PENGGUNA BATU BINTANG
Suatu malam langit begitu cerah, bintang gemintang berkelip dengan jelasnya.
Namun seketika terlihat satu bintang yang semula terlihat kecil di antara bintang lainnya semakin bercahaya besar dan makin benderang dan bintang itu terlihat meledak, hingga nampak bagaikan kembang api raksasa yang kemudian disusul serpihan-serpihan yang menyala jatuh dan runtuh di suatu negeri yang disebut Negeri Nasutaran.
Suatu Negeri kepulauan yang terdiri dari lima pulau besar dengan banyak sekali kerajaan-kerajaan kecil di tiap pulaunya.
Seorang Resi yang tengah melakukan perjalanan ke puncak gunung karena hendak melakukan ritual bertapa menyaksikan fenomena tersebut dan terpukau dibuatnya, Sang Resi yang sudah berumur tak lagi muda itu berniat mencari petunjuk karena saat itu dia diperintahkan untuk membuat senjata keris yang mumpuni.
Kejadian yang baru saja dilihat itu membuatnya tersenyum dan sambil menganggukkan kepalanya sekali dia berkata dalam benaknya.
" Sungguh Sang Hyang Ika begitu mulia Engkau seakan menjawab dan memberikan kemudahan bagiku menemukan material yang hendak aku perlukan. "
Sang Resi yg bernama Resi Sundek itu berkata demikian karena beberapa puluh hasta darinya dia melihat salah satu serpihan batu bintang yang menyala bak terbakar api itu jatuh dan masih terlihat nyalanya.
" Terima kasih oh Sang Hyang Ika atas anugerah yang telah engkau berikan malam ini."
Tak lupa Sang Resi berucap syukur pada Sang Kuasa Alam Semesta. Sembari berjalan menuju batu bintang yang semakin meredup nyalanya itu. Batu sebesar buah nangka itu di tatapnya dengan penuh kekaguman.
Sang Resi masih merasakan panasnya batu yang baru saja jatuh itu di hadapannya.
"Hmmm, agak unik tidak seperti material lainnya batu ini berwarna merah dan masih terasa sangat panas... "
Sambil mengambil gucinya Sang Resi menumpahkan air yang telah di beri rapalan ke atas batu itu dengan maksud mendinginkan suhu panasnya.
"Cussssshhhh...!!!! " batu itupun mengepulkan asap putih ketika tersiram air dari guci Resi Sundek.
Dengan hati-hati Resi Sundek menyentuh batu itu dengan jarinya. Ketika dirasa tak terasa panas di jarinya dia pun mengeluarkan kain lenan di tas keranjangnya dan membungkus batu bintang merah dengan lenan yang dibawanya itu.
"Ah, kurasa aku harus menanti dulu semalam di sini sembari istirahat sejenak" batin Resi Sundek sambil duduk bersila membelakangi batu yg telah di bungkusnya itu dan mulai bermeditasi menanti fajar menyingsing.
Ketika matahari mulai mengintip di balik perbukitan, Sang Resi pun membuka matanya dan bangkit dari posisi bersila nya untuk berdiri dan hendak memulai perjalanannya untuk menuruni bukit itu.
Kemudian dia mengambil sesuatu di kantung kecil yang dia ikat di pinggangnya.
Sebuah peluit kecil dari bambu dia tiupkan dua kali.
"WUUUUUIIIIIITTTTT... WUIIIIIIIIIITTTTT!!!!! ".
Dia menunggu sejenak dan tak lama kemudian terdengar deru langkah tapak-tapak kudanya yang sengaja dia tinggal di kaki bukit.
Seekor kuda hitam bersurai panjang meringkik terlihat berlari semakin dekat menuju Resi Sundek dan dengan tenang berjalan berdiri di samping Sang Resi.
"Najar... Ayo berlutut " Resi Sundek memberi perintah pada kudanya yang bernama Najar itu untuk merendahkan tubuhnya yang tinggi.
Dan seakan memahami Sang Resi yang memberi perintah sambil menepuk-nepuk punggungnya kuda itupun menekuk kaki depannya.
Sang Resi mengikatkan kain lenan yg membalut batu bintang itu di pelana Najar dan juga menunggangi kuda itu setelahnya.
" Ayo Najar kita pulang ke rumah, banyak hal yang harus dirampungkan seminggu ini".
Dan dengan sekali tepukan halus Najar pun bergegas menegakkan dadanya berlari kencang menuruni bukit itu.
"Heyaaa...!!!! "
Debu beterbangan seiring berlalunya Sang Resi dan kudanya.
*****
Sementara itu di lain tempat di sebuah dermaga yang terlihat sibuk dengan berbagai aktifitas perdagangan sepasang suami istri mengantar putranya menaiki kapal besar.
"Inga pesan Apak jangan kau sembarangan memakai cincin yang Apak berikan padamu " Sang Ayah mengingatkan putra bungsunya itu.
"Baik Apak, ambo ingat selalu pesan apak " Jawab sang anak.
" Ko pake lah dulu ajaran silek guru ko tu dulu seandainya ado yang mencoba mengganggumu jika memang terdesak barulah ko guna cincin Apak itu, inga bijak bertindak tanduk di rantau agar tak terjadi masalah yang tak dikehendaki" kata Sang Ayah yang bernama Masiak.
Yang adalah seorang saudagar berbagai rempah-rempah terkenal di wilayahnya kota Kaningmuaba memiliki dermaga pribadi di Teluk Rubay dan beberapa kapal dagang yang berukuran besar.
Sudah tradisi keluarga Masiak mendidik putra putranya menjalankan usaha dagang ke seberang pulau diluar pulaunya, Maresuta.
Bahri Masiak nama putra bungsunya itu sudah di amanat kan untuk memulai perdagangan rempah-rempah pertamanya.
Bahri Masiak seorang pemuda bertubuh gempal dan terkesan agak gemuk itu sedikit gugup menerima kepercayaan ayahnya sebab untuk pertama kalinya dia harus merantau diluar pulaunya dan melakukan transaksi dagang perdananya ke pulau Waja yang dia sama sekali baru akan dikunjunginya.
Beberapa kali dia ikut ayahnya berlayar namun seringkali hanya di pusat perdagangan besar di Selat Lakama tak jauh dari Maresuta.
" Tak usah cemas pamanmu itu kan mendampingimu nantinya kalaulah ada yang ingin kau tanyakan mintalah pendapatnya, mengerti? " Sang ibu yang melihat kecemasan di wajah putranya ikut menasehati nya.
"Iya Amak, Bahri mengerti lagi pula sudah sering melihat Apak bernegoisasi akan ambo ingat selalu itu," ujar Bahri.
"Bagus Amak percaya ko mampu melakukan tugasmu ini," kata ibunya.
Akhirnya semua persiapan awak kapal sudah siap, paman Bahri yang bernama Mangkuto berteriak dari geladak kapal
"Ayolah lekas naik Bahri kita sudah mau berlayar kau tunggu apalagi" teriak Mangkuto adik dari Masiak.
" Kakanda jangan khawatir aku akan menjaganya sebaik mungkin" sambungnya kepada sang kakak.
" Iyo jaga diri di perjalanan adik hati-hati selalu " Jawab Masiak kepada adik satu-satunya itu.
Bahri bergegas naik ke geladak kapal dan melambaikan tangan pada ayah dan ibunya. Kapal pun mulai meninggalkan dermaga. Menyusuri pesisir barat pulau Maresuta ke selatan menuju pulau Waja.
Berdagang merupakan salah satu kultur yang menonjol dalam masyarakat Kaningmuaba. Bagi masyarakatnya, berdagang tidak hanya sekadar mencari nafkah dan mengejar kekayaan, tetapi juga sebagai bentuk eksistensi diri untuk menjadi seorang yang merdeka.
Dalam budaya Kaningmuaba yang egaliter, setiap orang akan berusaha untuk menjadi seorang pemimpin.
Menjadi subordinat orang lain, sehingga siap untuk diperintah-perintah, bukanlah sebuah pilihan yang tepat.
Prinsip "lebih baik menjadi pemimpin kelompok kecil daripada menjadi anak buah organisasi besar" (elok jadi kapalo samuik daripado ikua gajah) merupakan prinsip sebagian besar masyarakat Kaningmuaba.
Menjadi seorang pedagang merupakan salah satu cara memenuhi prinsip tersebut, sekaligus menjadi orang yang merdeka.
Dengan berdagang, orang Kaningmuaba bisa memenuhi ambisinya, dapat menjalankan kehidupan sesuai dengan keinginannya, hidup bebas tanpa ada pihak yang mengekang sehingga banyak perantau muda Kaningmuaba lebih memilih berpanas-panas terik di pinggir jalan, berteriak berjualan permadani dari negeri Jugarat atau Sutra dari negeri Cani , daripada harus bekerja menjadi pegawai yang acap kali diperintah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments
Luna_UwU
Bawa pergi dalam imajinasi. ✨
2024-07-28
2