Niat hati mengejar nilai A, Nadine Halwatunissa nekat mendatangi kediaman dosennya. Sama sekali tidak dia duga jika malam itu akan menjadi awal dari segala malapetaka dalam hidupnya.
Cita-cita yang telah dia tata dan janjikan pada orang tuanya terancam patah. Alih-alih mendapatkan nilai A, Nadin harus menjadi menjadi istri rahasia dosen killer yang telah merenggut kesuciannya secara paksa, Zain Abraham.
......
"Hamil atau tidak hamil, kamu tetap tanggung jawabku, Nadin." - Zain Abraham
----
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 32 - Satu Sama
"Sakit?"
Enteng sekali dia bicara, padahal kini sang istri sampai keluar air mata dan mengusap pipinya, jelas saja sakit. Bukan hanya diusap dengan tangan, tapi justru batu es. Entah hanya gemas atau melancarkan misi balas dendam hingga sampai hati menggigit sang istri.
Sebenarnya tidak sadar juga, Zain tidak menduga jika gigitannya akan sekuat itu. Nadin yang kesal sama sekali tidak berniat membalas, dia memilih diam seraya menatap pantulan wajahnya di cermin.
"Nad," panggil Zain setelah cukup lama menunggu dan belum direspon juga, agaknya sang istri memang tidak bercanda dan dia sangat marah.
"Sayang ayolah ...." Dua kali, sengaja Nadin diamkan demi memberinya pelajaran.
Tidak mengapa, kapan lagi dia balas dendam? Dulu saja sewaktu Nadin meminta keringanan lantaran telat 27 detik Zain memilih pura-pura tuli walau dirinya sudah memohon. Kini, dengan beralasan marah usai digigit, mendadak Nadin ingin memberikan pelajaran pada pria yang dulu dia kenal tak berperasaan ini.
Hal itu jelas saja berhasil, Zain sampai gusar lantaran Nadin memilih diam. Diminta membalas dia enggan, marah juga tidak. Hanya diam dan fokus meredakan rasa nyeri akibat gigitan sang suami.
Sejak dulu siapapun tahu, Zain adalah pria tegas dengan kesabaran paling tipis. Jika keinginannya tidak segera dia dapatkan, mana mungkin bisa tenang. Saat ini, dia butuh sang istri bersedia untuk bicara dan tidak mengabaikannya.
Zain yang kesal lantaran diabaikan sontak melempar batu es yang berbalut kain tipis itu ke sembarang arah. Cepat sekali dia bergerak, tentu saja hal itu dia lakukan tanpa izin hingga Nadin memutar bola matanya malas.
"Kenapa?"
"Harusnya aku yang bertanya ... sebelum aku, kamu yang lebih dulu main gigit dan rasanya lebih sakit, lihat bekasnya masih ada bahkan sampai biru!!" selorohnya sampai terhenti sebentar lantaran hendak kembali mengambil napas. "Dan, apa aku pernah marah? Punggungku sampai berdarah apa ada aku cuek? Tidak kan?"
Iya juga, Nadin seketika mengatupkan bibir. Sebenarnya dia diam bukan semata-mata lantaran marah digigit. Melainkan ada alasan lain yang jika Nadin sebutkan besar kemungkinan justru akan semakin menjadi masalah.
Cukup lama Zain menatapnya, memasang wajah datar yang tidak bisa Nadin simpulkan sebenarnya sedang marah atau hanya bercanda. Namun, yang jelas Nadin ciut karena merasa Zain seolah tengah mengulitinya.
Tak ingin Zain marah sungguhan akibat dia yang coba-coba balas dendam, Nadin segera beranjak dan memerintahkan Zain berganti pakaian. Saat ini sang suami memang masih menggenakan celana jeans lengkap dengan kaos hitam dan juga jaketnya, pakaian buru-buru karena minim persiapan.
.
.
"Sebentar, jangan mengalihkan pembicaraan," ucap Zain menahan pergelangan tangan sang istri.
Nadin terlalu lancang bermain-main, dia lupa siapa suaminya. Mengandalkan kedekatan dan sikap Zain yang selalu mengalah beberapa hari terakhir ternyata membuatnya terjebak dalam permainan sendiri.
"Bukannya begitu, Mas, tapi kan memang sudah hampir tengah malam ... buruan ganti baju, kita sama-sama ngantuk."
"Minta maaf dulu."
"Hah?" Nadin mengerutkan dahi, jelas-jelas pria itu yang bersalah, tapi dia justru menuntut Nadin untuk meminta maaf segera.
Walau begitu, Zain tetap keras kepala dan enggan melepaskan Nadin sebelum kata maaf usai mengabaikannya itu terucap dari bibir mungil sang istri. "Minta maaf, apa ucapanku kurang jelas?" tanya Zain seraya menunduk demi menyesuaikan tinggi sang istri.
"Kenapa harus?"
"Haruslah, barusan kamu mengabaikanku seolah patung dan aku tidak suka," jawab Zain dengan entengnya membuat Nadin berada di posisi salah.
Sebagai seseorang yang merasa dirinya tidak salah, mana mau Nadin mengikuti kemauan sang suami dengan segera. "Aku tidak mau, mas yang salah kenapa aku yang harus minta maaf?"
"Ah kamu tidak merasa salah? Aku sudah meminta maaf, tapi kamu yang cueknya luar biasa ... kalau begitu, bagaimana jika kita minta pendapat umi saja?"
Menyebalkan sekali, Nadin mengepalkan tangan begitu mendengar pembelaan diri Zain. Saat ini, sang suami memang mendapatkan dukungan penuh dari Umi Fatimah. Sebelum pulang juga Nadin sudah dinasihati untuk patuh dan jangan sampai membuat suaminya marah.
Andai saja Zain benar-benar menyampaikan hal ini pada Umi Fatimah, besar kemungkinan dia yang akan dianggap salah. "Iya-iya maaf," tutur Nadin pada akhirnya.
Dia tidak ingin masalah kian panjang, oleh karena itu rasanya lebih baik mengalah. "Yang ikhlas," celetuk Zain lantaran merasa kurang puas dengan cara minta maaf yang sang istri lakukan.
Tanpa bertanya bentuk meminta maaf yang ikhlas bagaimana, Nadin mengecup punggung tangan Zain seraya berucap lembut. "Maaf ya, Mas, aku keterlaluan." Begitu lembut Nadin berucap, saat ini tidak ada yang bisa dia lakukan selain menurut saja.
Cara itu cukup berhasil, Zain sampai menggigit bibir demi menahan tawa. Sejak tadi memang tidak marah, hanya saja dia kehilangan akal untuk membujuk sang istri hingga memakai jurus terakhir dalam menaklukan wanita, yaitu balik marah.
"Hm, dimaafkan," jawabnya tetap berpura-pura cuek karena sudah telanjur akting marahnya sungguhan.
Usai mendapatkan maaf dari sang suami, Nadin tetap tidak lupa akan perintah awalnya. Tidak lain dan tidak bukan ialah perintah untuk ganti baju karena memang malam sudah larut dan sudah waktunya untuk tidur.
Jika sebelumnya Zain membantah, kali ini dia menurut. Detik itu Nadin meminta dia ganti baju, detik itu pula Zain melepas jaket dan bajunya. Awalnya tidak ada yang mencurigakan, hingga ketika Nadin baru saja kembali usai mengambilkan piyama untuknya, wanita itu seketika memalingkan muka lantaran Zian menanggalkan celana dan menyisakan boxer hitam polos yang melekat di tubuhnya.
Dibilang boxer, tapi terlalu pendek hingga Nadin malu sendiri melihatnya. Terlebih lagi, pria itu bertelanjang dada hingga memperlihatkan dengan jelas otot-otot di tubuh kekarnya.
Kendati demikian, Nadin tetap berusaha untuk tidak berteriak karena khawatir tetangga kembali mengetuk pintunya. Wanita itu menyerahkan piyama yang telah dia siapkan untuk sang suami segera.
"Tidak mau, aku maunya begini saja?"
Bukan hanya bicara, Zain dengan santainya menghempaskan tubuh ke atas tempat tidur dengan penampilan seperti itu. Nadin yang masih berdiri di hadapannya berdegub tak karu-karuan karena ini kali pertama Zain tidur dengan pakaian terbuka semacam itu.
"Leganya ... sini," ajak Zain usai menemukan posisi nyaman di atas tempat tidur Nadin yang lebih kecil dibandingkan ranjang di rumah utama, bahkan ranjang kost-an sekalipun.
Namun, hendak bagaimana lagi, toh memang adanya ini. Nadin yang juga ngantuk tak punya waktu untuk banyak berpikir dan segera berbaring di sisi Zain.
Tempat tidurnya sangat sempit, terlebih lagi Zain yang sengaja mengambil posisi lebih besar membuat Nadin hanya kebagian sedikit. "Mas," panggil Nadin menatap sang suami yang juga tengah melihat ke arahnya.
"Hm, kenapa?"
"Geseran dong," pinta Nadin setelah mengumpulkan keberanian sejak tadi.
"Geser? Okay." Patuh sekali, tapi sayang patuh ya patuh saja, tanpa peduli bagaimana maunya Nadin. Diminta bergeser agar sedikit jauh, Zain justru mendekat hingga Nadin hanya bisa menghela napas panjang. "Bukan begini maksudnya, Mas."
"Oh." Tanpa diduga-duga Zain justru menarik pinggang Nadin hingga keduanya tak lagi berjarak, dengan posisi ini degub jantung Nadin bahkan mungkin bisa terdengar oleh sang suami. "Begini?" tanya Zain tersenyum tipis dengan mata yang tak melepaskan Nadin walau sedetik saja.
.
.
- To Be Continued -
"kian menjadi (mereda/reda) sembari"