Niat hati memberikan kejutan kepada sang kembaran atas kepulangannya ke Jakarta, Aqilla justru dibuat sangat terkejut dengan fakta menghilangnya sang kembaran.
“Jalang kecentilan ini masih hidup? Memangnya kamu punya berapa nyawa?” ucap seorang perempuan muda yang dipanggil Liara, dan tak segan meludahi wajah cantik Aqilla yang ia cengkeram rahangnya. Ucapan yang sukses membuat perempuan sebaya bersamanya, tertawa.
Selanjutnya, yang terjadi ialah perudungan. Aqilla yang dikira sebagai Asyilla kembarannya, diperlakukan layaknya binatang oleh mereka. Namun karena fakta tersebut pula, Aqilla akan membalaskan dendam kembarannya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bukan Emak-Emak Biasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9. Rencana yang Makin Tersusun
“Oskar, ... kamu punya nomor Stevan, kan?” seru Aqilla tiba-tiba ingat harus menghubungi Stevan karena pemuda itu akan menjadi bagian dari balas dendamnya.
“Nomor apa?” balas Oskar langsung sewot. Ia menoleh ke sumber suara Aqilla terdengar dan itu pundak kanannya.
“Ya nomor hape. Masa nomor k a n g c ut!” balas Aqilla yang memang emosi dan langsung ditertawakan Oskar.
“Enggak, ... aku enggak punya!” Oskar tetap ngotot.
“Sumpah?!” balas Aqilla.
“Ih, ... jangan sumpah-sumpah lah. Enggak boleh sama mama Lisa. Pamali, takut!”
“Ya makanya, kamu pasti lagi bohong kan ke aku ....”
Ketika Oskar sudah berhasil membawa Aqilla pulang ke rumah di tengah suasana yang mulai petang. Di depan rumah orang tua Rumi, Sasy datang.
“R—Ruminya ada, Pak?” tanya Sasy ragu dan memang takut. Karena biar bagaimanapun, kini ia hanya ke sana sendiri.
Selain apa yang telah ia dan kelompoknya lakukan kepada Asyilla. Kenyataannya yang bukan berasal dari keluarga kaya, juga akan membuatnya selalu merasa minder di setiap berurusan dengan keluarga berada. Terlebih tak beda dengan keluarga Liara, keluarga Rumi juga bagian dari p o l i t i k u s.
“Mbak Sasy ... Non Rumi pergi sama mamanya. Sepertinya mau pindahan!” ucap satpam yang berjaga dan tetap membiarkan Sasy menunggu di luar.
“Pindahan? Apakah ini masih berkaitan dengan unggahan Rumi di s o s m e d? Apakah juga masih berkaitan dengan kematian Chilla?” pikir Sasy yang juga jadi ingat. Kemarin, ada sosok yang sangat mirip Asyilla, dan sosok tersebut sangat sehat. Sosok tersebut tak terlihat terluka sedikit pun, selain luka baru yang ia dan Liara beserta kedua teman mereka lakukan.
“Gara-gara kemarin Liara ketemu Stevan, dia jadi lupa buat ngusut Asyilla!” pikir Sasy.
Awalnya Sasy akan pamit, tetapi pak Pendi yang ada di teras depan rumah memanggilnya.
“Sasy, kan? Sini ... sini!” ucap pak Pendi bersemangat.
Seperti biasa, pak Pendi kembali tampil rapi sekaligus gagah. Walau sudah berumur, cara penampilannya yang selalu rapi, serta kenyataannya yang selalu menjaga penampilan, membuatnya terlihat awet muda. Jujur, di mata Sasy, pak Pendi itu sangat tampan. Pak Pendi ibarat pria idaman Sasy. Stevan yang terkenal menjadi murid paling populer sekaligus tampan di sekolah saja tidak ada apa-apanya ketimbang pak Pendi. Hingga karena kenyataan tersebut pula, senyum yang sempat menghiasi wajah cantik Sasy, menepi. Sasy ingat apa yang sudah ia lakukan kepada Asyilla, dan takutnya sudah sampai diketahui pak Pendi.
“Wah ... akhirnya kamu ke sini. Asyilla ikut enggak?” Pak Pendi segera meminta satpamnya membukakan pintu untuk Sasy. Ia sampai memaksa lantaran satpamnya telat melakukannya.
Sang satpam yang sampai dipelototi oleh sang majikan dan selama ini terkenal sangat ramah, langsung panas dingin ketakutan.
“Lagian ngapain boyong anak gadis masuk ke rumah, kalau yang dituju dan itu non Rumi saja, enggak ada?” pikir sang satpam sambil melepas kepergian Sasy yang diboyong masuk oleh pak Pendi. Pak Pendi sampai menggandeng Sasy.
“Kok, rasanya si Om Pendi jadi manis, ya?” pikir Sasy. Apalagi selain menggandengnya kemudian mengajaknya duduk bersebelahan di sofa panjang dan itu sambil terus menggenggam tangan kirinya, pak Pendi juga meminta Sasy untuk bergantung kepadanya.
“Kalau kamu butuh apa-apa, bilang ke Om saja. Biaya sekolah, pakaian baru, hape baru, ya?” manis pak Pendi sambil mengelus-ngelus punggung tangan kiri Sasy yang masih ia genggam. Padahal, kedua matanya masih fokus menatap penuh peduli kedua mata Sasy.
“Dipikir-pikir, ketimbang Liara, sepertinya aku bisa lebih banyak mendapatkan keuntungan dari Om Pendi!” pikir Sasy yang mengangguk dan membalas pak Pendi penuh senyuman.
••••
Setevan itu sangat tampan. Kulitnya yang putih kemerahan sementara hidungnya sangat mancung, dan rambutnya yang agak ikal juga berwarna cenderung pirang, membuatnya tampak jelas jika pemuda itu merupakan seorang blasteran.
“Ini sih idaman Chilla banget! Tinggi, agak bule, mancung, putih, bersih, matanya juga agak biru ... eh, ya ampun Oskar. Ya ampun ... ya ampun hahahaha ... kenapa dia mendadak ngenes gitu. Ngapain dia merhatiin kulit? Ngelus wajah terus megangin hidungnya yang tingginya hanya seperempat tinggi hidung Stevan?” batin Aqilla yang jadi sibuk menahan tawa hanya karena ia menoleh dan membuatnya memergoki kegalauan seorang Oskar.
Di atas motornya, Oskar tampak cemburu sekaligus patah hati menjadi satu. Hanya karena pemuda itu mengantarkan Aqilla ke lapangan basket biasa Stevan latihan. Lapangan basket yang langsung membuat Aqilla nyaris jantungan karena Stevan langsung memeluknya.
“Mamaaaaaaaa! Istri masa depanku digondol si Bule!” teriak Oskar yang sampai menangis histeris.
“Ndut, dari kemarin kamu ke mana saja, sih? Nomor kamu enggak bisa dibungi. Aku kangen banget!” ucap Stevan sambil berusaha menatap wajah Aqilla. Ia sampai membingkai wajah Aqilla yang ia kira Chilla. Sebab Aqilla terus mengawasi cowok berkulit hitam manis yang duduk di motor pinggir jalan sana.
“A—sori!” ucap Aqilla merasa tak nyaman jika harus tetap bertahan di pelukan Stevan. Ia bahkan sengaja melepaskan diri dari Stevan, meski Stevan tetap kembali memeluknya.
“Aku enggak bisa lama-lama karena ini sudah sore,” ucap Aqilla masih merasa sangat tidak nyaman.
“Sepuluh menit lagi. Biarkan aku peluk kamu sepuluh menit lagi saja!” mohon Stevan tetap memeluk Aqilla tanpa sedikit pun peduli kepada Oskar yang meraung-raung dan baru saja jatuh daru motor.
Senja kali ini menjadi saksi, betapa berondong meresahkan Oskar sangat tersiksa karena pertemuan Aqilla dan Stevan. Apalagi ketika Oskar mengintip, Stevan tengah menitipkan keringat di lengan maupun telapak tangan pemuda itu, di pipi Aqilla.
“Kok pipimu tirusan, ya? Hah ... masa sembilan hari enggak ketemu, langsung kurus gini? Makan lah Ndut, jangan diet-diet. Apaan sih diet! Jadi enggak lucu tahu!” ucap Stevan benar-benar manja sambil mencubit gemas pipi Aqilla.
“Aduh ... serius. Ini aku jadi merasa enggak enak banget kalau gini caranya,” batin Aqilla yang kemudian mengatakan maksud kedatangannya menemui Stevan.
“Dia gangguin kamu lagi?” serius Stevan hanya karena mendengar nama Liara disebut. Ia diminta Aqilla untuk mengajak Liara berikut teman-temannya ke bendungan mereka membuang Chilla.
Alih-alih menjawab pertanyaan Stevan, Aqilla menghela napas dalam. “Ya! Mereka menggangguku! Makanya, tolong bawa Liara ke sana biar mereka bisa napak tilas.”
“Napak tilas?” ucap Stevan menatap Aqilla sambil mengerutkan alisnya.
Aqilla menahan senyum kemudian mengangguk-angguk. “Kamu bisanya kapan? Sebelum liburan sekolah berakhir, ya? Kamu lagi enggak sibuk, kan?” ucapnya memastikan.
Meski hanya diam dan menatap kedua mata Aqilla penuh keseriusan, Stevan berangsur mengedipkan sendu kedua matanya. “Kamu maunya kapan? WA-in saja.”
“Oh iya ... aku ganti nomor WA. Hapeku yang kemarin ilang, dan aku lupa semua nomor,” sergah Aqilla.
“Termasuk nomorku, ... kamu lupa?” sergah Stevan yang meski berkata lembut, tapi kali ini terdengar sangat kecewa.
Sadar Stevan kecewa kepadanya, Aqilla mengusap-usap pipi kirinya. Ia menutupi bekas cakaran Liara di sana menggunakan alas bedak terbilang tebal.
“Loh ... ini kenapa? Cakaran siapa, dalem banget?” panik Stevan.
“Selain cakaran ini, aku juga jadi melupakan banyak hal setelah Liara dan kurcacinya menghant a m kepalaku hingga fatal. Termasuk nomor, tentangmu, hubungan kita, dan semuanya. Itu juga yang membuatku terkesan menghilang selama sembilan hari terakhir. Dan masih itu juga yang membuatku ingin mengajak Liara dan kurcacinya napak tilas ke bendungan itu,” ucap Aqilla dan selalu dibalas anggukan khawatir oleh Stevan.
(Ramaikan yaaa ❤️❤️❤️❤️)
😏😏😏
iya juga yaa,, kalo sdh singgung k Mbah Kakung,, memoriq tiba2 jadi blank🤭😅
ini angkatan siapa ya... 🤣🤣🤣
kayaknya aq harus bikin silsilah keluarga mereka deh... 🤣🤣🤣
beri saja Liara hukuman yg lebih kejam Mb...
Angkasa ....,, tunggu tanggal mainnya khusus utkmu dari Aqilla
Jangan smpe orang tua nya liara berkelit lagi ...