, Erhu, karena kita akan pergi ke tambang Tjimala mencari kristal Mana. Kalau mandi lebih baik saat pulang dari sana, percuma kotor lagi,” jawab Aileen sambil tersenyum tipis.
Di luar, jauh dari orang-orang, terdengar suara Sintra yang penuh emosi. “Eh, kenapa aku tidak lagi jadi bagian dari kalian? Aku hanya gagal sekali! Lain kali aku akan lakukan dengan benar,” katanya, suaranya bergetar saat berbicara dengan seseorang yang tampak seperti ketua geng.
“Ya, kau memang hanya membuat satu kesalahan, tapi itu hampir saja membuat kita semua dalam bahaya. Ini terakhir kalinya kami berbicara denganmu,” jawab ketua geng itu dengan nada dingin. “Jika ia ingat sesuatu tentang peristiwa itu, jangan kaget saat kami menyingkirkanmu juga bersamanya. Sudahlah, sepertinya ia mencari kamu,” lanjutnya sambil melirik ke arah Erhu yang sedang memanggil-manggil Sintra.