Diceritakan seorang pemulung bernama Jengkok bersama istrinya bernama Slumbat, dan anak mereka yang masih kecil bernama Gobed. Keluarga itu sudah bertahun-tahun hidup miskin dan menderita, mereka ingin hidup bahagia dengan memiliki uang banyak dan menjadi orang kaya serta seolah-olah dunia ini ingin mereka miliki, dengan apapun caranya yang penting bisa mereka wujudkan.
Yuk simak ceritanya..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keceriaan Si Pengepul Dan Gobed
Setelah pengalaman aneh dan lucu dengan pocongan yang berjoget, Jengkok dan Slumbat kembali ke rumah dengan keranjang penuh botol bekas. Meski napas mereka masih tersengal-sengal akibat lari ketakutan, wajah mereka kini berseri-seri karena keranjang yang mereka bawa sangat penuh.
“Nah, Bu, ini pasti dapet banyak. Hasil kali ini bisa buat makan enak,” ujar Jengkok sambil tersenyum lebar, meskipun keringat masih bercucuran di dahinya.
Slumbat mengangguk setuju, wajahnya juga memancarkan harapan. “Iya, Pak. Mungkin bisa buat beli ayam goreng di warung Mbok Nah.”
Tanpa membuang waktu, mereka berdua langsung menuju ke gudang pengepul di desa sebelah. Jengkok mendorong gerobak yang berat dengan penuh semangat, sementara Slumbat berjalan di sampingnya, tak sabar menanti hasil penjualan botol hari itu. Di perjalanan, mereka sesekali saling pandang dan tertawa kecil saat teringat lagi dengan kejadian pocong yang berjoget.
Setibanya di gudang pengepul, suasana di sana sudah cukup ramai. Beberapa orang pemulung lain juga terlihat antri untuk menjual barang bekas mereka. Jengkok dan Slumbat langsung menuju ke bagian penimbangan, di mana Pak Dul, si pengepul botol, sudah menunggu dengan timbangan besar yang selalu siap.
Pak Dul, seorang pria tua dengan kumis tebal dan kacamata bulat, mengangkat alisnya ketika melihat gerobak penuh botol yang dibawa oleh Jengkok. “Wah, banyak sekali nih botolnya. Kalian nemu di mana? Konser dangdut ya?” tanyanya dengan nada bercanda, sambil mulai menyiapkan timbangan.
Jengkok tersenyum lebar, lalu dengan nada agak berbisik berkata, “Iya, Pak. Kami dapat dari lapangan konser semalam. Tapi Pak Dul... ada yang mau kami ceritain... soal pocong!”
Pak Dul menghentikan sejenak gerakannya, lalu menatap Jengkok dengan mata setengah tak percaya. “Pocong? Kamu serius?”
Slumbat mengangguk heboh. “Iya, Pak Dul! Beneran pocong! Tadi pagi, pas kami lagi kumpulin botol-botol, pocong itu muncul, terus joget!”
Pak Dul tertawa kecil. “Hah? Pocong joget? Udah lama aku jadi pengepul, baru kali ini denger cerita pocong suka dangdut!”
Jengkok menambahkan, “Bener, Pak Dul. Dia jogetnya aneh, lompat-lompat gitu sambil ngejar kami. Tadinya takut banget, tapi lama-lama kok malah lucu. Jogetnya kaya penonton dangdut yang mabuk.”
Pak Dul kini tertawa lebih keras, bahkan sampai menggoyang-goyangkan perutnya. “Hahaha! Pocong joget! Mungkin itu pocong mantan penari dangdut, kali!”
Slumbat juga ikut tertawa, membayangkan kembali pocong itu berjoget seperti penonton konser yang kelelahan. “Kami sampai lari, Pak Dul. Tapi ya untungnya, sebelum kami kehabisan napas, pocongnya malah terbang ke atas pohon terus hilang!”
Pak Dul tertawa sampai harus mengusap matanya yang mulai berair. “Wah, ini cerita paling lucu yang pernah aku denger. Coba bayangin, kalau pocong beneran ajak kalian joget bareng!”
Jengkok, dengan wajah serius namun jenaka, menjawab, “Pak Dul, kalo itu beneran terjadi, saya udah siap ajak pocongnya duet di panggung dangdut. Mungkin abis itu, kita jadi terkenal, Pak!”
Semua orang di sekitar yang mendengar cerita itu ikut tertawa terbahak-bahak. Salah satu pemulung yang sedang menunggu giliran untuk menimbang botolnya bahkan sampai terjatuh dari bangku karena terlalu keras tertawa.
“Kalian ini memang bikin hari jadi cerah!” seru Pak Dul sambil kembali menyiapkan timbangan. “Oke, sekarang mari kita timbang botol-botol kalian. Jangan-jangan botolnya ini juga bekas pocong joget?”
Slumbat tertawa geli, “Bukan, Pak Dul. Ini murni hasil dari penonton yang beneran, bukan pocong!”
Dengan cekatan, Pak Dul mulai menimbang botol-botol yang telah dikumpulkan Jengkok dan Slumbat. Setiap kali botol dimasukkan ke timbangan, wajah Jengkok dan Slumbat semakin berbinar-binar, berharap jumlahnya akan cukup untuk membeli makanan enak hari itu. Setelah semua botol ditimbang, Pak Dul mencatat jumlahnya dan tersenyum puas.
“Hari ini hasil kalian bagus. Dapet 60 ribu!” kata Pak Dul dengan nada gembira.
Jengkok dan Slumbat melompat kegirangan. “Alhamdulillah! Ini bisa buat beli lauk buat beberapa hari, Pak!” seru Jengkok sambil menggenggam uang yang diberikan Pak Dul.
Slumbat, dengan nada bercanda, berkata, “Mungkin ini juga karena si pocong bawa hoki, Pak Dul. Walaupun dia joget aneh, tapi sepertinya dia baik.”
Pak Dul tertawa lagi, sambil mengangkat tangannya seolah sedang berjoget. “Kalau ketemu lagi, suruh dia joget di sini biar kita semua dapet hoki! Hahaha!”
Dengan perasaan puas dan tawa yang masih tersisa di wajah mereka, Jengkok dan Slumbat berpamitan pada Pak Dul. Di sepanjang perjalanan pulang, mereka terus tertawa dan bercanda soal pocong yang joget di bawah pohon. Walaupun kehidupan mereka masih serba kekurangan, mereka belajar bahwa tawa adalah obat terbaik untuk semua masalah—bahkan dari hal-hal yang tampaknya menakutkan, bisa jadi bahan lelucon yang membawa kebahagiaan.
Pagi itu, setelah mendapatkan uang enam puluh ribu dari penjualan barang bekas, Jengkok dan Slumbat dengan penuh semangat mendorong gerobak berat mereka menuju warung nasi Padang. Mereka berbincang penuh harapan tentang sarapan istimewa yang akan mereka bawa pulang.
“Bu, ayo cepat! Aku sudah tidak sabar makan nasi Padang,” kata Jengkok dengan penuh semangat.
Slumbat tersenyum. “Iya, Pak. Aku juga lapar. Semoga Gobed senang dengan kejutan ini.”
Sesampainya di warung, mereka memesan tiga porsi nasi Padang dengan lauk rendang sapi dan sambal hijau. Selama menunggu pesanan, mereka berdiri di dekat meja kasir, sambil membicarakan rencana mereka.
“Pak, setelah pesanan ini, kita harus pulang cepat-cepat sebelum Gobed berangkat sekolah,” kata Slumbat.
Jengkok mengangguk. “Iya, Bu. Nanti kita bisa ceritakan ke Gobed kalau sarapan kita kali ini spesial, dan sedikit bercanda tentang pocongan semalam.”
Pesanan mereka akhirnya siap dan dibungkus dalam beberapa kantong plastik. Mereka dengan hati-hati membawa kantong makanan tersebut sambil mendorong gerobak pulang. Jengkok dan Slumbat berbincang ringan selama perjalanan.
“Bu, bayangkan wajah Gobed nanti saat dia lihat sarapan ini. Pasti senang banget,” kata Jengkok.
Slumbat tertawa. “Iya, Pak. Dan kita bisa sambil cerita tentang pocongan yang datang pagi-pagi untuk ‘berburu’ makanan.”
Sesampainya di rumah, mereka segera masuk dan meletakkan makanan di meja makan. Gobed, yang sudah menunggu, langsung berlari mendekat dengan mata berbinar.
“Pak, Bu, itu apa?” tanya Gobed penuh semangat.
Slumbat membuka bungkus makanan dan menghidangkannya. “Ini sarapan spesial untuk kita. Nasi Padang dengan rendang sapi!”
Gobed ternganga melihat makanan yang menggiurkan di depannya. “Wow, ini luar biasa! Terima kasih, Pak, Bu!”
Mereka semua duduk di meja makan dan mulai menyantap makanan. Sambil makan, Slumbat memulai percakapan dengan ceria. “Gobed, kita punya cerita lucu tentang pocongan dari pagi ini. Ada yang datang ke rumah kita lagi.”
Jengkok menambahkan sambil tertawa. “Tadi pagi, aku berpikir, kalau pocongan itu butuh sarapan juga. Bayangkan kalau dia datang ke warung ini dan minta rendang sapi!”
Gobed tertawa terbahak-bahak. “Hahaha, jadi pocongan itu pengen sarapan juga ya? Pasti lucu banget!”
Slumbat berpura-pura serius. “Mungkin pocongan itu lebih suka sambal hijau. Kalau dia merasa pedas, mungkin dia akan langsung menghilang!”
Mereka semua tertawa bersama. Suasana di meja makan terasa penuh kebahagiaan dan kehangatan. Dengan sarapan yang lezat dan tawa yang menyenangkan, mereka merasa lebih dekat dan lebih bahagia sebagai keluarga.
Setelah sarapan, mereka melanjutkan hari dengan semangat baru. Meskipun hidup mereka penuh tantangan, momen-momen sederhana seperti ini memberikan kebahagiaan dan kekuatan bagi mereka. Dengan cinta dan tawa, mereka siap menghadapi hari-hari berikutnya dengan penuh harapan.