Petualangan seorang putri dengan kekuatan membuat portal sinar ungu yang berakhir dengan tanggung jawab sebagai pengguna batu bintang bersama kawan-kawan barunya.
Nama dan Tempat adalah fiksi belaka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tenth_Soldier, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berlabuh Di Pulau Waja
Kapal dagang keluarga Masiak, sudah mulai menyisiri laut utara pulau Waja, sang nahkoda yaitu Mangkuto harus berlabuh di pelabuhan Gungca, yang adalah pelabuhan terdekat dengan Kerajaan Jhamapati.
Pelabuhan Gungca merupakan akses perniagaan sebagai tempat berlabuhnya kapal-kapal dagang, baik untuk memuat ataupun membongkar barang-barang dagangan.
Selain itu, pelabuhan Gungca juga berfungsi sebagai tempat istirahat para pedagang. Banyak pengusaha kapal dan pedagang yang tinggal di sekitar pelabuhan.
Di pelabuhan Gungca ayah Bahri Masiak juga mempunyai lapak rempah-rempah yang cukup besar serta gudang penyimpanan rempah-rempah yang biasanya digunakan untuk menyimpan pesanan dari Kerajaan Jhamapati atau kerajaan-kerajaan kecil lainnya di pulau Waja.
Proses pengambilan pesanan biasanya memerlukan waktu agak lama kadang sehari, terkadang bahkan berminggu-minggu.
Kerajaan Jhamapati biasanya memesan rempah-rempah yang tidak banyak didapati tumbuh di pulau Waja.
Setiap kapal dagang yang berlabuh di Gungca diwajibkan melapor pada prajurit pasukan Ghayankbara dan akan ditanya keperluan dan maksud berlabuh di Gungca.
Ayah Jaka Satya adalah punggawa pasukan elit Ghayankbara, nama ayah Jaka Satya adalah Prawira Satya Dirja.
Dia ditugaskan untuk mengawasi dan mengatur ketertiban para pedagang atau perantau dari luar pulau Waja, mereka diwajibkan juga membayar beberapa keping perunggu untuk mendapatkan surat ijin usaha, kunjungan atau menetap di pelabuhan Gungca.
Besarnya uang yang di tetapkan pun tergantung kepentingan atau keperluan mereka berada di pelabuhan Gungca.
Untuk sekedar kunjungan hanya di haruskan membayar setengah keping perunggu, menetap selama tujuh hari tujuh malam wajib membayar dua keping perunggu, dan lima keping perunggu jika punya urusan usaha semacam berdagang barang maupun jasa.
Prajurit pasukan Ghayankbara juga tidak mengenakan baju zirah, karena harus melakukan gerakan yang cepat dan senyap
Pasukan Ghayankbara juga menggunakan telik sandi (mata-mata), infantri, dan pengawalan.
Pasukan Ghayankbara yang dipimpin seorang patih bernama Jagam Daha pernah bertugas menjaga Raja Gajayanare yang tengah dalam persembunyiannya dari pasukan Tiku Ra di Desa Bedendar.
Pada saat pemberontakan tersebut, Tiku Ra mengadakan sayembara bahwa siapa saja yang dapat menunjukan dimana Gajayanare berada akan diberi hadiah satu pundi berisi kepingan emas.
Saat itu, Jagam Daha memberi amanat untuk ditaati dan dijalankan oleh anggota Pasukan Ghayankbara yang dipimpinnya,
Yaitu: satu Pasukan Ghayankbara harus memiliki sikap setia dan patuh kepada raja, karena raja merupakan penjelmaan Dewa di dunia. Sehingga perkataan raja sama dengan perintah Dewa yang harus dipatuhi.
Dua Pasukan Ghayankbara memilih tindakan untuk selalu melenyapkan musuh. Hal ini karena saat itu terdapat pasukan lawan yang ingin merebut tahta dan mengganggu ketentraman kerajaan.
Tiga, Pasukan Ghayankbara memiliki tekad mempertahankan kerajaan mengingat saat itu Jagam Daha harus merebut kembali Kerajaan Jhamapati dari Tiku Ra yang telah menduduki takhta dengan cara licik.
Dan empat Pasukan Ghayankbara memiliki sikap yang muncul dari hati nurani yang iklas tanpa pamrih, tidak terikat sesuatu atau hadiah.
" Nah Bahri mari kita turun ke lapak kita," kata Mangkuto pada Bahri setelah selesai menyandarkan kapalnya.
Bahri yang tadinya ikut membantu pekerjanya membongkar muatan kapal menghentikan aktifitasnya dan ikut menemani pamannya turun untuk melihat lapak ayahnya yang baru beberapa bulan dibuka.
" Dulu ayahmu pernah berjasa membantu raja Jhamapati ketika beliau mengalami pemberontakan, beliau mengungsi dari istana dan ayahmu yang adalah pengguna batu bintang itu menolong dia membuat istana sementara dengan menggunakan kekuatan batu bintangnya yang sekarang kamu pakai itu."
Mangkuto bercerita tentang lapak yang ada di pelabuhan Gungca itu.
" Ayahmu yang seorang pedagang itu meminta ijin Raja Gajayanare untuk mendirikan lapak di sini, itu sudah lama tapi lapak itu baru bisa dibangun bulan bulan ini,"sambungnya.
"Wah besar juga ya paman," Bahri memberi penilaian yang tepat setelah melihat lapak itu.
" Dan di belakang lapak itu gudang penyimpanan rempah-rempah kita yang khusus untuk menyimpan pesanan banyak Kerajaan di pulau Waja ini," jawab Mangkuto.
" Baiklah ikuti paman sekarang kita harus mengurus surat-surat perijinan di bangunan yang besar itu." Sambung Mangkuto sambil menunjuk bangunan panjang dan besar bergaya rumah adat Waja yaitu Gojlo.
Mereka berdua akhirnya beranjak dan berjalan kembali bermaksud untuk melapor dan meminta semacam surat perijinan Usaha dan Menetap.
Mereka mendatangi semacam pendopo yang dijaga dua Prajurit Ghayankbara. Di bangunan pendopo inilah Punggawa Prawira Satya Dirja bertugas memberi perijinan menuliskan di atas kertas lontar dan di beri cap Kerajaan Jhamapati.
Sekedar pengetahuan di jaman itu mereka sudah mengenal pembuatan kertas dari daun lontar.
Proses pengolahan daun lontar menjadi kertas relatif panjang. Prosesnya bisa memakan waktu hingga beberapa hari. Proses dimulai dengan merendam daun lontar kering ke dalam air panas. perendaman daun lontar dicampur dengan sejumlah rempah dan bahan lainnya.
Sekian lama direndam, daun lontar dijemur lagi hingga menjadi keras seperti selembar kayu.
Daun lontar yang mengeras itu lalu digosok dengan batu sampai halus dan mengkilap.
" Silahkan duduk Tuan Mangkuto saya lihat anda bersama putra anda?" tanya Prawira setelah mempersilahkan keduanya duduk, dia sudah lama mengenal keluarga Masiak yang terkenal itu namun belum mengetahui tentang Bahri yang hanya keponakan Mangkuto.
Sambil menyerahkan surat ijin usaha yang sudah dia persiapkan jauh hari.
" Bagaimana kabar Tuan sekalian? " tanyanya lagi berbasa basi.
" Terima kasih kami baik-baik saja, oh iya ini bukan putra saya, namanya Bahri Masiak putra kakak saya," jawab Mangkuto sambil menerima gulungan kertas perijinan berniaga.
" Oh maafkan kekeliruan saya jadi tuan muda ini putra dari Tuan Masiak, apakah dia akan menetap di lapak Tuan Masiak? " sambil meminta maaf, Prawira bertanya lebih lanjut.
" Benar sekali, maklumlah sudah tradisi keluarga kami meneruskan usaha dagang untuk itu mohon juga untuk dibuatkan surat ijin menetap selama empat belas hari empat belas malam."
"Oh begitu baiklah," jawab Prawira sambil membuka laci mejanya yang kedua. Untuk beberapa saudagar terkenal seperti keluarga Masiak dia sudah mempersiapkan segala jenis surat perijinan hanya tinggal membubuhkan tanggal yang berlaku serta cap Kerajaan Jhamapati.
Melihat Bahri, Prawira teringat akan putranya sendiri yang tidak berminat menjadi prajurit istana.
Namun dia tak pernah memaksanya baginya kebahagiaan anak dan istrinya itu lebih penting.
Namun begitu mendengar perkataan Mangkuto dia memahami dan memaklumi nya.
Lain ladang lain belalang pikirnya. Dan itu bukan urusannya. Diapun memberikan surat perijinan menetap di Kerajaan Jhamapati.
" Ini surat yang Anda butuhkan semuanya keseluruhan empat keping perunggu untuk surat tinggal menetap dan lima keping perunggu untuk ijin berniaga." Prawira menerangkan biaya kedua surat perijinan itu.
" Sembilan keping perunggu keseluruhannya," lanjutnya.
Peraturan semacam ini sebenarnya sudah di sepakati oleh kelima raja besar di Nasutaran.
Mereka akan melakukan pertemuan bersama di kota gaib Janasaran. Kota gaib itu hanya bisa dikunjungi para raja yang didampingi pengguna batu bintang saja.
Pertemuan para raja yang membahas berbagai hal untuk keharmonisan negeri Nasutaran.
Mangkuto pun mengambil sembilan keping perunggu di kantung uangnya dan menyerahkannya pada Prawira.
Ayo Thor ini request aku pengen novel ini jangan di tamatin dulu